Sudah sejak pagi, Chea merasa kepalanya sangat pusing dan berkunang-kunang. Dia bahkan tidak masuk ke sekolah karena rasa pusing yang dialaminya. Jika dipaksakan untuk berdiri kepalanya terasa berputar-putar.
Chea duduk di sofa ruang tamu saat dia tidak sanggup berdiri untuk kembali ke kamarnya usai meminum obat di dapur. Kepalanya sungguh nyut-nyutan sampai dia harus menjambak rambutnya untuk meredakan rasa sakit. Hari ini dia sudah minum obat untuk kedua kalinya setelah pagi tadi tapi rasa sakit dikepalanya tidak berkurang.
Dia sudah memberitahu Ayah perihal sakitnya sebelum Ayah ke Rumah Sakit, Ayah lekas menyuruh Chea untuk ke Rumah Sakit tapi Chea menolak. Ayah pun hanya memberikan obat anemia untuknya.
Ponselnya berdering. Chea meraih ponsel yang berada di atas meja ruang tamu. Nama Kael muncul di layar ponselnya sebagai penelpon.
“Kael,” ucapnya dengan nada lemah memanggil nama laki-laki yang menelponnya.
“Kamu sakit?” tanyanya dengan nada cemas
Chea hanya bergumam untuk menjawab pertanyaan Kael.
Chea teringat bahwa siang ini adalah jadwal mereka les. Kael pasti sudah menunggunya. Ini bahkan sudah lewat satu jam, “Aku nggak bisa dateng ke les. Maaf nggak sempat ngabarin kamu.”
Rasa pusing yang dia rasakan membuat Chea tidak bisa berpikir atau melakukan apapun selain tidur sepanjang hari. Dia hanya keluar saat makan dan minum obat saja.
“Udah minum obat?”
“Udah. Barusan.” Chea memijit kembali kepalanya.
Chea mulai merasa bahwa dadanya terasa sesak. Tangannya mulai gemetar hebat. Kondisinya tidak juga membaik.
“Ka—el. Bisa ke rumah nggak? Kayaknya aku ..... aku harus ke ..... Rumah Sakit deh.”
“Kamu tunggu di sana ya. Dua pu ... nggak sepuluh menit saya ke sana. Tunggu, ya!” suara Kael terdengar panik.
“Kael.”
Chea merintih sakit sambil memegangi kepalanya usai mengakhiri panggilan teleponnya dengan Kael. Dia melihat jam dinding saat mengingat Kael akan datang ke rumah dalam waktu sepuluh menit.
Please, Chae! Kamu harus tunggu sampai sepuluh menit. Kael akan dateng.
Sepuluh menit kemudian. Suara bell rumah Chea berbunyi bersamaan dengan notifikasi pesan di ponsel Chea.
Kael :
Chea, saya di depan rumah.
Chea menarik nafas panjang menyiapkan tenanganya, sebelum dia beranjak dari sofa dan berjalan ke pintu.
Kael menatapnya dengan cemas setelah ia membukakan pintu untuk Kael.
Bruk! Chea pun jatuh pingsan dalam dekapan Kael.
###
Kael tidak pergi dari tempatnya. Dia masih berdiri di dekat ranjang tempat Chea dibaringkan. Menatap gadis itu dengan tatapan cemas meski seharusnya dia tidak perlu merasa cemas sebab Chea sudah diberikan infus dan obat oleh dokter yang bertugas di UGD. Hanya saja melihat Chea belum juga sadarkan diri membuat rasa cemas dalam dirinya belum ingin pergi.
Kael teringat sesuatu. Dia seharusnya memberi kabar ke Pak Cakra tentang kondisi Chea. Kael pun menyadari bahwa Rumah Sakit yang dia datangi adalah tempat Ayah dari gadis itu bekerja.
“Suster.” Kael memanggil suster yang berjalan melewati ranjang tidur Chea.
“Bisa minta tolong untuk hubungi pak Cakra? Dia dokter di sini dan ini anaknya.” Kael menunjuk Chea yang masih terpejam.
