Home / Romansa / DIMADU TANPA RESTU / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of DIMADU TANPA RESTU: Chapter 11 - Chapter 20

28 Chapters

11 – Ketahuan Juga

Wira duduk di kursi samping ayahnya. Matanya tak henti melirik ke arah kamar tempat Amara bersembunyi. Gelas teh yang sejak tadi ia pegang sudah dingin, tapi belum juga disentuh. Di hadapannya, Sekar duduk berseberangan, pura-pura sibuk menyusun camilan di meja. Ia menyadari kegelisahan suaminya, namun memilih bungkam. Ia tahu, badai bisa datang sewaktu-waktu.“Ibu lihat kamu kok agak aneh, Wira?” tanya sang Ibu tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di udara.Refleks, Wira menegakkan punggung. “Aneh gimana, Bu?”“Kelihatan tegang. Biasanya kalau kami datang, kamu santai. Tapi ini dari tadi kayak orang ketakutan.”Wira terkekeh kecil, meski terasa kaku. “Wira cuma kaget aja, Bu. Nggak nyangka Bapak dan Ibu datang mendadak. Padahal akhir pekan ini rencananya Wira mau beresin beberapa kerjaan.”“Kerjaan bisa diatur, Wira. Tapi keluarga itu tetap nomor satu,” ujar sang Ayah dengan nada lembut, sembari menepuk bahu anaknya.Sekar berdiri dengan senyum canggung. “Sekar ambilkan bua
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more

12 – Kemarahan Suryo

Sekar masih terpaku di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke dinding, tubuhnya terasa berat untuk sekadar berdiri. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tua Wira di ruang tamu. Namun yang pasti, hatinya semakin rapuh, nyaris tak mampu menanggung beban kenyataan yang menghimpit.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Jantung Sekar berdetak kencang, menimbulkan dentuman cemas di dadanya. Ia enggan beranjak, tapi suara ketukan kembali terdengar, kali ini disertai dengan suara yang ia kenali: Dian, ibunda Wira.Dengan langkah pelan dan berat, Sekar mendekat. Ia menarik engsel pengunci pintu, lalu memutar gagangnya perlahan hingga pintu terbuka.“Ibu ingin bicara,” ucap Dian tanpa basa-basi.Sekar mengangguk, memberikan jalan agar wanita paruh baya itu bisa masuk ke dalam kamarnya.“Silakan duduk, Bu,” katanya pelan, seraya menarik sebuah kursi kayu mendekati ranjang.Dian duduk di kursi, sementara Sekar memilih duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang tetap terasa meny
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more

13 – Tersudut

Malam ini terasa asing. Ruang makan yang dulu penuh kehangatan, kini dingin sedingin es. Baru kali ini Sekar duduk di meja makan yang sama dengan Wira dan Amara. Bahkan Dian dan Suryo pun ada di sana. Atmosfernya kaku, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—tajam, menusuk.Makanan tersaji di atas meja, aromanya menggoda. Siapa lagi yang memasak kalau bukan Sekar?Ya, selain karena tanggung jawabnya sebagai istri, Sekar memang jago masak. Tidak pernah sekalipun Wira mengeluh soal masakannya. Apa pun yang ia buat, selalu cocok di lidah Wira. Selalu.“Tunggu apa lagi? Ayo makan,” ucap Suryo memecah keheningan yang mencekam.Sekar yang sedari tadi termenung, tersentak. Ia duduk di samping Wira, mengambil piring, dan seperti biasa menuang nasi secukupnya lalu menyerahkannya kepada suaminya. Gerakan yang telah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun. Dian pun melakukan hal serupa untuk Suryo.Sementara Amara? Ia terlihat canggung, seperti orang yang salah kostum di pesta resmi.
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more

