Home / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Suami Kontrak CEO Cantik: Chapter 11 - Chapter 20

35 Chapters

Bab 11: Krisis dan Ciuman di Mobil

Pagi itu di ruang rapat utama Wihardjo Corp, suasana begitu tegang. Para eksekutif duduk dengan wajah cemas, sementara suara Kara yang tegas memenuhi ruangan. Ia membahas laporan terbaru yang menunjukkan masalah besar: sebuah proyek besar yang melibatkan banyak investor telah mengalami keterlambatan yang signifikan.“Apa penjelasan kalian? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kara bertanya, nadanya dingin namun penuh tekanan.Salah satu manajer proyek memberanikan diri untuk berbicara. “Ada kendala teknis di lapangan, Bu Kara. Juga, beberapa bahan yang dipesan dari luar negeri terlambat dikirim karena masalah logistik.”Kara menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. “Kendala seperti ini seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Kita tidak bisa memberi alasan yang sama kepada para investor.”Para eksekutif saling berpandangan, tak ada yang berani menanggapi lebih lanjut. Kara menutup rapat dengan keputusan untuk memanggil seluruh pemegang saham dan investor utama untuk pertemuan da
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

Bab 12 : Sisa Ciuman dan Langkah Alice

Hasya mendekat, meraih dagu kara untuk ia bawa mendekat pada bibirnya. Ia hinggap di sana, mencecap bibir perempuan itu yang rasanya seperti kue red velvet. Dan Hasya senang, karena ketika ia memperdalam ciumannya, membiarkan lidahnya menerobos masuk mulut Kara, perempuan itu ... tidak mendorong tubuhnya sekaligus menamparnya.Kara -awalnya- diam saja, namun setelah Hasya menyentuh tengkuk Kara untuk memperdalam ciuman mereka, perempuan itu terhanyut juga.Ia mulai membalas ciuman demi ciuman itu. Beradu bibir atas dan bawah keduanya dengan hisapan-hisapan yang membuat waras terbang entah kemana. Lalu saat tangan Hasya hendak membuka kancing kemeja yang digunakan Kara, perempuan itu menahannya.Dan dengan mata yang sama gelapnya, kara berbisik setengah menahan gelora."Jangan di sini, sebaiknya kita ... pulang?"Tentu saja, Hasya menurut. Ia mulai kembali sibuk dengan kemudinya mempercepat laju kendaraan dan menahan sesuatu yang terasa mendesak di bawah sana. Hasya yang biasanya selal
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Bab 13: Percikan Cemburu

Hari itu, Kara merasa gelisah sejak pagi. Ia duduk di ruangannya, mencoba fokus pada layar laptop, tetapi pikirannya terus melayang pada pemandangan yang ia lihat kemarin: Alice dan Hasya, bercakap-cakap akrab di kubikel Hasya. Ia tidak suka perasaan ini, tetapi ia tidak bisa mengabaikannya.“Kenapa aku harus peduli?” Kara bergumam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pena. Namun, suara ketukan pintu membuatnya tersentak.“Kara, kamu ada waktu?” Hasya masuk dengan senyum canggung, memegang beberapa dokumen.Kara memandangnya sekilas. Meski raut wajahnya biasa saja, ada sedikit ketegangan dalam nadanya. “Ada apa?”“Saya butuh tanda tanganmu untuk dokumen ini. Selain itu, saya ingin diskusi sedikit soal laporan,” jawab Hasya sambil meletakkan berkas di meja.Kara mengangguk kecil dan mulai membaca dokumen. Hasya berdiri di depannya dengan gelisah, sesekali melirik Kara yang terlihat begitu serius. Setelah beberapa menit, Kara akhirnya menandatangani dokumen tersebut.“Kamu bisa langsung t
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more