“Oh .... baik, Mas.”
Suster pun berjalan menuju meja resepsionis. Dia lekas mengambil gagang telpon dan menekan tombol telepon untuk melakukan permintaan Kael.
Kael kembali menatap Chea. Tangan kananya bergerak ingin menyentuh tangan Chea tapi niat itu dia urungkan. Dia sadar bahwa tidak seharusnya dia menyetuh tangan Chea yang bukan siapa-siapanya. Kael tidak boleh memiliki rasa kepada gadis itu.
“Di mana anak saya, Sus?”
Kael menoleh saat mendengar suara panik Pak Cakra.
Suster yang sedang berdiri di belakang meja resepsionis menunjuk ke arah Kael. Kael menunduk sejenak menyapa Pak Cakra.
“Oh .... Kael.” Pak Cakra lantas menghampiri Chea yang terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.
“Saya tadi hubungi Chea karena dia nggak datang untuk les dan katanya dia sakit. Dia minta saya untuk anterin ke Rumah Sakit tapi setelah saya datang dia pingsan.” Kael menjelaskan secara singkat kronologis dia bisa bersama Chea.
“Harusnya saya langsung bawa dia ke Rumah Sakit begitu tahu dia sakit,” keluh Pak Cakra yang nampak menyesal.
Pak Cakra pun menoleh ke arah Kael. Pria yang mengenakan jas putih, “Kael, terima kasih ya sudah bawa Chea ke Rumah Sakit. Chea biar saya yang jaga. Kamu bisa pulang sekarang."
Pulang?
Kael masih ingin di sini paling tidak sampai Chea sadar baru dia akan pulang.
Kael pun terpaksa berpamitan dan meninggalkan Chea yang masih juga belum sadar dengan berat hati.
###
Chea mulai merasa bosan karena sudah berada di Rumah Sakit sejak kemarin siang. Ayah memaksanya untuk dirawat di Rumah Sakit selama satu sampai dua harian meski sebenarnya, Chea sudah merasa lebih baik. Kepalanya sudah tidak pusing lagi dan dia juga sudah tidak merasa sesak saat bernafas. Dokter mengatakan bahwa dia hanya perlu beristirahat saja dan jika memang itu yang disarankan, dia bisa beristirahat di rumah.
Chea termangu ketika memeriksa ponselnya dan mengetahui bahwa ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Kael. Chea kembali mengingat bahwa dia sempat mengabaikan panggilan telepon Kael saat membawa ponselnya ke luar kamar untuk makan dan minum obat. Waktu itu, dia tidak berpikir untuk menerima panggilan telepon Kael.
Chea tersenyum mengetahui Kael juga mengirimkan banyak pesan.
Kael :
Ini udah lebih lima belas menit.
Kamu lupa sama kesepakatan kita?
Kalo nggak bisa dateng seenggaknya kasih tahu lew*t w*.
Kenapa nggak angkat telponnya?
Kamu baik-baik aja kan? Kenapa nggak datang?
Chea, tolong angkat telepon saya!
Chea terkejut ketika sebuah pesan baru dari Kael masuk dan tentu saja langsung dia baca karena dia sedang membaca pesan Kael kemarin.
Kael :
Kamu gimana keadaannya?
Chea lekas mengetik pesan balasan untuk Kael.
Chea :
Udah lebih baik kok. Makasih udah bawa aku ke Rumah Sakit.
Kael :
Sama-sama. Ya, udah kamu istirahat.
Bibir Chea manyun karena obrolan via pesan dengan Kael berakhir begitu saja.
Minta dia dateng kalik ya?
Pesan baru dari Kael pun kembali masuk.
Kael :
Saya boleh jenguk kamu?
Bibir Chea kembali tersenyum. Dia tentu tidak memiliki alasan untuk menolak kunjungan Kael.
Chea memeriksa keadaannya usai membalas pesan Kael. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Chea berdecak kesal saat melihat bibirnya masih pucat melalui kamera ponselnya. Dia tidak mungkin menyambut Kael dengan wajah yang pucat. Tapi, tidak ada bedak dan lipstick di laci kamar rawatnya. Chea menjatuhkan kepalanya ke bantal.
###
Kael terpana melihat kamar rawat Chea yang dua kali lipat dari kamar kosnya. Fasilitasnya bahkan lebih lengkap ada TV, Lemari Es, AC, Sofa yang nampak nyaman dan kamar mandi dalam. Kamar rawat Chea lebih pantas disebut dengan kamar hotel.
Setelah semalaman mencemaskan Chea, Kael memang berniat untuk menjenguk Chea. Dia ingin mengetahui sendiri bahwa Chea memang sudah baik-baik saja. Dia bahkan tidak bekerja di Restoran milik Bu Nur karena ingin meluangkan waktu menjenguk Chea. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Meminta izin untuk tidak bekerja padahal saat sakit pun, Kael selalu memaksakan diri untuk bekerja.
“Kamu mau berdiri di situ?” Chea menyadarkannya dari lamunan.
Kael menoleh kepada Chea yang sudah duduk di sofa dan sedang menikmati buah. Kael pun menghampiri Chea. Dia menaruh parcel buah yang dia beli sebelum ke Rumah Sakit. Dia tidak mungkin membawa tangan kosong saat menjenguk Chea.
“Kamu beneran udah nggak pa-pa?”
Chea mengangguk, “Paling sore nanti udah boleh balik. Bosen juga di sini.”
“Aku nggak sangka kamu akan telpon aku sampai sepuluh kali.
Kael berdeham karena merasa malu. Kemarin dia mendadak cemas karena Chea tidak memberinya kabar sehingga terus-terusan mengirimkan pesan dan menelpon Chea.
“Saya takut kamu nangis ditengah jalan dan nubruk orang lagi,” canda Kael.
Gadis itu nampak kesal dengan ucapannya. Kael pun tersenyum untuk mencairkan suasana yang mulai menegang di antara keduanya, “Bercanda kok.”
“Kamu cemas kalo terjadi sesuatu sama aku?”
Pertanyaan mengejutkan dari Chea membuat Kael tercekat. Dia bahkan tidak bisa menelan ludah yang berhenti ditenggorakannya. Kael memalingkan wajahnya.
“Bukannya udah sewajarnya kalo saya cemas sama murid saya yang nggak ada kabarnya.”
Chea hanya menaikkan alisnya malas enggan memberikan komentar pada ucapannya.
###
Dua minggu kemudian.
Chea memandangi lembar soal yang dibagikan oleh guru setengah jam lalu. Lima puluh soal yang harus dijawab tapi belum satupun soal yang Chea jawab. Bukan karena Chea tidak bisa mengerjakan soal sains yang sedang diujikan hari ini. Chea hanya enggan mengerjakan soal itu saja. Dia memang seperti itu setiap menghadapi ujian. Tidak sekalipun bersungguh-sungguh mengerjakan soal untuk mendapatkan nilai bagus.
Chea teringat dengan Kael yang sudah membimbingnya hampir dua pekan ini. Kael memang tidak menuntutnya untuk nilainya meningkat dari ujian terakhirnya. Tidak seperti beberapa tutor yang meminta Chea untuk meningkatkan nilainya agar mereka tidak dipecat.
Chea menggerak-gerakan pensilnya untuk berpikir. Jika dia tidak mengerjakan soal-soal itu, nilainya pasti akan sama seperti kemarin dan Kael akan dipecat oleh Ayah. Tapi, jika dia mengerjakan soal-soal itu, Kael pasti akan tetap menjadi tutornya.
Chea meletakkan kepalanya di atas meja. Dia frustasi dengan keputusan yang harus dia ambil.
Chea menarik nafas panjang sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh. Dia tidak ingin Kael kehilangan pekerjaan dan membuatnya tidak bisa bertemu dengan Kael lagi.
Bertemu Kael lagi. Ya. Sejak Kael hadir dalam kehidupan Chea, ia selalu ingin bertemu dengan Kael. Dia tidak semalas dulu ketika harus berangkat untuk les tapi justru sebaliknya. Chea tidak pernah sabar bertemu dengan Kael.
Cinta?
Chea tidak bisa semudah itu menafsirkan perasaannya kepada Kael meski rasa itu bisa saja memang hadir di dalam hatinya. Hadirnya Kael tidak saja membuat Chea menjadi tidak kesepian, tapi semangat belajar Chea kembali hadir dan masih ada hal baik yang Kael berikan sejak hadir dalam kehidupan Chea.
Pandangan Chea tidak lepas memandangi Kael yang sedang bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung. Secara kebetulan ketika Chea sedang ingin menikmati waktu me time-nya, dia tidak sengaja melihat kedatangan Kael di Cafe. Kael yang datang bersama dua temannya tapi Kael lekas meninggalkan kedua temannya dan menuju ke panggung. Chea sudah tidak tahu ke mana dua teman Kael itu. Fokusnya hanya tertuju kepada Kael. Kael nampak menikmati ketika bermain gitar sambil menyanyikan lagu milik band Gigi. Beberapa kali, Kael melakukan kontak mata dengan para pengunjung hingga akhirnya menatap ke arah Chea. Sontak Chea tersenyum meski dirinya tidak yakin bahwa Kael menyadari keberadaannya. Chea lantas memberikan tepuk tangan dengan semangat usai lagu Arman Maulana cs itu selesai Kael nyanyikan. Tidak hanya Chea yang memuji penampilan Kael dengan bertepuk tangan, pengunjung lainnya pun begitu. “Terima kasih atas kesedian anda sekalian mendengarkan suara saya be
Chea tidak pernah segugup ini menantikan pengumuman nilai ujian yang sudah selesai. Hari ini setelah Chea menyelesaikan ujiannya seminggu lalu, wali kelas akan membagi hasil ujian mereka setelah pelajaran terakhir berakhir. Chea tidak berharap banyak. Dia hanya ingin nilainya meningkat saja. Dia takut nilainya sama saja atau justru menurun dan membuat Kael akan digantikan oleh tutor baru. Suasana kelas tidak sesantai biasanya. Teman-teman Chea dan juga Chea sendiri mulai merasa gugup menunggu wali kelas mereka datang. Sudah lebih dari lima belas menit dari pelajaran terakhir selesai. Seorang wanita mengenakan rok span selutut dengan kemeja merah jambu yang dimasukkan ke dalam rok span hitamnya masuk ke dalam kelas Chea. Kehadiran wanita berusia sekitar awal empat puluh tahunan itu membuat suasana kelas menjadi tegang. Terlebih ketika raut wajah Bu Wanda tidak memperlihatkan seulas senyuman diwajahnya saat memandang murid-muridnya. “Ibu terima kasih karena kal
“Bentar deh, Kael!” Chea menahan Kael yang akan masuk ke Restoran Aksara. Jika Chea tidak salah ingat. Dia dan Kael pernah bertemu di dekat Restoran yang ada di depannya sekarang. Mungkin sekitar sebulan lalu, saat dia harus pulang sendirian karena Ayah yang harus kembali ke Rumah Sakit. Dua jam lalu, saat Chea masih di rumah. Ia mendapatkan pesan dari Kael yang memintanya bertemu di depan Restoran Askara. Kael pun menjelaskan bahwa mereka tidak bisa pergi ke tempat yang Chea inginkan sebab Kael harus menggantikan temannya yang tidak bisa masuk kerja hari ini. Restoran mendapatkan booking-an untuk acara renuian dan membutuhkan tenaga tambahan sehingga meminta Chea untuk ikut membantunya. “Kenapa?” “Aku nggak salah denger kan?” “Kamu nggak mau, ya?” Kael menatapnya dengan kecewa dan bingung, “Saya nggak tau lagi mau minta tolong siapa untuk bantu di Restoran. Nino nggak bisa dan Lily belum balas pesen aku.” Chea terkejut ketik
Kael merasa tidak yakin jika dia dan Chea harus pergi ke taman hiburan. Ada banyak tempat yang mereka kunjungi untuk pergi berkencan seperti ke sepedaan di taman, jalan-jalan ke Mall, atau nonton di bioskop. Taman hiburan memang bukan tempat yang Kael sukai sebab usianya yang sudah bukan lagi anak-anak membuatnya enggan pergi ke sana meski dia belum pernah mengunjunginya. Tapi, dia tetap pergi ke Taman hiburan karena enggan mengecewakan Chea yang sangat ingin pergi bersamanya. Gadis itu memang nampak bahagia setelah mereka turun dari busway. Selama perjalanan pun, Chea sudah merencanakan wahana permainan apa saja yang akan dia naiki sesampainya mereka di Taman hiburan. Setelah sampai, Chea pun mencari antrean terpendek di loket tiket karena enggan megantre lama. “Kael, kita naik itu yuk!” menunjuk wahana baling-baling di hadapan mereka. Kael terperangah melihat wahana yang memicu andrenalin. Dia menatap Chea yang nampak bersemangat untuk mencoba waha
Secangkir latte panas dan secangkir green tea panas sudah tersaji di atas meja. Siang ini, Kael sedang duduk bersama Pak Cakra di sebuah Cafe. Beliau mendadak menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Mungkin ingin membicarakan tentang nilai akademis Chea yang meningkat ujian kemarin. Memang sudah menjadi kesepakatan jika mereka akan bertemu setelah mengetahui hasil nilai Chea. Kael berusaha untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ini kali ketiga ia bertemu dengan Pak Cakra. Pertemuan pertama ketika Pak Cakra merekrutnya menjadi tutor Chea, pertemuan kedua di Rumah Sakit saat Chea jatuh sakit dan terakhir siang ini. Tapi, pertemuan ketiga dia justru merasa gugup dibandingkan dua pertemuan sebelumnya. “Mulai hari ini kamu nggak perlu jadi tutor Chea.” Kael terkejut mendengar ucapan Pak Cakra yang tanpa berbasa-basi, “Tapi kenapa, Pak? Bukannya nilai Chea meningkat?” Pak Cakra menarik nafas dan mengeluarkan beberapa cetak foto, “Hubungan ka
Kael kembali menyalakan ponselnya setelah setengah hari dia non-aktifkan untuk menghindari Chea. Kael memang belum siap untuk berbicara dengan Chea usai Pak Cakra mengetahu dan melarang hubungan mereka. Dua puluh panggilan tak terjawab dari Chea. Kael tersenyum tipis mengetahui bahwa gadis itu tidak menyerah meski Kael sudah tidak menghidupkan ponselnya. Sekali lagi. Panggilan telepon dari Chea dan kembali Kael abaikan. Sebuah pesan masuk ke nomor Kael, usai Chea mengakhiri panggilan teleponnya. Chea : Please, angkat telpon aku! Aku kabur dari rumah. Kael terkejut membaca pesan yang Chea kirimkan. Dia lekas menelpon Chea usai mengetahui bahwa gadis itu memilih meninggalkan rumah. “Halo,” suara gadis itu menyambutnya. “Kamu di mana sekarang?” tanya Kael. “Kenapa nanyain? Cemas? Dari tadi kenapa hape-nya dimatiin?” “Jangan bercanda, Chea! Kamu di mana sekarang?” sua
