Sejak penerimaan rapor dan dinyatakan naik kelas, Alena sudah bukan lagi siswi kelas sebelas, melainkan kelas dua belas. Tingkatan paling akhir di Sekolah Menengah Atas. Itu artinya, Alena butuh setidaknya kurang dari satu tahun lagi untuk lulus dari Angkasa.Hari ini, Senin di pertengahan bulan Juli, sekolah kembali masuk. Namun, karena hari ini merupakan hari pertama tahun ajaran baru jadi tidak ada jadwal belajar mengajar. Beberapa guru sibuk membantu OSIS dalam kegiatan penerimaan siswa baru, serta mengurus keperluan lain. Hal itu membuat murid kelas sebelas baru dan kelas dua belas baru dibebaskan—dipulangkan cepat setelah pengumuman pembagian kelas—dengan catatan tidak mengganggu kegiatan Masa Orientasi Siswa.“Semoga kita satu kelas lagi nanti,” ucap Nada yang duduk bersandar di meja guru. Pengumuman pembagian kelas masih belum keluar, jadi semua murid masih menempati kelas lama mereka.Ucapan Nada diaminkan oleh sahabat-sahabatnya, termasuk Alena. Gadis yang duduk bersila di s
Suara hujan di luar nyatanya lebih mendominasi kelas XII IPA 4 daripada suara tegas Bu Ambar yang sedang menjelaskan materi Biologi. Hal ini membuat hampir semua murid di kelas seperti sedang didongengi karena suara beliau tidak cukup bisa menjangkau bangku deretan belakang. Hawa dingin serta rasa kantuk yang menyerang berhasil membuyarkan fokus belajar. Namun, demi nilai, tidak ada yang bisa apa-apa selain memilih di antara dua pilihan. Tetap di kelas sambil menahan kantuk atau cuci muka di toilet lalu kembali masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Di bangkunya, Alena berusaha menyimak materi yang dijelaskan sambil menahan kantuk. Syukurlah, bel istirahat menyelamatkan mereka. Bu Ambar keluar setelah memberikan tugas untuk dikumpulkan minggu depan. Biasanya setelah pelajaran Biologi, murid di kelasnya akan langsung berhamburan keluar kelas. Tujuannya mana lagi kalau bukan kantin. Namun, berbeda dengan kali ini. Alih-alih keluar, mereka malah sibuk dengan ponsel masing-masing. Mungkin
Tidak cukup hanya dengan kebersamaan di sekolah saja, Alena dan ketiga sahabatnya—Bara dan si kembar—rutin mengadakan acara kumpul lain di luar jam sekolah. Bukan bermain atau jalan-jalan ketika hari libur saja, melainkan suatu acara yang bisa mengasah otak.Tiap dua hari sekali, keempat remaja itu akan berkumpul di satu tempat dan belajar bersama. Tempatnya tidak tentu, tergantung kesepakatan. Namun, paling sering adalah di rumah Alena. Alasannya karena sekaligus menemani Alena di rumah. Papa Alena yang sering pulang setelah sore menjadi alasan kenapa gadis manis itu selalu sendirian di rumah, walaupun kadang Bara menemaninya sampai papanya pulang.Begitu juga yang terjadi sekarang. Rumah Alena menjadi target pertama teman-temannya untuk belajar bersama. Untungnya mereka berboncengan, jadi motor-motor itu muat masuk ke pekarangan rumahnya. Kini, ruang tamu dan teras rumahnya sudah diambil alih oleh delapan manusia yang sejak tiga puluh menit lalu sibuk dengan bukunya masing-masing. K
Bara adalah teman yang baik.Itulah penilaian Alena ketika pertama kali bertemu dengan seorang Aldebaran Prayoga. Atlet lari kebanggaan SMA Nusa Buana sekaligus tetangganya.Di awal kepindahannya, Bara menjelma menjadi tour guide untuknya setelah tanpa sengaja menemukan Alena tersesat hingga ke ruang olahraga padahal tujuannya ke ruang guru. Membantunya mendapatkan teman baru lebih cepat dari yang ia duga, serta menemaninya berkeliling kota dengan sepeda motornya dengan alasan supaya ia bisa cepat hafal lingkungan tempat tinggal barunya. Karena itu, Alena sangat berterima kasih kepada Bara.Sayangnya kebaikan Bara tersebut tidak cukup bisa membuat Alena peka terhadap perasaan laki-laki itu. Alena hanya menganggap hubungan mereka sebatas teman, tidak lebih, atau sebenarnya Alena hanya berpura-pura tidak peka saja demi persahabatan mereka. Hanya Alena dan Tuhan yang tahu. Namun, ketika sebuah pengakuan akhirnya terucap dari mulut atlet berwajah manis itu, Alena tidak bisa tidak merasa
Dibandingkan sekolah, suasana kantin SMP Nusa Buana lebih serupa pasar. Suara murid memesan makanan begitu tumpang tindih, tak sedikit pula yang protes saat pesanan tak kunjung datang, ributnya mereka mencari meja kosong untuk duduk, atau protes kesal seseorang karena antreannya diserobot orang lain ketika ditinggal ke toilet. Bahkan suara-suara itu terdengar seperti suara nyamuk terbang. Berisik!Namun, manusia-manusia kelaparan itu mana mau menurunkan nada suaranya demi ketenteraman orang lain. Ego mereka terlalu tinggi untuk melakukan hal sopan itu. Bagi mereka mungkin tak masalah kalau pita suara rusak, asalkan makanan pesanan mereka cepat datang. Perut kenyang, lebih penting.Alasan itulah yang membuat Bara tidak suka berada di sana—malas mendengar suara berisik. Bagi laki-laki penyuka ayam goreng itu, ruang olahraga lebih baik daripada tempat ini.Ah, andai perutnya tidak berteriak memalukan saat Pak Wisnu memberitahu jadwal latihan untuk lomba lari tingkat SMP di lapangan tadi
Sejak Alena resmi menjadi tetangganya dan murid baru di SMP Nusa Buana, Bara dengan suka rela menjadi teman pertama untuknya. Bara juga mengenalkan Alena kepada Nathan dan Nitha, dan tak butuh waktu lama untuk mereka bisa akrab. Alena adalah teman yang menyenangkan, begitu kata tiga sahabat itu. Bahkan mereka sering pergi bersama, berempat.Sayangnya, keakraban mereka berempat membuat banyak murid iri karena ada murid baru yang bisa langsung akrab dengan Bara dan Si Kembar. Beberapa kali Alena—jika tidak sedang bersama tiga sahabat—mendapat teguran hingga ancaman dari para penggemar Bara. Alena sempat menjauhi tiga sahabat itu, tapi ternyata Bara mengetahui masalah tersebut dan jadi lebih protektif dengan Alena.Bara berusaha menjaga Alena sebaik mungkin sesuai permintaan ayah Alena. Tak hanya di rumah, tapi juga di sekolah. Bara menjadi teman yang baik dan selalu bisa Alena andalkan.“Kamu keren, Bar. Makasih sudah mau jadi temanku,” ucap Alena setelah Bara menolongnya dari Rika CS y
“Bulan depan aku pindah ke Jakarta lagi,” ucap Alena di suatu malam. Hal itu membuatnya menjadi pusat perhatian tiga orang lainnya.Mereka sedang berada di halaman rumah Si Kembar. Rutinitas mereka di akhir pekan sejak lulus SMP. Nathan melanjutkan di SMK, sedangkan Bara, Alena, dan Nitha melanjutkan sekolah di SMA. Namun, hanya Bara dan Alena saja yang satu sekolah, sedangkan Nitha berbeda sekolah dengan mereka. Karena kesibukan mereka lebih banyak, jadi mereka sepakat untuk tidak sering kumpul. Karena itu, mereka memilih akhir pekan sebagai hari wajib mereka.“Kamu serius, Len? Bulan depan? Kok mendadak banget?” Pertanyaan Nitha didukung anggukan oleh kedua laki-laki itu.“Iya, Len. Kenapa mendadak? Nanggung banget loh kalau pindah bulan depan. Kenapa nggak nunggu sampai lulus aja?” Suara Bara terdengar.Alena tampaknya ragu menjawab. Terbukti dengan diamnya gadis itu selama beberapa saat. “Sebenarnya enggak mendadak, sih.” Alena menatap ketiga sahabatnya. “Ini bahkan lebih dari wak
Belum ada tiga jam Bara tiba di kota ini, tapi sepupunya sudah dua kali menguji kesabarannya. Pertama, Farel telat menjemputnya di bandara karena ban mobilnya kempes—ia bisa maklum. Kedua, saat di warung bakso, Farel mengabaikannya dan memandangi seorang gadis yang tidak dikenalnya. Bahkan Bara terpaksa kembali menunda waktu istirahatnya gara-gara sepupunya itu agaknya belum ingin pergi sebelum gadis itu pergi. Seolah dunianya hanya berpusat pada gadis berambut hitam itu.Ah, jatuh cinta memang kadang merepotkan. Meski begitu Bara akui kalau selera Farel bagus. Gadis itu memang cantik.“Percuma dilihatin doang, tapi nggak dideketin. Keburu diambil orang nanti,” celetuk Bara saat menyadari ke mana fokus utama sepupunya. Bakso di mangkuknya sudah habis tak tersisa. “Tapi maaf banget, aku nggak bermaksud menjatuhkan khayalanmu. Cuma kayaknya, cewek secantik dia pasti punya pacar, atau nggak minimal teman dekat cowok gitu.”“Sok tahu!” Begitu respons pertama Farel. Ia mendorong mangkuk ko
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,