Akhirnya Aruna sampai di gedung Yvaine dan segera bergegas masuk untuk menemui Kastara, tapi Aruna lupa kalau saat ini ia bukan lagi bagian dari Yvaine jadi ia tidak bisa masuk ke dalam secara sembarangan. Meskipun semua orang di Yvaine sudah mengenal Aruna, namun SOP harus tetap di jalankan. Aruna duduk sendirian di lobby untuk menunggu Kastara selesai pemotretan, banyak wartawan yang lalu lalang di depan gedung Yvaine tapi hanya sedikit dari mereka yang menotice keberadaannya. "Aruna!" panggil Liza."I miss you beb! miss you so much!" Liza memeluk Aruna erat hingga Aruna sesak nafas dibuatnya. "Liza, aku gak bisa nafas." ucap Aruna terengah-engah. "Oh, hehe maaf. Aku terlalu kangen jadi meluknya pake tenaga," Aruna mengatur kembali nafasnya, "Liz, aku mau ketemu Kastara sekarang. Apa jadwal pemotretannya udah selesai?" "Hmm, setau aku Kastara udah selesai pemotretan sih. Mungkin sekarang dia lagi prepare buat pulang," sahut Liza. "Liz, aku boleh minta tolong sama kamu? tolong
Aruna kembali ke rumah di sore hari setelah sibuk berurusan dengan dosen yang akan membimbingnya mengerjakan skripsi, karena bawaan hamil tubuh Aruna jadi mudah lelah dan saat ini kepalanya terasa agak pening. Aruna tidak kuat lagi menaiki tangga untuk ke kamarnya, jadi ia putuskan untuk merebahkan dirinya dulu di sofa sampai keadaannya membaik.Melihat wajah Aruna yang pucat dan lemas, mbok Jum segera menelepon Anggasta untuk memberitahukan keadaan Aruna padanya tapi sayang Anggasta sama sekali tidak menggubris panggilannya."Non mau mbok bawa ke rumah sakit?" tawar mbok Jum."Enggak apa-apa mbok, Aruna cuma pusing aja kok.""Tapi-""Mbok, Aruna beneran gak apa-apa." Aruna tersenyum tipis dan memejamkan kedua matanya kembali.Karena mbok Jum khawatir dan Aruna tetap bersikeras, jadi mbok Jum berinisiatif memanggil bidan yang ada di dekat perumahan untuk datang ke rumah. Aruna sudah tertidur pulas di sofa, namun wajahnya masih pucat dan keringat sebesar biji jagung mengalir di dahinya
Keadaan Aruna akhirnya membaik setelah diberi obat oleh dokter kandungan, kepalanya sudah tidak pusing lagi dan ia sudah bisa makan dengan baik. Rajasa dan Kinan sudah pulang saat ini karena ada kerabat Kinan yang datang bertamu, sedangkan Kastara kembali ke Yvaine untuk melanjutkan sesi pemotretannya yang tertunda karena di hubungi Rajasa."Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit?" tanya Anggasta. "Aku gak sempat ngehubungin kamu mas, lagian bukannya mbok Jum udah ngehubungin kamu ya?" jawab Aruna santai sambil memakan bubur ayamnya."Aku ketiduran Na, jadi aku gak tau kalau mbok Jum nelepon." Anggasta mencoba membela diri."Nah, berarti bukan salah aku. Asal mas tau aja Mbok Jum udah sempat kok ngomong sama Alana di telepon dan minta mas pulang, tapi dia malah gak ngizinin mas pulang.""Gak mungkin, gak ada panggilan terjawab dari mbok Jum di ponsel aku Na.""Terserah mas mau percaya atau enggak, tapi aku lebih percaya sama mbok Jum." Aruna menyerahkan mangkuk bubur ayam ke tangan
Aruna dan Anggasta kompak memandangi barang milik Aruna yang tergeletak di atas lantai kamar Anggasta, kamar Anggasta sudah penuh dengan barang miliknya dan kini Aruna bingung harus meletakkan barangnya dimana. Anggasta tidak mau mengalah sama sekali pada Aruna, ia tidak mau barang miliknya bergeser sedikitpun dari tempatnya. Aruna sudah lelah berdebat seperti ini hanya demi lahan pakaian di lemari, tanpa mendengarkan ocehan Anggasta lagi ia langsung meletakkan pakaiannya juga underwearnya yang memiliki berbagai macam bentuk ke dalam lemari Anggasta. "Na, keluarin semua baju kamu!" Anggasta mulai tidak sabaran melihat isi lemarinya yang terlihat berantakan, Anggasta baru saja ingin mengeluarkan kembali pakaian Aruna namun tiba-tiba Aruna malah mengunci lemari dan membawa pergi kuncinya."Terus baju aku mau diletakkin dimana mas? lemari di rumah ini cuma ada tiga, di kamar kamu di kamar sebelah dan kamar mbok Jum. Masa iya aku harus letakkin di kamar sebelah," Aruna mendengus kesal.
