Plak! Daniella menampar pipi Austin hingga menghasilkan bunyi yang cukup keras. Tatapan mata gadis tersebut terlihat begitu marah karena sikap Austin yang seolah merendahkan dirinya. "Kau benar-benar brengsek, Austin!" teriak Daniella dengan air mata tertahan. Daniella juga mengusap bibirnya yang berdarah dengan kasar, seolah ingin menghilangkan jejak ciuman Austin tadi. Gadis itu juga terlihat berusaha membenarkan pakaiannya yang sudah robek karena ulah Austin. Sementara itu, Austin hanya diam mematung. Tamparan Daniella tadi berhasil menyadarkan dirinya atas perbuatan buruk yang baru saja dia lakukan. Dia hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri tadi, dan hampir saja memperkosa Daniella. "Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, Austin," ungkap Daniella. Dia segera berjalan untuk meninggalkan Austin. Namun, Austin lebih dulu mencekal tangan Daniella yang ingin beranjak pergi. Hati pria itu mendadak merasa bersalah melihat air mata yang perlahan turun dari mata Daniella.
Dominic menaikkan jaket Anna saat melihat gadis itu menggigil kedinginan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari malam tadi, akhirnya mereka sampai di bandara internasional Schiphol Airport, Amsterdam, Belanda, saat matahari hampir terbit. "Kau lelah, Sayang?" tanya Dominic dengan lembut. Anna sedikit mengangguk. Dibandingkan lelah, dia lebih merasa mengantuk sekarang karena waktu tidurnya terasa tidak efektif. "Kita istirahat dulu kalau begitu nanti." Dominic menarik koper miliknya dan Anna. Setelah melihat taksi yang menjemput mereka tiba, keduanya langsung naik dan meninggalkan kawasan bandara. Elena sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Mulai dari tiket pesawat, hotel, dan transportasi untuk putra dan menantunya selama berada di Eropa. "Cepat beritahu mama kalau kita sudah sampai, Dom.""Nanti saja."Dominic masih ingat betapa paniknya mereka malam tadi, ketika melihat tiket yang Elena pesan untuk mereka berdua. Sebenarnya, Dominic berencana untuk membata
Anna meletakkan handuk yang baru saja dia pakai untuk menutupi rambutnya, ke atas kursi, saat melihat ponselnya berdering dan menampilkan nama Daniella . Dengan cepat, dia meraih benda pipih itu dan langsung menjawab panggilan dari Daniella. Sudah satu minggu sejak dia berada di Amsterdam, dan Daniella baru menghubunginya kali ini. "Halo, Daniella.""Anna, bagaimana kabarmu? Aku dengar kau sedang pergi berbulan madu." Suara Daniella terdengar begitu senang. "Aku baik-baik saja. Ya, ibu mertuaku yang langsung mengatur perjalanan liburan kami. Kau baik-baik saja?"Daniella terdengar menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia segera mengalihkan panggilan ke panggilan video, dan Anna langsung menjawabnya. "Kau baik-baik saja, Daniella?" tanya Anna saat melihat wajah temannya yang tampak murung. Daniella menganggukkan kepalanya pelan. Setelah kejadian seminggu lalu, saat Austin hampir saja memaksanya, Daniella merasa tidak baik-baik saja. Dia sama sekali tidak menyangka jika Austin ber
Dominic berjalan masuk dengan pakaian yang masih basah karena keringat. Dia baru saja selesai berolahraga di bawah, dan melihat Anna sedang duduk, berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. "Siapa?" tanya Dominic dengan suara pelan. "Austin," bisik Anna setelah menjauhkan ponselnya. "Austin? Untuk apa dia menelponmu?"Anna hanya mengendikkan bahu. Dia juga merasa bingung kenapa Austin tiba-tiba menghubunginya dan membicarakan tentang Daniella. Dominic langsung mengambil ponsel milik istrinya, dan ikut mendengarkan semua pembicaraan mereka. Awalnya Dominic ingin tahu, dan mulai berpikir andai saja Austin berani menggoda Anna, pria itu tidak akan bisa diam. Namun, Dominic tampak menaikkan sudut alisnya setelah mendengar pembicaraan mereka justru mengenai Daniella. Jadi, Austin hanya ingin Daniella tidak bekerja dengan Anna? "Sekarang katakan saja padanya kalau kau tidak bisa menerima dia bekerja." Austin kembali berbicara setelah Anna dan Dominic kompak untuk tetap diam beber
