“Gimana ya, Zam ... Aku kan baru saja bercerai, Kamu tahu kan rasanya patah hati. Susah sembuhnya,” “Ya. Aku tahu itu. Tapi izinkan aku membalut lukamu, Mbak! Aku akan menata kembali puing-puing kebahagiaan yang telah hancur dan menjadikan istana penuh cinta,” Sesaat Vita menoleh, menatap pada lelaki yang usianya lebih muda. Dari sorot mata teduh itu dia melihat ketulusan di sana. “Maaf, Zam! Biarkan aku menyembuhkan luka ini sendiri. Kamu terlalu baik untukku. Di luar sana, masih banyak gadis lajang yang cantik dan pantas untukmu,” “Benar, tapi hati ini sudah kadung memilihmu, Mbak! Bagiku, kamu jauh lebih istimewa ketimbang bidadari sekalipun,” Vita tersanjung. Melambung hatinya mendengar setiap kalimat yang lolos dari bibir Azam. Sesaat dia mencoba membiarkan rasa itu membumbung tinggi dalam khayalan. Namun, semakin di coba justru semakin ragu, khawatir jika rasa itu hanya sebatas kagum. “Maaf, Zam! Aku enggak bisa.”Azam terdiam. Pucuk-pucuk cinta yang telah mekar seketika
Baca selengkapnya