Siang ini Anggasta baru saja tiba di kampus dan baru menginjakkan kakinya di gerbang utama, namun telinganya sudah di penuhi dengan cibiran dari orang-orang yang berada di dekatnya. Mereka mencibir masalah perselingkuhan antara dirinya dan Alana, bahkan mereka mendoakan hal yang tidak baik untuknya dan untuk Alana. Sekuat hati, Anggasta berusaha tidak menggubris ucapan orang-orang dan terus berjalan seperti biasanya menuju ruangan dosen. Mulai hari ini Alana resmi mengundurkan diri sebagai dosen di Universitas Surya Cakra, Anggasta bisa sedikit bersyukur karena Alana tidak akan mendengar cibiran jahat dari orang-orang lagi. "Pak Anggasta," panggil Ressa dengan wajah juteknya. "Iya bu Ressa?" "Ayo ikut saya ke ruangan rektor," "Tapi untuk apa saya kesana, bu Ressa?" Ressa mendecih kesal karena Anggasta terus bertanya, "Pak Anggasta, saya gak punya banyak waktu buat ngobrol sama bapak. Silahkan ikut saya ke ruangan rektor, sekarang!" Anggasta akhirnya mengalah, lalu mengikuti Res
"Minum dulu Na," Liza menyerahkan satu botol air mineral pada Aruna, juga pakaian ganti karena baju Aruna kotor penuh noda tanah. "Makasih Liz," "Sekarang ceritain semuanya sama aku, biar aku paham dan semoga bisa kasih solusi yang terbaik buat kamu Na." Aruna menghela nafas pelan dan menceritakan semua yang terjadi padanya hari ini, Liza menyimak setiap detil yang Aruna ceritakan padanya tanpa menyela ucapan Aruna. "Terus sekarang kamu mau apa Na?""Aku mau bercerai dari mas Anggasta, toh pernikahan ini juga enggak membahagiakan aku Liz. Lagipula seharusnya sejak awal aku gak minta pertanggung jawaban mas Anggasta, aku bisa sampai hamil begini kan karena rencana gila aku sendiri. Dan gara-gara aku hidup mas Anggasta berantakan," Aruna menatap keluar jendela, seumur hidupnya baru kali ini ia merasa sangat bersalah dan menyesal. "Kamu udah yakin sama keputusan kamu? kalau kamu bercerai dari mas Anggasta kamu bakal jadi single parent Na," "Aku udah yakin banget Liz dan aku mau sec
Untuk menebus kesalahannya pada Anggasta, Aruna sudah menyiapkan banyak sarapan pagi dengan berbagai menu masakan kesukaan Anggasta. Aruna ingin berdamai dengan Anggasta, karena kelak ia ingin berpisah dengan Anggasta tanpa ada konflik apapun lagi diantara mereka berdua.Aruna baru akan memanggil Anggasta turun untuk sarapan pagi, namun Anggasta sudah lebih dulu keluar kamar dengan setelan jasnya. Tanganya yang terluka sudah berbalut kain kasa yang nampak berantakan, bahkan sebagian lukanya tidak tertutup dengan sempurna."Mas mau kemana?" tanya Aruna heran, karena setau Aruna Anggasta sudah tidak mengajar lagi di kampus."Bukan urusan kamu aku mau kemana," jawab Anggasta ketus."Oke kalau mas Anggasta gak mau ngasih tau aku mau pergi kemana, tapi sebelum pergi tolong sarapan dulu dan biarin aku ngobatin luka mas Anggasta dengan benar."Melihat jejeran makanan yang menggugah selera ada di depan matanya, Anggasta akhirnya mau menuruti ucapan Aruna karena memang sedari kemarin Anggasta
Aruna merenung di meja makan, sudah pukul sembilan malam Anggasta masih belum pulang juga padahal Aruna sudah memasak untuknya. Memang tadi pagi Anggasta bilang Aruna tidak perlu menunggu dan menyiapkan makan untuknya, Aruna kira Anggasta tidak bersungguh-sungguh berkata seperti itu tapi ternyata ia benar-benar tidak pulang malam ini. Mbok Jum akhirnya membereskan semua lauk pauk dan menyimpannya di dalam kulkas untuk di hangatkan lagi besok pagi, Aruna akhirnya memutuskan untuk tidur saja karena Anggasta juga tidak kunjung pulang ke rumah. Pagi hari, Aruna keluar dari kamar dengan tergesa-gesa karena ia harus menghangatkan lagi makanan yang semalam tidak tersentuh sama sekali. Dengan cekatan ia mengeluarkan semua lauk pauk dari dalam kulkas, juga mengupas buah untuk membuat jus kesukaan Anggasta. "Mbok, mas Anggasta udah keluar dari kamarnya?" tanya Aruna sembari tangannya sibuk menghangatkan makanan. "Den Anggasta gak pulang non semalam, sekarang juga belum pulang dan kasih kabar
Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan
Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski
Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe
Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k
"Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter
Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak
"Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena
Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-
Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan