Untuk menebus kesalahannya pada Anggasta, Aruna sudah menyiapkan banyak sarapan pagi dengan berbagai menu masakan kesukaan Anggasta. Aruna ingin berdamai dengan Anggasta, karena kelak ia ingin berpisah dengan Anggasta tanpa ada konflik apapun lagi diantara mereka berdua.Aruna baru akan memanggil Anggasta turun untuk sarapan pagi, namun Anggasta sudah lebih dulu keluar kamar dengan setelan jasnya. Tanganya yang terluka sudah berbalut kain kasa yang nampak berantakan, bahkan sebagian lukanya tidak tertutup dengan sempurna."Mas mau kemana?" tanya Aruna heran, karena setau Aruna Anggasta sudah tidak mengajar lagi di kampus."Bukan urusan kamu aku mau kemana," jawab Anggasta ketus."Oke kalau mas Anggasta gak mau ngasih tau aku mau pergi kemana, tapi sebelum pergi tolong sarapan dulu dan biarin aku ngobatin luka mas Anggasta dengan benar."Melihat jejeran makanan yang menggugah selera ada di depan matanya, Anggasta akhirnya mau menuruti ucapan Aruna karena memang sedari kemarin Anggasta
Aruna merenung di meja makan, sudah pukul sembilan malam Anggasta masih belum pulang juga padahal Aruna sudah memasak untuknya. Memang tadi pagi Anggasta bilang Aruna tidak perlu menunggu dan menyiapkan makan untuknya, Aruna kira Anggasta tidak bersungguh-sungguh berkata seperti itu tapi ternyata ia benar-benar tidak pulang malam ini. Mbok Jum akhirnya membereskan semua lauk pauk dan menyimpannya di dalam kulkas untuk di hangatkan lagi besok pagi, Aruna akhirnya memutuskan untuk tidur saja karena Anggasta juga tidak kunjung pulang ke rumah. Pagi hari, Aruna keluar dari kamar dengan tergesa-gesa karena ia harus menghangatkan lagi makanan yang semalam tidak tersentuh sama sekali. Dengan cekatan ia mengeluarkan semua lauk pauk dari dalam kulkas, juga mengupas buah untuk membuat jus kesukaan Anggasta. "Mbok, mas Anggasta udah keluar dari kamarnya?" tanya Aruna sembari tangannya sibuk menghangatkan makanan. "Den Anggasta gak pulang non semalam, sekarang juga belum pulang dan kasih kabar
Siang hari saat cuaca sedang terik-teriknya, Aruna memutuskan untuk berenang di kolam untuk menghilangkan rasa gerahnya. Aruna nampak lihai berenang dan menimbulkan suara percikan air yang menggangu tidur siang Alana, Alana menggerutu kesal pasalnya ia tidak tidur semalaman dan sekarang ia ingin beristirahat tanpa gangguan. "Kenapa si sayang?" tanya Anggasta sembari menarik Alana ke dalam pelukannya. "Kamu gak denger apa? itu suara di kolam renang berisik banget siang-siang gini." Anggasta membuka matanya dan menanjamkan pendengarannya, memang suara riak air kolam renang terdengar sampai ke telinganya namun tidak sampai mengganggu seperti yang Alana katakan. "Aku gak bisa tidur kalau ada suara berisik gini, Ngga." Alana merengek dengan wajah mengantuknya. Anggasta sebenarnya malas untuk turun ke bawah dan melihat siapa yang sedang berenang saat ini, tapi dari dugaannya ia tau kalau itu pasti Aruna yang sedang berenang. Alana menggandeng tangan Anggasta dan sudah bersiap untuk me
Anggasta keluar dari restoran dengan wajah yang ditekuk masam, setelah membayar makanan dengan harga yang cukup mahal nyatanya Alana masih juga menolak untuk memakannya. Banyak alasan yang ia katakan mulai dari rasa masakannya yang hambar, bahannya yang tidak fresh bahkan sampai mengatakan hal yang membuat pihak restoran tersinggung. Anggasta benar-benar tidak menyangka kalau Alana memiliki attitude yang begitu buruk, entah karena kehamilan yang membuat emosinya tidak stabil atau memang sejak dulu sikap dan sifat Alana sudah seperti itu hanya saja Anggasta tidak menyadarinya. Sesampainya di rumah Anggasta hendak memarkirkan mobilnya ke dalam carport, namun ternyata sudah tidak ada lagi tempat disana karena tempat miliknya diisi oleh satu mobil yang Anggasta kenal pemiliknya. Anggasta menekan klakson mobilnya berkali-kali, hingga Aruna keluar dari dalam rumah bersama dengan Kastara dan mbok Jum. Dengan gusar, Anggasta keluar dari mobil dan langsung menarik kemeja flanel Kastara secara
