Home / Rumah Tangga / Tolong, Cintai Aku! / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Tolong, Cintai Aku!: Chapter 11 - Chapter 20

41 Chapters

BAB 10 : Sad Girl Irony [2]

Sesampainya di kamar, aku segera membuka lemari dan mengambil paper bag pemberian Artemis—sesuatu yang hingga kini belum pernah kubuka.Di dalamnya, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan warna-warna berkilauan. Napasku tiba-tiba memburu, emosi sepenuhnya menguasai. Tanpa berpikir panjang, aku melempar benda itu ke lantai dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.Namun, alih-alih rusak, justru kakiku yang terasa nyeri. Rasa sakit itu menampar kesadaranku, menyadarkan betapa bodohnya tindakanku barusan.Lututku mulai lemas, dan aku perlahan jatuh terduduk dengan dada naik-turun, berusaha menenangkan diri. Tatapanku kembali tertuju pada gantungan kunci itu—memandanginya dengan nanar, sementara tenggorokanku terasa tercekat.Seharusnya aku menangis dalam situasi ini. Tapi demi apa pun, air mata itu tak mau keluar. Jangankan menetes ke pipi, bahkan berkaca-kaca pun tidak. Apa aku terlalu tegar hingga bisa menahannya? Padahal, aku merasa begitu berantakan. Perasaanku kacau, dadaku se
last updateLast Updated : 2025-02-15
Read more

BAB 11 : Frustrasi [Bagian 1]

Aku bersyukur pertemuan siang itu berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Fokus Mahendra sempat teralihkan dariku, memberi kesempatan bagiku untuk menyimak dengan tenang apa yang disampaikan sutradara dan penulis naskah Dua Sisi. Saat pulang, aku menolak diantar ke rumah dan memilih ikut ke apartemen Mbak Hera untuk menenangkan diri. Pusing kepala yang semula kuabaikan kembali muncul di perjalanan, hingga kami sempat mampir ke apotek untuk membeli obat. Begitu tiba di apartemen, aku hanya makan sebungkus roti dan minum obat sebelum akhirnya tertidur hingga menjelang magrib. Setelah bangun, kondisiku cukup membaik. Namun, tentu saja aku tak bisa menghindar dari interogasi Mbak Hera. Menurutnya, selain persoalan film bersama Mahendra, ada hal lain yang mempengaruhiku—membuatku ceroboh sepanjang hari. “Masalah rumah yang mana lagi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku belum sepenuhnya sadar, Mbak,” ringisku sambil berusaha duduk. “Dari siang aku sudah menahan diri karena ingin fokus m
last updateLast Updated : 2025-02-16
Read more

BAB 12 : Frustrasi [Bagian 2]

Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera. Namun, tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berpelukan—atau lebih tepatnya, berbisik agar tak didengar oleh Atlantis.“Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya.”Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehat, Mbak.”“Oke, bisa kuterima. Tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?”Mulutku sontak mengatup. Aku enggan mengulang apa yang sudah terucap. Biarlah Mbak Hera terjebak dalam pikirannya sendiri. Perasaanku adalah otoritasku. Dia boleh memberi nasihat, tapi keputusan tetap ada padaku. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan—orang lain hanya bisa melihat, tanpa benar-benar merasakan atau berada di posisiku.“Aku pulang ya, Mbak. Makasih sudah diizinkan istirahat di tempatmu,” ucapku pelan. Setelah itu, aku menarik diri dan berbalik menuju mobil.Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama terdengar suaranya dari
last updateLast Updated : 2025-02-18
Read more

BAB 13 : Niat Jahat

Dalam film Dua Sisi, aku berperan sebagai Karina, seorang model muslimah terkenal dengan citra baik. Namun, di balik kesempurnaan yang ditampilkan di depan publik, dia sebenarnya adalah simpanan seorang pengusaha kaya.Lawan mainku, Sherina, berperan sebagai Dania—istri sah si pengusaha yang berusaha mengungkap perselingkuhan suaminya. Sayangnya, upayanya malah berujung bumerang; publik justru menghujatnya karena dianggap tak punya bukti yang cukup.Kami semua terjerat dalam kisah ini karena Mahendra—“Semua orang yang melihat penampilan luar Karina pasti akan berdecak kagum, memuji kelembutan serta tutur katanya yang sopan.”Aku langsung mendongak saat mendengar barisan narasi itu dibacakan. Jantungku berdegup kencang ketika menyadari Mahendra berdiri di belakangku, tubuhnya condong ke depan hingga dagunya nyaris menyentuh rambutku.“Ngapain di sini?!” tanyaku kaget.“Berlatih dialog denganmu sebelum syuting dimulai,” ujarnya dengan enteng.Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri,
last updateLast Updated : 2025-02-19
Read more