14 – Keinginan Sekar

Usai mencuci piring, Amara meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Namun, langkah itu terhenti seketika saat suara Dian memanggilnya dari ruang keluarga.“Amara, ke sini. Kami ingin bicara,” ucap Dian, tegas namun masih terdengar tenang.Amara menoleh, menahan napas sejenak, lalu melangkah mendekati Dian, Suryo, Sekar, dan Wira yang telah menunggunya di ruang keluarga. Suasana di ruangan itu terasa berat, seperti ada kabut tak kasatmata yang membebani udara.“Ada apa, Bu?” tanyanya ramah, meski sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.“Duduk. Kami ingin berbicara baik-baik,” balas Dian.Tanpa banyak komentar, Amara menuruti. Ia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang empuk, bergabung dengan yang lain. Tatapan Wira sesekali mencuri pandang ke arah Sekar, lalu kembali menatap Amara dengan gelisah.“Amara, kamu tahu kalau rumah ini adalah milik Sekar,” Suryo memulai pembicaraan dengan nada datar namun tajam.Amara mengangguk lemah, menunduk dalam.“Rumah in
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more

15 – Mengungkap Alasan

Malam ini, seperti biasa, Wira tidur di kamar Amara. Ia membiarkan Sekar sendiri, terkurung dalam sepi dan luka yang kian dalam di relung hatinya.“Mas, aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak mau pergi dari rumah ini,” kata Amara lirih, tapi nada suaranya penuh ketegasan. Di dalam kamarnya, matanya menatap tajam pada Wira.“Kenapa kamu begitu keras kepala, Amara? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu rela tinggal terpisah dari Sekar asal aku bersamamu? Aku penuhi itu. Lalu, kenapa kamu berubah pikiran sekarang?” Wira mencoba bersikap tenang, meski hatinya mulai panas.“Enggak, Mas. Aku tetap mau tinggal di sini. Lagi pula, apa salahnya aku dan Sekar tinggal satu atap? Kamu nggak akan ada terus untuk aku dua puluh empat jam, Mas. Bagaimana kalau kamu kerja? Atau harus dinas ke luar kota? Nanti aku sama siapa?” Amara kini terlihat seperti anak kecil yang menolak kenyataan.“Sekar juga mengajar siang hari. Jadi, kamu akan tetap sendiri di rumah ini.” Wira berusaha menjelaskan dengan suar
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more

16 – Permainan Panas Amara

“Sekar, aku mau bicara,” ucap Wira sesaat setelah kedua orang tuanya menghilang dari pandangan.Sekar mengangguk tanpa menjawab, lalu mengikuti langkah kaki Wira menuju ruang tamu rumah itu.“Duduk,” ucap Wira tegas.Sekar menuruti tanpa kata. Ia duduk dengan hati waspada.“Sekar, aku sudah putuskan. Setuju atau tidak, Amara akan tetap tinggal di sini bersama kita. Aku tidak bisa membiarkannya tinggal seorang diri dalam kondisi seperti ini. Aku harap kamu mengerti.”Nada suara Wira begitu kokoh, seolah tidak bisa digugat. Sekar terdiam, bangkit dari tempat duduknya tanpa berkata apa pun. Ia melangkah menuju kamar. Namun baru beberapa langkah, langkahnya terhenti. Amara sudah berdiri di hadapannya.“Jangan kira kamu menang hanya karena dapat pembelaan dari orang tuanya Mas Wira,” bisik Amara dengan nada mengancam.Sekar menahan napas, mencoba mengendalikan gejolak amarah di dadanya. Namun
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more

17 – Menemui Vania

Sekar menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah sederhana. Halaman tak berpagar itu tampak bersih, dihiasi tanaman hias di pot-pot kecil yang berjajar rapi. Rumah satu lantai dengan gaya minimalis itu terlihat mungil namun menenangkan. Cahaya lampu dari dalam rumah menyiratkan bahwa penghuninya masih terjaga.Ia menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak di dadanya sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, ia menuju pintu depan dan mengetuknya pelan.Terdengar langkah kaki dari dalam, mendekat dengan irama tenang.Pintu terbuka. Seorang wanita muda dengan wajah teduh muncul di ambang. Tatapan matanya memancarkan wibawa dan kehangatan yang membuat dada Sekar langsung terasa sesak.“Sekar? Tumben malam-malam ke sini. Kamu nggak apa-apa?” tanya wanita itu, lembut namun penuh kekhawatiran.Sekar mengangguk pelan, bibirnya gemetar. “Boleh aku masuk?”“Tentu saja. Masuklah.” Wanita itu segera membuka pintu lebih lebar, memberi jalan.Sekar melangkah masuk, melepas tas sel
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more

18 – Meminum Habis Ramuan

Sekar menghela napas panjang. Matanya melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan kirinya—pukul sebelas malam. Mobilnya telah terparkir di halaman rumah. Namun, kakinya enggan beranjak dari kursi pengemudi. Ada perasaan berat yang menahan tubuhnya untuk keluar. Tapi tak mungkin juga ia bermalam di dalam mobil hingga pagi.Dengan langkah gontai, Sekar akhirnya turun. Ia berjalan pelan menuju pintu utama dan mencoba memutar gagangnya. Terkunci. Ia merogoh tas selempangnya, mengambil kunci cadangan. Klik. Pintu pun terbuka.Begitu pintu didorong, kegelapan langsung menyergap. Rumah itu sunyi, sepi, seolah tak berpenghuni. Sekar masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya dan menguncinya kembali. Suasana rumah benar-benar berubah. Dingin. Hampa.Ia menyalakan senter dari ponselnya dan menyusuri lorong menuju kamar.“Dari mana saja kamu?” Sebuah suara bariton tiba-tiba memecah keheningan, membuat Sekar tersentak kaget.Cahaya lampu menyala. Wira berdiri di belakangnya, menatapn
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

19 – Pergi Tanpa Izin

Pagi ini untuk kedua kalinya, Sekar, Amara, dan Wira duduk dalam satu meja makan. Jika bukan karena permintaan Wira, Sekar tak akan sudi melakukannya.“Aku senang kalian bisa duduk satu meja lagi,” ucap Wira membuka percakapan. “Hari ini aku akan berangkat ke Surabaya. Mungkin agak lama, sekitar tiga sampai empat minggu. Aku harap kalian bisa hidup damai selama aku pergi.”Sekar diam saja. Ia mengambil piring, menuang nasi secukupnya, lalu meletakkannya di hadapan Wira tanpa sepatah kata pun.“Sekar, kamu tahu kalau Amara sedang hamil muda. Biasanya ibu hamil itu rentan, moody, gampang sakit. Aku harap kamu bisa bantu jaga kehamilannya,” lanjut Wira, menatap istri pertamanya dengan sorot mata tajam, seolah menguji kesabaran dan ketulusan wanita itu.Sekar tetap tak menjawab. Ia hanya menunduk, kemudian mulai mengisi piringnya sendiri.“Mas, kenapa sih harus selama itu di Surabaya? Nggak bisa ya bawa istri juga?” tanya Amara dengan nada manja. Ia menggeser kursinya hingga bersentuhan de
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

20 – Mabuk

Pukul sebelas malam.Meski bibirnya berkali-kali berkata bahwa ia tak peduli pada Amara, hati Sekar justru menunjukkan hal sebaliknya. Gelisah menyelimuti dirinya. Ia terus mondar-mandir di ruang keluarga, beberapa kali menoleh ke arah pintu sambil melirik jam dinding besar yang tergantung di sana.Kemana wanita itu? batinnya gelisah.Ponsel yang sempat retak karena ulah Amara kini sudah diperbaiki. Sekar telah membawanya ke pusat servis, memperbaiki semua kerusakan meski hatinya masih terasa remuk.Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak memberitahu Wira, tapi setiap detik yang berlalu semakin menghantam kegelisahannya. Jarum panjang jam seolah bergerak lambat, menyiksa.Tepat pukul sebelas malam, Sekar tak sanggup lagi. Ia menekan nomor Wira.“Ada apa, Sekar?” suara berat suaminya terdengar dari seberang.“Mas, apa Amara menghubungimu?” tanya Sekar ragu.“Tidak. Memangnya kenapa?”Sekar menarik napas panjang. Kata-kata berputar di benaknya, tak tahu harus mulai dari mana.“Ada ap
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more
PREV
123
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status