Home / Pernikahan / PENGANTIN BELIA / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of PENGANTIN BELIA: Chapter 1 - Chapter 10

17 Chapters

GAK MAU NIKAH

"Aku gak mau nikah!" Kepala ini mulai mengeluarkan asap saat papa kembali membahas terkait rencana gilanya. Masa iya aku mau dinikahkan dengan patner bisnisnya, jelaslah menolak. Selain tak kenal, aku juga masih muda, baru lulus SMU. Ruangan yang cukup luas pun mendadak serasa sempit menghimpit. Lampu hias yang menerangi sedikit memudar sinarnya di pandangan ini. Arg! Kepalaku cenat-cenut jadinya. Kupukulkan sendok pada piring hingga sisa nasi berloncatan. Meja marmer bulat ini sedikit terkotori jadinya. Setelah melepas benda itu kukepalkan telapak tangan. Mata ini diarahkan pada kedua lensa lelaki yang wajahnya belum berkerut meski sudah berusia setengah abad. Papa balas menatap lekat, seolah ingin meyakinkan bahwa ucapan itu tidak main-main. "Perusahaan papa pailit. Kalau tak cepat diselamatkan maka ribuan karyawan akan dirumahkan. Seluruh aset kekayaan kita disita dan papa masuk penjara. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan semua. Nay, papa mohon jangan menolak pernikah
Read more

DIKURUNG

"San'aelah, calon lo bukan kakek-kakek'kan? Lagian kalau cowok lebih dewasa tuh bagus. Kita bisa manja coz doi yang ngemong. En, lo jadi terhindar dari pergaulan bebas, lo gak bakal kejebak dosa zina!"Pengen ngakak guling-guling denger Nindia ngomongin dosa. Apa otaknya konslet tumben bicara benar sedikit. "What? Lo ngomong dosa? Kapan lo jadi ustazah, Jeng!""Diih, cantik-cantik gini gue lebih lempeng dari lo! Omongan kakak mentor agama masih nerap di otak gue!" cerocosnya. Lumayanlah ngobrol kesana-sini sama Nindia mengurangi beban pikiran dan hati. Sahabatku itu meski koplak, kadang ada benarnya. Kuakui dia lebih religi. Kadang cerewet nyuruh-nyuruh teman satu genknya untuk sholat. Kadang aneh, kok masih ada mahluk seperti itu di dunia. *Ini hari kelima aku dikurung di kamar. Rasanya bete tiada tara. Kadang aku berteriak-teriak untuk meluapkan kekesalan. Kalau sudah keterlaluan, papa akan masuk untuk menenangkan. Jika sudah begitu rasa iba masuk di dada ini. Tak tega melihat l
Read more

DIAKAH?

Dengan sedikit rengekan, wanita berusia empat puluh lima tahun itu mau juga menuruti permintaanku untuk masuk ke area supermarket. Sengaja kubuat ia kelelahan dengan berputar-putar dari satu tenant ke tenant lain."Mama tunggu saja di depan, aku masih harus nyari beberapa barang lagi!"Sudah kuduga, ia menyerah. Meski rautnya terlihat jengkel, mama tak berani marah di tempat umum. Takut jatuh wibawa mungkin.Setelah kupastikan mama tak melihat, aku langsung menyelinap di antara susunan rak dan etalase. Sukses! Saat dia sadar, tentu saja aku sudah pergi jauh.Tak kurang dari lima menit aku sudah sampai di koridor lantai dua. Gerbang tempat ini adalah pintu utama yang langsung menghadap jalan raya. Dari sana bisa langsung naik taksi. Semua sudah kurencanakan dengan matang saat ganti pakaian di rumah. "Aaw!"Karena tak fokus, tubuhku menabrak seseorang yang badannya serupa dinding tebal. Ah, pantas saja keras, badan lelaki itu tinggi besar. Namun, saat sadar siapa pria itu aku kontan be
Read more