BAB 14 : Undangan Reuni

Papa: [Pulang syuting, temui Papa di ruang kerja.]Aku membacanya tepat setelah syuting adegan hari ini berakhir. Sambil pasrah membiarkan Mbak Hera menghapus riasanku dan melepas hijab yang kukenakan, aku berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga papa—yang biasanya jarang menghubungi—tiba-tiba mengirim pesan secara pribadi.Pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan, aku yakin itu. Dengan hubungan kami yang tidak dekat, mana mungkin beliau tiba-tiba mengajakku mengobrol santai seperti saat berbicara dengan Artemis? Mustahil. Bahkan dalam pikiranku sekalipun, aku tak pernah membayangkan hal itu terjadi.“Mbak, kalau malam ini suasana hatiku kacau, boleh tidak aku menginap di apartemenmu?”Gerakan tangan Mbak Hera terhenti. Dia melirik ke arah kaca rias, dan pandangan kami bertemu di sana.“Memangnya kenapa? Ada masalah?” tanyanya.“Selalu ada, tapi sepertinya kali ini lebih dari biasanya.”“Soal apa?”“Belum tahu.”“Lho?”“Aku menebak duluan saja, jaga-
last updateLast Updated : 2025-02-22
Read more

BAB 15 : Menguping Pembicaraan

Kami berakhir di Imperial Kitchen setelah aku membeli dress yang direkomendasikan oleh Atlantis. Aku memesan cumi pedas dan nasi goreng, sementara Atlantis memilih nasi hainan set dan ceker ayam. Selain itu, kami juga memesan bakpao telur asin dan dimsum sebagai tambahan. Untuk minuman, hanya air mineral dingin, ditambah satu snow ice sebagai dessert untukku.“Selain dress, ada lagi yang ingin kamu beli?” tanya Atlantis sambil mulai makan.“Tidak,” jawabku tanpa pikir panjang. “Kalau Kakak sendiri?”“Mungkin nanti. Sekarang makan dulu. Setelahnya, ada yang mau aku tanyakan ke kamu. Pertanyaannya nggak terlalu serius, tapi jawabannya lumayan penting buat aku.”“Apa itu?” tanyaku penasaran.“Sabaaar. Fokus makan dulu, ya. Rasa enaknya akan berkurang kalau kita kebanyakan ngomong.”“Tapi aku bisa sambil keduanya.”Atlantis tertawa geli melihat ekspresiku yang serius. “Aku takut kamu tersedak, Thena.”Seketika wajahku memanas. Aku buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menyendok nasi dan mem
last updateLast Updated : 2025-02-22
Read more

BAB 16 : Reuni Organisasi

Acara reuni kami diadakan di sebuah kafe bar, karena tidak sepenuhnya formal. Meski begitu, niat baik panitia yang menggabungkan silaturahmi dengan aksi sosial patut diapresiasi. Dana yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, sebagian lagi digunakan untuk membeli peralatan sekolah bagi anak-anak yang membutuhkan.Arman, salah satu panitia, berdiri di depan dan mengumumkan, “Oke, sebelum gue kasih nomor rekening ke kalian, ayo kita dengar sepatah dua patah kata sambutan dari mantan wakil ketua organisasi kita, Atlantis Pranadipta, selaku pencetus ide sekaligus donatur pertama acara amal ini.”Seketika, semua mata tertuju pada Atlantis. Beberapa orang tertawa, bersiul, atau bertepuk tangan sekadar menggoda dirinya.“Sudah, sudah, heboh sekali kalian. Seperti anak TK yang lagi study tour saja,” kekeh Atlantis. Dia bangkit dan berjalan percaya diri ke depan, bergabung dengan Arman dan panitia lainnya.“Ehm, apa ya?” katanya sambil menggaruk kepala, pura-pura berpikir. “Aku cuma mau
last updateLast Updated : 2025-02-24
Read more

