Terjerembap dalam Pelarian
Bercerai dan menikah lagi, aku sudah lupa berapa kali aku dan Rangga rujuk dalam pernikahan.
Dia pernah memperlakukanku seperti sesuatu yang berharga, tetapi kurang dari setahun setelah pernikahan kami, dia mengajukan perceraian pertama kami.
Alasannya sederhana, Sarah akan kembali.
“Sarah itu seorang tokoh publik,” katanya padaku. “Aku tak ingin ada yang mengira dia terlibat dengan pria beristri.”
Selebritas tingkat rendah itu tidak punya apa pun kecuali pengorbanan ayahnya.
Ayahnya dulu rela mati demi Rangga, halangi peluru demi dia, nyawa ganti nyawa.
Dan karena itu, Rangga merasa berutang segalanya padanya.
Setiap kali Sarah kembali ke negara ini, Rangga menceraikanku.
Dan setiap kali Sarah pergi, kami menikah lagi.
Pertama kali kami berpisah, aku menenggelamkan air mataku dalam wiski dan terhuyung-huyung kembali ke rumahnya dalam keadaan setengah mabuk.
Lampu di dalam terasa hangat, Rangga bersamanya.
Sementara aku berdiri di luar, menggigil sepanjang malam.
Kali kedua, aku mengikuti setiap gerak-geriknya—restoran, lelang, acara amal—hanya untuk ‘tak sengaja’ ketemu dengannya lagi.
Kemudian, aku belajar lebih baik.
Saat dia menyebut kata cerai, aku akan diam-diam mengepak koperku dan menghilang dari rumahnya.
Cinta dan penghinaan telah membuatku terjebak dalam siklus putus-nyambung dengannya yang tiada habisnya.
Namun kali ini, ketika Rangga menungguku di Kantor Catatan Sipil untuk menikah lagi, aku tak pernah muncul...