Chea kembali berulah dengan tutor barunya. Dia tidak lagi serius belajar dan justru asyik bermain game diponselnya. Mengabaikan Bella yang sedang menjelaskan salah satu rumus Matematika. Kelakuan Chea tidak berhenti disitu saja, apalagi saat sampai di Cafe dia lekas memesan makan siang dengan alasan perutnya lapar. Sebuah nofitikasi pesan dari Kael mengejutkan Chea. Chea yang sejak tadi duduk bersantai langsung duduk tegap dan lekas membaca pesan dari Kael. Sejenak dia seakan lupa bahwa semalam Kael membuatnya kesal. “Chea! Kamu nggak dengerin saya?” ujar Bella yang menyadari bahwa selama dia menjelaskan Chea sibuk dengan ponselnya. Chea memberi isyarat dengan meletakan jari telunjuk ke mulutnya sendiri agar Bella berhenti berbicara. Kael : Kamu nggak serius belajar lagi? Mata Chea terbelalak membaca pesan dari Kael. Pesan yang mengisyaratkan bahwa Kael sedang berada di dekatnya. Chea lekas mencari keber
Kael sedang asyik membaca buku sembari menunggu Chea yang sedang belajar dengan Bella di meja lainnya. Meski sudah diberikan restu menjadi kekasih Chea tapi Kael tetap tidak diperbolehkan menjadi tutor Chea lagi karena Pak Cakra tidak ingin Chea justru menjadi tidak fokus belajar. Kael memaklumi keputusan Pak Cakra itu. Segelas air putih ditaruh di atas meja Kael oleh salah seorang waiters. Kael menatap heran sebab dia tidak memesan air putih hangat melainkan latte panas kepada waiters tersebut. “Mas, tapi kan saya pesennya latte bukan air putih.” “Aku yang ganti pesenan kamu.” Chea pun duduk di kursi samping Chea dan memberikan intruksi dengan isyarat bahwa laki-laki yang membawakan minuman untuk Kael agar meninggalkan mereka. “Kenapa?” “Kamu udah minum dua cangkir latte. Nggak baik tahu banyak-banyak minum kafein.” Kael melirik dua cangkir yang masih berada di mejanya. Dia tak memb
“Jadi, setelah aku tahu kamu menghilang. Aku sempet lihat kamu di Singapura ...,” Chea menggeleng mengingat peristiwa itu, “Aku pasti udah gila karena halusinasi kamu ada di sana karena terlalu khawatirin kamu.” Kael meletakkan cangkir latte panas di atas meja, “Singapura? Di Stasiun Jurong East?” Chea terkejut ketika Kael mengetahui di mana dia melihat Kael saat masih berada di Singapura. Kael tersenyum melihat Chea yang terkejut, “Itu emang aku lagi. Kamu nggak lagi berhalusinasi.” Alis Chea menyatu karena keningnya yang berkerut. “Aku emang ke Singapura untuk cari kamu dan nggak sengaja aku malah lihat kamu sama sepupumu. Awalnya aku mau langsung temuin kamu tapi ternyata masih ada yang ngenalin aku sebagai K jadi aku nggak jadi nemuin kamu karena takut malah jadi berita baru,” jelas Kael. Chea memberikan pukulan ke Kael membuat Kael merintih terkejut. “Kok dipukul sih?” tanya Kael. “Habisnya kamu buat aku kayak oran
Hari bahagia Zafri dan Shena pun tiba. Keluarga kedua belah pihak beserta tamu undangan yang hadir menyaksikan penyatuan cinta mereka yang diadakan di sebuah taman. Beberapa tahun belakangan ini konsep outdoor memang sedang menjadi trend untuk pasangan pengantin muda seperti mereka. Garden party. Zafri terlihat tampan dan gagah dengan setelan tuxedo putih yang pernah diperlihatkan Shena di obrolan grup mereka bertiga. Bedanya rambut Zafri disisir rapi dihari istimewa Zafri. Shena tak ingin kalah dari Zafri. Dia terlihat cantik dan anggun dengan mengenakan gaun yang warnanya senada dengan Zafri. “Permisi,” ucap seseorang. Sosok pria mengenakan setelan jas hitam menghampiri Chea. Parasnya tampan dengan sepasang mata cokelat menatap Chea dengan lembut. “Saya Richard,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Chea. Sedikit ragu Chea menyambut uluran tangan pria itu, “Chea.” “Iya saya tahu. Kamu sepupunya Shena kan?”