Anna terlihat mengedipkan matanya berkali-kali ketika mendengar pertanyaan, dan melihat senyum manis Dominic sekarang. Pria itu benar-benar mirip seperti anak-anak yang sedang menginginkan sesuatu. "Mandi dulu sana.""Jawab dulu pertanyaanku tadi!" Dominic masih memasang senyum terbaik yang justru membuat Anna merinding. Oh, tidak! Senyum itu kenapa terlihat menakutkan di mata Anna? "Kita mau keluar hari ini, kan? Jadi ke museum?" Anna bertanya untuk mengalihkan perhatian Dominic. Dia segera berdiri, tetapi Dominic lebih dulu menarik tangannya hingga membuat Anna kembali terduduk. "Sudah selesai, bukan?"Anna terdiam sejenak. Sebenarnya dia memang sudah tidak mengalami datang bulan lagi sejak kemarin. Hanya saja Anna malu jika harus mengatakannya lebih dulu. "Mandi dulu, ya?" tawar Anna sekali lagi. Kalau dia langsung menjawab iya sekarang, bisa-bisa Dominic langsung menerkamnya.Dominic mengangguk cepat dengan senyum penuh arti. Dia sudah tahu apa jawabannya. "Aku mau berendam k
Dominic meraih tangan Anna, dan mereka berdua berjalan dengan wajah berbinar bahagia. Setelah menghabiskan waktu di siang hari di hotel tadi, kini Dominic mengajak Anna untuk keluar, berjalan melihat suasana di sekitar hotel tempat mereka menginap. Menyusuri pinggiran kanal-kanal dan sesekali melihat kafe-kafe mana yang menarik minat mereka. "Mau minum kopi?" tawar Dominic. Mereka sedang berdiri di atas jembatan, seraya menatap kanal yang indah di depan sana. Bangunan bergaya Eropa klasik membuat pemandangan Kota Amsterdam terlihat indah, dan tak bisa dilupakan bagi Anna yang baru pertama kali berkunjung. "Sepertinya, itu ide yang bagus. Aku juga mulai kedinginan."Dominic tersenyum simpul. Dia membenarkan syal yang Anna pakai dengan benar, agar istrinya tidak kedinginan lagi. Udara malam ini memang cukup dingin ditambah dengan angin yang bertiup cukup kencang. "Ayo, sepertinya akan turun hujan juga."Anna mengangguk. Dia segera meraih tangan Dominic dan berjalan bersama, mencari
Daniella menarik bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan. Hari ini adalah hari pertama dia mulai bekerja di toko kue milik Anna. Setelah merasa penampilannya sudah rapi, Daniella segera berbalik dan menatap koper miliknya yang juga sudah selesai dibereskan. Selain mulai bekerja, dia juga akan mulai pindah setelah mendapatkan sewaan flat nanti. Daniella meletakkan kopernya di sudut pintu, lalu membuka pintu dan akan segera keluar. Namun, gadis itu langsung tersentak saat melihat Austin sudah berdiri di depan pintu apartemen. Pria itu juga sedang menatapnya dengan dingin. "Austin!""Bereskan pakaianmu dan ikut aku sekarang.""Aku tidak akan ikut denganmu!" tolak Daniella tegas. Dia segera keluar lalu menutup pintu cukup kuat. Daniella tidak mau banyak bicara lagi, dia langsung pergi meninggalkan Austin yang hanya diam saja saat melihat Daniella berlalu. Namun, hal itu tidak terjadi lama karena Austin segera menyusul Daniella. Pria itu berjalan cepat dan langsung menarik tangan
Daniella menatap Austin dengan jijik. Jadi, pria itu masih menginginkan tubuhnya dengan mengungkit semua kebaikan yang pernah dilakukannya di masa lalu. Daniella benar-benar tidak menyangka jika sikap Austin sekarang benar-benar memperlihatkan bagaimana brengseknya pria itu. "Aku tidak mau ikut denganmu. Jika kau memang mau dengan tubuhku, aku bersedia melayanimu selama kau berada di sini." Entah bagaimana, akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa Daniella katakan. Dia tidak mau ikut bersama Austin lagi ke Sky Crystal. Jadi, hanya ini jalan satu-satunya agar Daniella bisa sedikit bebas dari Austin. Austin mematung mendengar perkataan Daniella. Dia tidak menyangka jika Daniella akan punya pemikiran seperti ini. Namun, bukan Austin namanya jika dia langsung setuju dengan apa yang Daniella tawarkan. "Ck, apa di sini kau bisa berbuat semaumu, Daniella? Aku tidak akan menerima penawaran apa pun!" tolak Austin dengan tegas. Daniella meremas tangannya sendiri karena merasa geram dengan s
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,