BAB 17 : Interogasi

Rasa sakit di kaki kananku semakin menjadi seiring perjalanan menuju rumah sakit. Kepalaku bersandar di sandaran jok mobil, sementara tanganku tanpa sadar mencengkeram lengan Atlantis erat. Suasana malam yang sebelumnya tenang kini terasa mencekam, dipenuhi ketidaknyamanan dan penyesalan yang membebani pikiranku. Seandainya saja aku tidak kehilangan akal sehat, semua ini mungkin tidak akan terjadi.“Maaf, Kak,” ucapku pelan, nyaris berbisik. Aku tak berani menatapnya.“Maaf? Maaf untuk apa?” tanyanya, menoleh sekilas.“Untuk semuanya.”“Kamu nggak salah, Thena. Ini hanya kecelakaan kecil. Musibah bisa terjadi kapan saja, kita nggak bisa selalu menghindarinya.”“Tapi—”“Ssttt, sekarang diam dan beristirahatlah. Pasti sakit banget, kan? Simpan tenagamu untuk nanti di rumah sakit.”Sesampainya di rumah sakit, Atlantis langsung membawaku ke UGD. Setelah menjelaskan kejadian tadi kepada petugas, kami segera diarahkan ke ruang pemeriksaan.Tak lama kemudian, dokter datang dan mulai memeriks
last updateLast Updated : 2025-02-24
Read more

BAB 18 : Pengakuan yang Mengejutkan

Jadwal syutingku terpaksa ditunda karena kakiku masih dalam masa pemulihan. Untungnya, sutradara bisa memahami kondisiku dan menyarankan beristirahat sampai benar-benar pulih.“Aku melewatkan banyak hal sampai hari ini,” ujar Mbak Hera sambil fokus menyetir. “Kau juga nggak bilang kalau cedera kaki.”“Ceritanya cukup rumit, tapi sekarang sudah jauh lebih baik. Terima kasih, ya, sudah menemaniku ke salon dan sekarang mengantarku ke kafe dekat kampus, Mbak.”“Kau mau menemuinya, kan? Makanya jadi lebih memperhatikan penampilan.”Aku tersenyum kecil, menatap keluar jendela. “Iya. Mulai sekarang, aku ingin terang-terangan dengan perasaanku.”“Pernah membayangkan konsekuensinya? Yang kaupikir akan membuatmu bahagia, bisa jadi justru hal yang paling menyakitimu, Thena.“Aku sudah mempersiapkan diri, jadi tenang saja.”“Tapi, Thena ...” Suaranya melembut, seakan menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. “Aku takut kau akan lebih terluka dari sekarang.”“Kita tidak akan tahu sebelum mencoban
last updateLast Updated : 2025-02-25
Read more

BAB 19 : Mulai Memberontak

Aku memilih bermalam di hotel daripada pulang ke rumah. Dengan suasana hati seperti ini, aku belum siap menghadapi kemarahan Mama—belum lagi kalau Papa sampai tahu. Cercaan mereka pasti akan semakin menjadi.Getaran ponsel di atas nakas menarik perhatianku. Nama Artemis tertera sebagai penelepon. Aku langsung membuang muka, enggan mengangkatnya. Setelah mendengar apa yang Atlantis katakan tadi, perasaanku terhadap Artemis semakin keruh. Seakan dia begitu sempurna hingga semua orang sibuk menjaga perasaannya—tak satu pun ingin melukai hatinya.Di dunia yang luas ini, keberadaanku tak lebih dari sebutir debu—tak terlihat, tapi tetap mengganggu. Diam, tak ada yang peduli. Bergerak, dianggap salah. Jadi, untuk apa terus bertahan dalam bayang-bayang? Sekalian saja aku memberontak. Aku sudah lelah terus diinjak.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Kali ini, pesan dari Mbak Hera. Aku segera membukanya.Mbak Hera: [Aku udah di lobi. Temui dalam sepuluh menit, maaf nggak bisa nunggu lama kar
last updateLast Updated : 2025-03-01
Read more
PREV
12345
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status