Chea asyik dengan ponselnya mencari tahu perkembangan berita Kael yang sudah tiga hari ini menghebohkan jagat hiburan. Media nampaknya mulai mecari tahu alasan Kael mundur dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Mulai dari Kael akan menikah dengan seorang gadis dan hidup di pinggir kota, Kael yang mengidap sebuah penyakit dan masih banyak kabar miring tentang Kael. Tapi pihak agensi Kael lekas membantah semua kabar tersebut dan membuat Chea merasa lega meski belum mengetahui keberadaan Kael. “Chea, kamu dengerin aku?” tanya Shena kesal dengan mendorong tubuh Chea pelan. Chea menatap Shena yang berdiri di sampingnya dengan terkejut. Mereka sedang berada di Stasiun. Chea melihat Shena yang kesal karena sudah mengabaikannya. “Ha?” tanya Chea mungkin sebelumnya Shena sempat mengatakan sesuatu tapi tak dia hiraukan karena sibuk dengan ponselnya. Shena memasang wajah gondok, “Kamu masih cari tahu tentang Kael?” Chea enggan menjawab dan ha
Singapura. Sudah hampir sebulan Chea menjadi tutor Karina dan dalam kurun waktu sebuan, Karina bisa dia taklukan. Gadis yang sedang memasuki fase mencari jati diri itu sudah mulai mendengarkan ucapannya. Hadir tepat waktu saat jadwal mereka bertemu untuk belajar. Tidak jarang hadir lebih dulu dibandingkan Chea. “Kak, aku boleh minta sesuatu?” tanya Karina dengan wajah ragu. “Apa?” Karina mulai menimbang-nimbang permintaan yang ingin dikatakan gadis itu kepadanya. Nampaknya sebuah hal yang serius. “Kak, aku kan ikut pameran dan lukisan aku menang.” “Waaah. Selamat, ya,” ucap Chea yang bahagia dengan prestasi Karina. “Tunggu dulu! Masalahnya, yang ambil hadiah harus sama orang tuanya. Kakak bisa nggak wakilin aku sebagai Kakak aku? Nanti aku akan bilang kalo orang tua aku lagi tugas di luar jadi Kakak yang ngegantiin. Mau ya?” “Kenapa kamu nggak bilang aja sama Tante Dewi kalo kamu menang? Beliau pasti seneng deh
Singapura. “Chea! Makan!” teriak Tante Monic memanggilnya untuk lekas keluar dari kamar. Chea pun keluar dan menghampiri Tante Monic yang sudah duduk bersama Paman Joe, suami Tante Monic. Hidangan makan malam sudah tersaji siap untuk mereka santap. Shena tidak ikut bergabung makan malam dengan mereka karena lembur bekerja. Akhir-akhir ini Shena sering lembur bahkan akhir pekan pun Shena masih harus bekerja. “Gimana Karina?” tanya Tante Monic sembari mengambilkan nasi untuk suaminya. Chea menghela nafas. “Tante kan udah bilang kalo anaknya susah diatur. Kamunya ngeyel mau jadi tutor dia.” Tante Monic memang sudah mewanti-wanti karena tidak ingin Chea menjadi terbebani dengan sikap Karina. “Udah terlanjur juga. Lagipula anaknya udah mulai nurut kok,” jawabnya kemudian menyantap makan malamnya. Saat mengunyah masakan Tante Monic tiba-tiba saja Chea rindu masakan Bu Nur. Masakan Tante Monic tidak buruk. Dia bahkan