Empat hari meninggalkan rumah dan tinggal di rumah Alana, kini waktunya Anggasta untuk pulang ke rumahnya yang di tinggali Aruna. Empat hari tinggal bersama Alana membuat suasana hati Anggasta selalu dalam keadaan tidak baik, bahkan Anggasta yakin jika ia tinggal lebih lama di rumah Alana maka Anggasta bisa mengalami stres berat. Alana itu terlalu manja, semua hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga Anggasta semua yang mengerjakan padahal ia juga sudah lelah berada di restoran hampir dua belas jam. Sedangkan Alana hanya tiduran di rumah dan menyuruh-nyuruhnya untuk melakukan ini itu, bahkan air minum untuknya sendiri juga Anggasta yang menyediakan padahal jarak antara kamar Alana dengan dapur sangat dekat. Ditambah lagi kemarin orang tua Alana datang berkunjung, Anggasta di perlakukan seperti budak disana karena orang tua Alana juga mendukung perbuatan putrinya. Mereka bilang ketika seorang istri sedang mengandung maka sang suami wajib memperlakukannya seperti ratu, itu tidak m
Matahari belum menunjukkan eksistensinya di langit, bahkan Anggasta juga belum menuntaskan rasa kantuknya namun ponselnya terus-menerus berdering dan mengganggu tidur nyenyaknya. Dengan malas Anggasta mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas nakas, lalu melihat siapa yang sudah mengganggunya di pagi buta ini. Alana, lagi-lagi Alana yang mengganggunya. Ada sepuluh panggilan tidak terjawab dan dua puluh lima chat masuk darinya, entah apa yang sudah terjadi padanya yang jelas Anggasta harus meneleponnya sekarang. Anggasta khawatir terjadi sesuatu hal buruk padanya, mengingat sebelumnya Alana tidak pernah menghubunginya sampai seperti ini. Panggilan pertama Anggasta langsung dijawab cepat oleh Alana, saat Anggasta memanggil namanya isak tangis langsung terdengar dari ujung telepon. "Al, kamu kenapa?!" tanya Anggasta khawatir. "Anggasta, aku kesepian. Aku enggak bisa tidur sendirian, aku terbiasa tidur sama kamu beberapa hari ini." tangis Alana di ujung telepon. Anggasta mengusap wa
Di atas dashboard, ponsel Anggasta terus berbunyi entah sudah berapa kali Alana memanggilnya. Anggasta masih kesal padanya dan tidak ingin mendengar drama tangisannya dulu, Anggasta akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya saja untuk hari ini demi tidak diganggu oleh Alana. Melihat Anggasta bersikap tegas untuk yang pertama kalinya pada Alana, Aruna cukup merasa senang di dalam hatinya. Aruna kira Anggasta akan selalu menjadi budak cintanya Alana, tapi ternyata Anggasta bisa lelah juga menghadapi Alana. "Na, kita gak usah ke rumah dulu. Aku yakin Alana pasti bakal dateng kesana buat nemuin aku." ucap Anggasta tiba-tiba. Aruna terkejut sejenak, "Terus kita mau kemana mas?" "Kita ke rumah ayah aja, lagian aku juga mau sekalian ambil motor aku disana." "Mas enggak takut kalau Alana dateng ke sana dan buat keributan?" tanya Aruna, karena ia yakin Alana tidak akan menyerah begitu saja. "Nanti biar ayah yang handle dia," Anggasta tersenyum penuh arti. Saat sampai di rumah Raj
"Bagaimana keadaan anak saya dok?" tanya Rajasa pada dokter jaga yang memeriksa keadaan Anggasta."Saudara Anggasta mengalami kelelahan, sepertinya ia juga tidak makan dengan benar karena pencernaannya agak sedikit bermasalah.""Ini pasti karena ulah kamu kan?! gara-gara kamu anak saya sampai sakit seperti ini!" bentak Kinan, hingga membuat pasien UGD yang lain terganggu."Loh kenapa gara-gara aku?" tanya Aruna kesal karena di salahkan tanpa sebab."Nah, kalau ibu mau salahin atas sakitnya mas Anggasta ibu salahin aja tuh dia. Empat hari kemarin mas Anggasta tinggal di rumah Alana, sekarang silahkan ibu interogasi dia." tunjuk Aruna pada Alana yang kebetulan baru saja datang dan masuk ke ruang UGD."Apa-apaan kamu Aruna! seenaknya aja kamu nyalahin aku!" ucap Alana tidak kalah sengitnya."Kalau kalian mau bertengkar sebaiknya bertengkar di luar, karena di ruangan UGD ini tidak hanya ada kalian saja!" ucap dokter jaga yang sudah pusing melihat ketiga perempuan beda generasi itu saling
Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan
Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski
Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe
Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k
"Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter
Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak
"Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena
Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-
Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan