Home / Romansa / HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA: Chapter 11 - Chapter 20

25 Chapters

"Mantan Ta'aruf"

Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
last updateLast Updated : 2024-08-30
Read more

"The Beauty of Morocco: Humaira's first proposal"

Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
last updateLast Updated : 2024-08-30
Read more

"Lamaran yang Tertunda"

“Will you marry me?” ucap Ilham dengan tegas, namun lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban berat di pundaknya.Seketika Humaira terdiam. Jantungnya berdegup kencang, terlalu cepat hingga sulit baginya untuk bernapas dengan tenang. Bagaimana mungkin kata-kata sederhana itu dapat membuat dunianya seakan berhenti? Ilham, yang dikenalinya sebagai sosok yang tenang dan penuh perhitungan, kini berlutut di hadapannya, mengajukan pertanyaan yang selama ini ia bayangkan akan datang, tapi tak pernah ia pikir akan sesegera ini.Tangan Humaira mulai gemetar, membuat sate yang ada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa menatap Ilham dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, terkejut, dan gugup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ini adalah momen yang seharusnya membahagiakan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang mendalam dan sulit diabaikan.Pikiran Humaira mendadak mela
last updateLast Updated : 2024-09-15
Read more

"Pertemuan Tak Terduga"

Setelah perjalanan liburan di Maroko bersama Ilham, Humaira harus kembali ke Inggris untuk menyelesaikan proyek penelitian di kampus. Meski hatinya dipenuhi oleh bayangan lamaran Ilham, ia sadar bahwa tugas akademis adalah prioritas utama. Kehidupan di kampus berjalan seperti biasa—rapat kelompok, diskusi dosen, dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Namun, di sela-sela kesibukannya, hubungan antara Humaira dan Ilham terus berkembang. Mereka sering berbicara melalui pesan singkat. Setiap malam, obrolan mereka selalu terasa hangat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang apa yang mereka rasakan, bahkan hal-hal kecil yang biasanya tak terlalu diperhatikan. Ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh semakin kuat di antara mereka, meski jarak ribuan kilometer memisahkan. Namun, di balik setiap kata yang mereka tukarkan, ada sesuatu yang mulai membuat Humaira merasa tak nyaman—Hafizah. Hafizah, sahabat dekat Humaira, yang dulunya tak pernah menjadi masalah, kini tampak
last updateLast Updated : 2024-09-16
Read more

"DIFFICULT CHOICE"

Humaira menatap layar ponselnya, senyum kecil terukir di wajahnya. Pesan yang ia tunggu- tunggu akhirnya tiba. *“Hari ini mas akan berangkat ke Mekkah yaa, mas sudah di bandara mau check-in tiket. Sampai jumpa di sana, Humeyy.”* Hati Humaira terasa lebih ringan, membayangkan Ilham yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah untuk menemuinya. Ada sedikit kelegaan di tengah perasaan cemas yang membebani pikirannya selama beberapa hari terakhir. Namun, ketika ia menoleh ke arah Arhab, ia mendapati pria itu tampak bingung, wajahnya tampak tegang dan penuh keraguan. Humaira segera menjelaskan, merasa bahwa itu adalah langkah yang tepat. “Mas, sebenarnya aku sedang menunggu seseorang. Dia akan datang untuk melamarku,” kata Humaira dengan nada pelan namun tegas, mencoba menjelaskan situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Dia sedang dalam perjalanan ke sini, dan aku berharap semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi, tolong jangan beri tahu orang tuaku dulu, ya. Aku ingin memastikan semuanya sebe
last updateLast Updated : 2024-09-18
Read more

"Bitterness"

Arhab terdiam di depan Humaira, hatinya berat menerima permintaan wanita yang ada di hadapannya. Kata-kata Humaira sebelumnya masih terngiang di telinganya—permintaan menikah yang datang tiba-tiba, tak disangka. Namun, tatapan penuh harap dari mata Humaira dan desakan keadaan membuat Arhab tak kuasa menolak. "Aku akan menikahimu, Humaira," akhirnya, kata-kata itu meluncur dari bibir Arhab, meskipun hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Tapi kita harus melakukannya secepat mungkin, sebelum keadaan semakin memburuk."Humaira tersenyum kecil, walau hatinya masih bergelut dengan perasaan cemas. Keputusan ini bukanlah yang ia inginkan, tapi ia melakukannya demi Abi—demi keinginan terakhir ayahnya yang ingin melihat putrinya menikah sebelum ajal menjemput. Namun, tak satu pun dari mereka tahu bahwa keputusan ini akan berdampak lebih besar daripada yang mereka duga.Di sudut ruangan, Umma yang mendengar percakapan itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia mengetahui ba
last updateLast Updated : 2024-09-19
Read more

"Unpredictable"

Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "
last updateLast Updated : 2024-09-20
Read more

"Unexpected"

Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

"Seluruh Luka"

Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
last updateLast Updated : 2024-09-22
Read more

"Kesedihan Aisha"

Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
last updateLast Updated : 2024-09-23
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status