Bu Nur masih enggan melepaskan Chea yang kini berada dalam dekapan pelukannya. Siang ini adalah hari keberangkatan Chea ke Singapura. Chea mampir ke Restoran askara untuk berpamitan kepada wanita yang sudah seperti Ibu baginya selama kurun waktu setengah dekade dalam hidupnya. Derai air mata tentu tak absen hadir di tengah keduanya yang sudah seperti pasangan Ibu dan anak itu. Padahal Chea sudah bertekad untuk tidak menangis saat berpamitan dengan Bu Nur. Dia bahkan sempat meledek Bu Nur yang menyambutnya dengan mata berkaca-kaca. Ketegarannya runtuh saat Bu Nur memeluknya seakan memintanya untuk tidak perlu pergi padahal beliau juga yang menyuruhnya untuk menenangkan diri ke Singapura. “Bu, udahan pelukannya. Nanti Chea ketinggalan pesawat,” kata Zafri mengingatkan. Bu Nur pun akhirnya melepaskan pelukannya, “Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa telpon Ibu. Oke?” Chea mengangguk, “Makasih ya Bu udah baik sama aku selama ini.” “
“Kamu habis nemuin dia?” tanya Arumi yang sudha berdiri di depan pintu kamar Hotelnya. Kael enggan menjawab pertanyaan Arumi dan memilih untuk masuk ke kamar Hotelnya. Arumi menyusulnya meski Kael tidak memintanya untuk masuk. “Aku kan udah bilang untuk nggak nemuin dia lagi.” “Semuanya udah selesai,” ucap Kael tanpa berbalik untuk melihat Arumi yang berdiri di belakangnya, “Aku sama Chea udah selesai. Kita nggak akan ketemu lagi.” Hening untuk beberapa saat. Kael menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar hotel yang kosong seperti hatinya kini. “Kenapa?” “Dia mau akhiri semuanya.” “Dan kamu terima?” tanya Arumi yang seakan tak percaya Kael menerima begitu saja keputusan Chea. “Lalu aku harus memaksa dia untuk ada disampingku? Mana mungkin,” Kael tersenyum sinis, “Dunia aku adalah dunia yang nggak pernah dia inginkan.” “Kamu nggak pa-pa?” tanya Arumi yang mulai me
Chea memandang ponselnya yang selama beberapa hari belakangan ini berpindah tangan. Zafri akhirnya mengembalikan ponselnya sebelum kembali bersama Bu Nur ke rumah. Tapi meski begitu, dia tetap meminta agar Chea tidak mencari tahu artikel yang ada sangkut pautannya dengan Chea dan Kael. Chea akhirnya mengambil ponselnya yang hanya dia pandangi. Mengaktifkan kembali ponsel yang sengaja Zafri matikan agar tidak mengganggunya saat dia bawa. Nada notifikasi berbunyi tanpa henti menandakan banyak pesan yang masuk di ponselnya. Zafri benar. Manda, Martin dan rekan kerja lainnya mencemaskan keadaannya. Chea pun lebih memilih membaca pesan dari Kael yang masih belum Zafri baca sama sekali. Pesan dari Kael yang hampir berjumlah 20 pesan belum dibaca. Kael : Hubungi aku kalo kamu siap untuk ketemu. Aku akan tunggu. Dua pesan terakhir yang Chea baca. Chea merasa ragu. Haruskah dia menghubungi Kael atau tetap mengaba
Kael menatap sedih meja kerja Chea yang tidak berpenghuni. Harapannya untuk melihat keadaan Chea dengan berkunjung ke Stage Entertaiment pupus usai mengetahui bahwa Chea tidak ada di kantor. Desas-desus yang Kael dapatkan ketika masuk ke kantor Stage Entertaiment, Chea tidak masuk ke kantor sejak rumor tentang masa lalu tersebar. Kedatangan Kael ke Stage Entertaiment bukan hanya untuk melihat Chea saja. Tapi untuk menemui Pak Eko karena ingin membicarakan perihal konser yang akan digelar kurang dari sebulan. Tentunya Kael datang tak sendirian. Dia datang bersama Arumi yang masih menjadi managernya sampai mereka kembali ke Korea Selatan sesuai dengan permintaan Mr. Lee. “Mr. Lee sudah menghubungi saya. Tentunya permintaan pihak kalian adalah hal yang sulit saya kabulkan. Mengeluarkan staf yang berkompeten disaat dia sudah bekerja sangat baik untuk konser Anda,” ucap Pak Eko yang langsung to the point kepada mereka. Sejak mereka datang suasana kantor S