Bab 14: Perempuan di Masa Lalu Hasya

Pagi itu, Kara menatap kosong jendela besar ruangannya. Hatinya gelisah, pikirannya terhanyut oleh kebiasaan Hasya yang mulai ia sadari akhir-akhir ini. Setiap minggu, tanpa absen, Hasya selalu pergi ke rumah sakit setelah pulang kerja, dengan alasan menjenguk kakaknya yang dirawat. Namun, anehnya, ia tak pernah sekalipun mengajak Kara.Kara menyesap kopi yang mulai dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang dirundung kecurigaan. "Kenapa dia menyembunyikan ini dariku?" gumamnya pelan. Penasaran yang menggerogoti membuat Kara akhirnya memutuskan untuk menyusul Hasya ke rumah sakit sore itu.Kara diam-diam mengendarai mobilnya, menjaga jarak agar Hasya tidak menyadari keberadaannya. Setelah tiba di rumah sakit, ia melihat Hasya berjalan masuk dengan langkah tergesa. Kara menunggu beberapa saat sebelum mengikuti, matanya terus mengawasi Hasya yang akhirnya berhenti di sebuah ruangan.Dari celah pintu, Kara melihat Hasya berbicara dengan seorang perempuan muda berseragam perawat. Wajah p
last updateLast Updated : 2025-01-15
Read more

Bab 15: Jangan Menjadi Curang

Langit sore itu memayungi kota dengan warna jingga yang nyaris terbakar, seakan menggemakan gejolak di hati Kara. Duduk di ruang kerjanya, Kara menatap layar laptop yang menyala, tetapi pikirannya melayang jauh ke rumah sakit, tempat Hasya sering menghabiskan waktunya belakangan ini.Hasya mungkin telah menjelaskannya kemarin, namun tetap saja, Kara masih diliputi perasaan yang tidak nyaman. Kenyataan bahwa Dhea—mantan kekasih Hasya—juga ada di sana, seperti menyalakan bara yang selama ini tertahan dalam hatinya.Kara menghembuskan napas panjang, mencoba mengusir kekalutan yang menggantung di udara. Namun, kilatan-kilatan masa lalunya justru menyeruak, membawa rasa sakit yang selama ini ia coba pendam.Masa lalu yang membentuknya menjadi sosok skeptis, sulit percaya pada siapapun.Itu saat ia masih kecil.Sangat kecil.Saat itu Kara percaya bahwa kepercayaan adalah dasar dari setiap hubungan. Namun, kepercayaan itu hancur berkeping-keping pada saat yang paling tidak ia duga. Tente Ga
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more

Bab 16: Hasya Di Hotel

Langit malam menghias dirinya dengan bintang-bintang yang bersinar malu-malu. Namun, suasana di dalam hati Kara terasa sebaliknya—gelap, mendung, dan bergejolak. Jari-jarinya mencengkeram ponsel, memandangi foto yang dikirim oleh pengirim anonim. Dalam gambar itu, Hasya sedang memapah seorang perempuan keluar dari lobi hotel. Perempuan itu, tanpa diragukan lagi, adalah Dhea. Kara merasakan gelombang panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Rasionalitasnya mencoba bersuara, tetapi dikhianati oleh getar kecil yang terus mengusik pikirannya. Kata-kata yang pernah Hasya ucapkan tentang rasa bersalahnya pada Dhea seakan kembali menggema. “Apa aku bodoh karena mulai percaya?” bisik Kara pada dirinya sendiri. Dia meraih kunci mobilnya. Dingin malam tak mampu membekukan tekad yang sudah membara dalam dirinya. "Aku tidak suka fakta ini, tapi kenapa ... hatiku menjadi tidak nyaman ya? Apa yang salah dengan sebuah foto ini? Hasya tidak berarti apa-apa buatku, pun hubungan kami yang hanya kontrak.
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more

Bab 17: Ciuman Yang Membingungkan Hasya

Langit malam di kota berpendar dengan lampu-lampu yang menari, namun suasana hati Kara terasa buram. Hasya berdiri di hadapannya di lobi hotel, menunggu jawaban yang seolah terjebak di tenggorokan Kara. Pertanyaan Hasya tadi terus bergema: "Kenapa kamu terlihat peduli, Kara? Hubungan kita hanya kontrak, kan?" Kara menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Wajah Hasya memancarkan harapan yang samar, seolah menunggu jawaban yang bisa mengubah segalanya. Namun, Kara memutuskan untuk mengeluarkan kata-kata yang telah ia susun dengan hati-hati. “Hasya, aku tidak peduli dalam arti seperti yang kamu pikirkan,” kata Kara, nadanya datar dan penuh kendali. “Hubungan kita masih sama seperti dulu, hubungan sebatas kerja sama. Jangan terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak ada.” Tegas sekali! Suara Kara menggema di telinga Hasya. Hasya terdiam. Kata-kata Kara seperti hujan badai yang tiba-tiba mengguyur, memadamkan api kecil yang perlahan mulai menyala di dalam dirinya. I
last updateLast Updated : 2025-01-17
Read more

Bab 18 : Retakan yang Kian Dalam

Malam yang kelam menyelimuti apartemen Kara dan Hasya. Di dalam ruang tamu yang hening, hanya ada dua orang yang saling berhadapan, tetapi suasana di antara mereka penuh ketegangan. Hasya berdiri dengan tubuh kaku, pandangannya menusuk Kara yang duduk di sofa. Kara menatapnya dengan raut wajah kesal, tetapi juga bingung. “Kenapa kamu masih marah?” tanya Kara, suaranya datar namun ada nada lelah di dalamnya. “Aku sudah mencoba memperbaiki semuanya.” Hasya menggelengkan kepala pelan, lalu berkata dengan nada yang datar tetapi menusuk, “Kalau kamu benar-benar ingin aku berhenti marah, mungkin kamu bisa tidur denganku.” "Apa?" "Tidur denganku," ulang Hasya. "Sama seperti kamu membayar kekesalanku dengan ciuman, kamu juga bisa membayar rasa marahku dengan tidur bersamaku." "Kamu benar-benar ...." "Kara ...." Hasya mendekat pada perempuan itu. "Kamu yang dengan teganya mengatakan hal itu padaku. Menganggap kontak fisik yng kita alami sebagai take and give, tidak lebih. Seolah aku ini
last updateLast Updated : 2025-01-18
Read more

Bab 19 : Tamu Tak Diundang dari Masa Lalu

Matahari baru saja menembus jendela apartemen ketika aroma bubur hangat menyebar di dapur kecil itu. Hasya dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk Kara, meski raut wajahnya masih datar dan tidak banyak bicara. Kara masih berbaring di sofa ruang tamu dengan tubuh yang lemah akibat demam yang belum sepenuhnya hilang. “Bangunlah, makan dulu sebelum ke kantor,” ujar Hasya datar. Kara membuka mata perlahan, menatap Hasya yang berdiri dengan mangkuk bubur di tangannya. Wajah perempuan itu tampak letih, tetapi ada rasa terkejut karena Hasya masih merawatnya meski suasana di antara mereka tetap dingin. “Kenapa kau repot-repot?” tanya Kara, suaranya serak. “Karena kau masih sakit,” jawab Hasya tanpa menoleh, meletakkan mangkuk di meja. “Dan aku tidak mau menjadi suami yang terlihat tidak peduli.” Kara terdiam. Ada rasa bersalah yang menyelubunginya, tetapi ia menahannya. Ketika Hasya menyuapi Kara dengan perlahan, Kara sesekali melirik wajahnya, mencari celah untuk bicara. Namun, Hasya te
last updateLast Updated : 2025-01-19
Read more

Bab 20 : Masa Lalu dan Pilihan yang Sulit

Pagi itu, udara terasa dingin ketika Hasya membuka pintu apartemen dan mendapati seorang kurir berdiri dengan senyum ramah, memegang buket bunga mawar putih yang dihiasi pita emas. Hasya mengenyit, merasa sedikit bingung dengan kiriman bungadi pagi hari. Untuk Kara, tentu saja.“Untuk Kara Wihardjo,” ujar kurir itu sambil menyerahkan bunga.Hasya menerima buket itu tanpa banyak bicara. Ia menatap kartu kecil yang terselip di antara kelopak bunga. Di sana tertulis nama pengirimnya: Adrian.Nama itu seolah menjadi jembatan yang menghubungkan dirinya dengan kejadian kemarin. Hasya mengingat pria tampan yang berhasil mengguncang Kara hanya dengan keberadaannya. Tiba-tiba, rasa tidak nyaman menjalar di dadanya. Membuat ia ingin sekali melemparkan bunga itu kedalam tong sampah.Ah!Hasya melirik pintu kamar Kara. Perempuan itu belum keluar. Tanpa berpikir panjang, Hasya membawa buket itu keluar apartemen. Di tangannya, mawar-mawar putih itu kehilangan pesonanya, hanya menjadi simbol dari se
last updateLast Updated : 2025-01-20
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status