AMAT BELIA

HANS"Jadi, Agung Wicaksana menjual putrinya padamu?"Kujengkitkan bahu untuk menanggapi pertanyaan Roy. Lelaki yang lima belas tahun mendampingi itu mengempaskan bokongnya di kursi seberang meja ini. Seperti biasa ia akan meraih berkas-berkas yang sedang kupelajari. Sok serius, padahal tidak fokus pikirannya.Tak selang dua menit, pria yang sebelah telinganya beranting itu meletakkan kertas di atas meja. Ia menyandarkan punggung di badan kursi, lantas menumpangkan satu kaki ke kaki lainnya. Detik kemudian bicara, "Well, akhirnya kau akan menikah, Kawan!"Benarkan, tujuannya ke sini lepas makan siang hanya ingin memastikan pernikahanku. Sudah kuduga sebab dirinya senang sekali ikut campur urusan pribadiku. Pandangan kami beradu, ia pasti paham aku tak suka dengan pernyataan itu. Lelaki berdada bidang itu mengangkat kedua alisnya. Kalau bukan Roy tentu takkan berani menantang ketajaman netra ini. Aku bangkit dari kursi kebesaran, melangkah perlahan menuju dinding kaca yang melingkupi
Read more

JELANG PERNIKAHAN

KANAYALelaki yang akan menjadi suamiku itu tidak tua, tetapi amat dewasa. Ia seusai adik papa yang paling kecil sekitar tiga puluh lima tahun usianya. Perawakannya tinggi, tegap dan tampan. Hanya saja rautnya tidak ramah, tak pula semringah.Aku sama sekali tak berani menatapnya. Dia lebih angker dari guru killer di kelasku dulu. Apakah ini kutukan atas kekurangajaranku pada pak guru. Oh, Tuhan ampuni hamba yang selalu mengerjainya. Sepanjang acara makan, aku sama sekali tak mengeluarkan suara. Hanya ayah dan lelaki itu yang bicara. Mereka tentu saja membahas bisnis yang aku tak mengerti. Sesekali mama ikut nimbrung dalam obrolan mereka.Sesekali mata ini beradu dengan netranya . Namun, hanya sekian detik saja aku sanggup menatapnya. Kulihat iris biru terang itu amat tajam. Persis elang atau rajawali mengincar mangsanya. "Baiklah, kami akan keluar sebentar. Mungkin Tuan Hans dan Kanaya ingin berbincang lebih jauh. Ayo, Mah!"Aku gagal meraih tangan papa. Mereka terlanjur beranjak m
Read more

JANGAN BODOH

HANS"Membatalkan pernikahan? Jangan bodoh, Hans. Menikahi gadis polos itu lebih baik daripada wanita yang sudah melanglangbuana. Dia takkan ikut campur dengan urusanmu! Cukup penuhi keinginannya, beres!"Roy benar, Kanaya masih polos. Dia takkan menjadi batu sandungan dalam sepak terjangku ke depan. Justru berbahaya jika putri Wicaksana paham seluk beluk bisnis. Bisa terbongkar rahasiaku olehnya. Namun, apa iya dia sepolos itu?"Lagipula kapan lagi kau akan menikah? Keburu karatan nanti. Percayalah menikah itu nikmat, Hans! Bersenang-senanglah, nikmati surga dunia, jangan hanya memikirkan uang dan uang! Memangnya rekening akan kau bawa mati?" Lelaki yang usianya lima tahun di atasku itu menyodorkan rokok. Ia paham dalam kondisi galau benda bernikotin itulah obatnya. Mengisapnya dapat merelaksasi saraf yang cukup tegang.Aku terpaksa berbagi bangku kayu di gazebo belakang rumah dengan lelaki berperawakan besar itu. Ia seenaknya saja duduk tepat di sampingku padahal di kanan dan kiri
Read more

IKATAN SUCI

HANSPapi seorang muslim saat menikah dengan mami. Ia melepas keyakinan demi gadis impiannya. Sementara keluarga Om Will masih dalam keyakinan lama. Aku, tentu saja mengikuti papi dan mami meski hanya tertera di KTP saja. Dengan demikian pernikahan ini dilangsungkan sesuai tata cara agama Islam.Kami memasuki ballroom hotel Grand Internasional. Ruangan ini didekorasi serupa balairung istana. Pelaminan dirancang dengan konsep modern Eropa berpadu klasik ningrat Jawa. Aku tak ikut campur dengan keseluruhan konsep acara. Ini murni program keluarga wanita dibantu Roy sebagai wakil pihak pria. Kurasa selera mereka boleh juga. Seiring rombongan pria berjalan menuju tempat proses akad, masuk pula arak-arakan pengantin wanita dari arah kanan gedung. Sesaat, ayunan kakiku tertahan kala netra ini menangkap sosok jelita bergaun putih bertabur mutiara. Iya, dialah pengantin beliaku. Kanaya. Cantik, sangat cantik.Untuk sesaat aku terpana. Seakan tak puas mata ini mandanginya. Sungguh, begitu ind
Read more

KAMU DI MANA?

HANS"Kamu lelah?"Aku harus cepat mengantisipasi situasi tak nyaman pada dirinya. Gawat kalau ia berperilaku kekanak-kanakan di depan para undangan. Entahlah aku selalu berpikir ia itu anak kecil yang manja. "Ti, tidak!" jawabnya sedikit tergagap. Matanya langsung dipalingkan dariku, lalu tangannya sibuk memilih gaun pengantin. Pada situasi semacam ini aku sedikit merasa bersalah memaksakan pernikahan ini. Mungkin ia amat tersiksa sebab bukan wanita yang memang siap menjalin ikatan serius. "Baiknya kita makan dulu, ayo!" Tanpa menunggunya menjawab, kuraih tangan mungil itu. Aku baru ingat kami berdua belum makan dan minum sedikit pun pasca akad berlangsung. Mungkin ini juga yang membuat Kanaya lesu. Kasihan sekali kalau memang itu masalahnya. Ah, mengapa sampai melupakan hal itu Baru saja menjejak lantai di bawah pelaminan, serombongan pria yang sangat kukenal berjalan menuju arah kami. Sepertinya acara makan harus tertunda lagi. Tak mungkin mengabaikan tamu istimewa itu. Mereka
Read more

JANGAN SEDIH

KANAYACincin telah tersemat di jariku. Ikatan ini nyata, aku telah menjadi istri sah seorang pria. Iya, pria yang tak pernah kukenal sebelumnya.Meski tak ada cela pada pengantin lelakiku, tapi tetap saja hampa. Mungkin ini berawal dari ketidakihklasan, tak terbumbui cinta apalagi hasrat menjalin rumah tangga.Aku yang memang belum siap menjalin komitmen dipaksa untuk hidup dalam sangkar berlian. Segala kemewahan dunia akan kupunya, tetapi apakah akan mewujudkan bahagia?Kehadiran teman-teman sedikit meringankan kesedihan. Tawa, canda dan kenarsisan mereka cukup mengobati lara. Genk satu kelas datang bersamaan, mungkin janjian. Kegaduhan di pelaminan pun terjadi di pukul delapan malam. "Jiaah, jadi pengen kawin gue!" celoteh Nindia yang kemudian disambut gelak tawa yang lain. "Emang ada gitu yang mo sama lo?" ejek Rudi, musuh bebuyutannya."Yang pasti bukan lo!" tangkis Nindia. Menit berikutnya suasana adu mulut makin heboh.Tak lengkap kenarsisan kalau belum foto-foto. Berbagai ga
Read more

MELIHAT BINTANG

KANAYALepas puas menangis, aku tak langsung kembali ke pelaminan. Rasanya ingin mencari tempat menyepi. Barang sebentar pergi tak apa mungkin. Toh, mereka juga tak terlalu peduli padaku. Mayoritas undangan adalah relasi Mr Hans, papa dan mama.Aku sengaja berjalan di pinggir ruangan. Jika berpapasan dengan orang, aku pura-pura merapikan dandanan. Biar mereka tak curiga.Akhirnya aku sampai di balkon ruangan. Tempat ini kuketahui saat tirai tersibak. Nekat saja masuk ke sana. Dan, aku senang sekali ada di area terbuka.Aku mempercepat langkah menuju ujung balkon. Tempat ini dibatasi pagar tembok setinggi pinggang lelaki dewasa. Di atasnya ada terali besi yang ujungnya runcing. Tingginya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin sebagai antisipasi agar tak dipakai bunuh diri.Untung saja di sini ada beberapa lampu hingga cukup terang meski malam makin menemui kepekatannya. Kuikat ke pinggang pakaian yang menjuntai agar lebih leluasa bergerak. Sepatu yang tingginya sepuluh senti pun dilepa
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status