Awan hitam masih belum ingin beranjak melingkupi langit kampung halaman Rusman, semilir angin yang membawa rintik hujan tipis, lembut menyentuh kulit.Akan tetapi, tak ada satupun keluarga Rusman yang ingin beranjak pergi dari rumah peristirahatan terakhir anggota keluarga mereka. Semua menatap pilu
"Eh, ini teh beneran? Kok, gak ada yang kabarin kami?" sambut Yuni antusias begitu melihat Anisa yang diperkenalkan oleh Rukaya sebagai calon menantunya.Pagi ini mereka datang ke rumah Rusni, setelah mendapat kabar bahwa kesehatan Rusni sedang tidak baik. Usai menjenguk Rusni yang terbaring di kama
Rukaya menatap Rusman tak percaya, lalu beralih pada Yuni. Namun, senyum mengembang Yuni merupakan sebuah pembenaran dari ucapan Rusman tadi."Teh--""Sudah, yang penting niat baik anak-anak segera terlaksana. Anggap saja, rejeki anak yatim." dukung Yuni atas keputusan suaminya.Rukaya menangis terh
Semilir angin dan dinginnya cuaca pegunungan tak menyurutkan langkah kaki seorang gadis cantik menyusuri jalan perkampungan yang masih sepi, karena memang matahari pun belum muncul ke permukaan.Dialah Sintya Susanti, seorang dokter muda lulusan Universitas Padjadjaran Bandung dan merupakan salah sa
Di puskesmas itu, dia akan dibantu oleh seorang perawat, yang sudah lebih dulu mendampingi dokter sebelumnya.Hari pertama berdinas, hanya beberapa pasien yang dia tangani. Itu pun keluhannya sama, flu ringan saja. Sembari menunggu pasien, dia kembali mengerjakan tugasnya sebagai mahasiswa lanjutan.
Semilir angin dan sejuknya udara tak membuat Dimas merasakan hal yang sama. Tubuhnya justru merasa gerah dan berkeringat, terlebih penjelasan Santi mengenai kondisinya terngiang selalu di telinganya."Kamu mengalami polip lambung, yang teraba begitu kentara. Saya takut, ini bukan sekedar polip biasa
Heran juga penasaran, tetapi dia cukup mengerti. Sekian tahun tak berjumpa, bisa saja perasaan itu sudah luntur, bukan? Itu yang Santi pikirkan.Sedangkan yang ada di pikiran Dimas adalah bagaimana cara menghentikan debar di dadanya yang kembali melonjak tak biasa saat bertemu lagi dengan Santi, gad
Di sebuah rumah di kampung yang menjadi tempat tinggal Dimas dan ibunya selama ini, seorang gadis tengah bimbang di dalam kamar. Sesekali menatap layar ponselnya yang sudah beberapa waktu lalu padam.Ia gusar, bimbang dan khawatir secara bersamaan. Akankah ia sampaikan pesan Dimas kepada ibunya atau
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte