Dengan sedikit rengekan, wanita berusia empat puluh lima tahun itu mau juga menuruti permintaanku untuk masuk ke area supermarket. Sengaja kubuat ia kelelahan dengan berputar-putar dari satu tenant ke tenant lain."Mama tunggu saja di depan, aku masih harus nyari beberapa barang lagi!"Sudah kuduga, ia menyerah. Meski rautnya terlihat jengkel, mama tak berani marah di tempat umum. Takut jatuh wibawa mungkin.Setelah kupastikan mama tak melihat, aku langsung menyelinap di antara susunan rak dan etalase. Sukses! Saat dia sadar, tentu saja aku sudah pergi jauh.Tak kurang dari lima menit aku sudah sampai di koridor lantai dua. Gerbang tempat ini adalah pintu utama yang langsung menghadap jalan raya. Dari sana bisa langsung naik taksi. Semua sudah kurencanakan dengan matang saat ganti pakaian di rumah. "Aaw!"Karena tak fokus, tubuhku menabrak seseorang yang badannya serupa dinding tebal. Ah, pantas saja keras, badan lelaki itu tinggi besar. Namun, saat sadar siapa pria itu aku kontan be
HANS"Jadi, Agung Wicaksana menjual putrinya padamu?"Kujengkitkan bahu untuk menanggapi pertanyaan Roy. Lelaki yang lima belas tahun mendampingi itu mengempaskan bokongnya di kursi seberang meja ini. Seperti biasa ia akan meraih berkas-berkas yang sedang kupelajari. Sok serius, padahal tidak fokus pikirannya.Tak selang dua menit, pria yang sebelah telinganya beranting itu meletakkan kertas di atas meja. Ia menyandarkan punggung di badan kursi, lantas menumpangkan satu kaki ke kaki lainnya. Detik kemudian bicara, "Well, akhirnya kau akan menikah, Kawan!"Benarkan, tujuannya ke sini lepas makan siang hanya ingin memastikan pernikahanku. Sudah kuduga sebab dirinya senang sekali ikut campur urusan pribadiku. Pandangan kami beradu, ia pasti paham aku tak suka dengan pernyataan itu. Lelaki berdada bidang itu mengangkat kedua alisnya. Kalau bukan Roy tentu takkan berani menantang ketajaman netra ini. Aku bangkit dari kursi kebesaran, melangkah perlahan menuju dinding kaca yang melingkupi
KANAYALelaki yang akan menjadi suamiku itu tidak tua, tetapi amat dewasa. Ia seusai adik papa yang paling kecil sekitar tiga puluh lima tahun usianya. Perawakannya tinggi, tegap dan tampan. Hanya saja rautnya tidak ramah, tak pula semringah.Aku sama sekali tak berani menatapnya. Dia lebih angker dari guru killer di kelasku dulu. Apakah ini kutukan atas kekurangajaranku pada pak guru. Oh, Tuhan ampuni hamba yang selalu mengerjainya. Sepanjang acara makan, aku sama sekali tak mengeluarkan suara. Hanya ayah dan lelaki itu yang bicara. Mereka tentu saja membahas bisnis yang aku tak mengerti. Sesekali mama ikut nimbrung dalam obrolan mereka.Sesekali mata ini beradu dengan netranya . Namun, hanya sekian detik saja aku sanggup menatapnya. Kulihat iris biru terang itu amat tajam. Persis elang atau rajawali mengincar mangsanya. "Baiklah, kami akan keluar sebentar. Mungkin Tuan Hans dan Kanaya ingin berbincang lebih jauh. Ayo, Mah!"Aku gagal meraih tangan papa. Mereka terlanjur beranjak m
HANS"Membatalkan pernikahan? Jangan bodoh, Hans. Menikahi gadis polos itu lebih baik daripada wanita yang sudah melanglangbuana. Dia takkan ikut campur dengan urusanmu! Cukup penuhi keinginannya, beres!"Roy benar, Kanaya masih polos. Dia takkan menjadi batu sandungan dalam sepak terjangku ke depan. Justru berbahaya jika putri Wicaksana paham seluk beluk bisnis. Bisa terbongkar rahasiaku olehnya. Namun, apa iya dia sepolos itu?"Lagipula kapan lagi kau akan menikah? Keburu karatan nanti. Percayalah menikah itu nikmat, Hans! Bersenang-senanglah, nikmati surga dunia, jangan hanya memikirkan uang dan uang! Memangnya rekening akan kau bawa mati?" Lelaki yang usianya lima tahun di atasku itu menyodorkan rokok. Ia paham dalam kondisi galau benda bernikotin itulah obatnya. Mengisapnya dapat merelaksasi saraf yang cukup tegang.Aku terpaksa berbagi bangku kayu di gazebo belakang rumah dengan lelaki berperawakan besar itu. Ia seenaknya saja duduk tepat di sampingku padahal di kanan dan kiri
HANSPapi seorang muslim saat menikah dengan mami. Ia melepas keyakinan demi gadis impiannya. Sementara keluarga Om Will masih dalam keyakinan lama. Aku, tentu saja mengikuti papi dan mami meski hanya tertera di KTP saja. Dengan demikian pernikahan ini dilangsungkan sesuai tata cara agama Islam.Kami memasuki ballroom hotel Grand Internasional. Ruangan ini didekorasi serupa balairung istana. Pelaminan dirancang dengan konsep modern Eropa berpadu klasik ningrat Jawa. Aku tak ikut campur dengan keseluruhan konsep acara. Ini murni program keluarga wanita dibantu Roy sebagai wakil pihak pria. Kurasa selera mereka boleh juga. Seiring rombongan pria berjalan menuju tempat proses akad, masuk pula arak-arakan pengantin wanita dari arah kanan gedung. Sesaat, ayunan kakiku tertahan kala netra ini menangkap sosok jelita bergaun putih bertabur mutiara. Iya, dialah pengantin beliaku. Kanaya. Cantik, sangat cantik.Untuk sesaat aku terpana. Seakan tak puas mata ini mandanginya. Sungguh, begitu ind
HANS"Kamu lelah?"Aku harus cepat mengantisipasi situasi tak nyaman pada dirinya. Gawat kalau ia berperilaku kekanak-kanakan di depan para undangan. Entahlah aku selalu berpikir ia itu anak kecil yang manja. "Ti, tidak!" jawabnya sedikit tergagap. Matanya langsung dipalingkan dariku, lalu tangannya sibuk memilih gaun pengantin. Pada situasi semacam ini aku sedikit merasa bersalah memaksakan pernikahan ini. Mungkin ia amat tersiksa sebab bukan wanita yang memang siap menjalin ikatan serius. "Baiknya kita makan dulu, ayo!" Tanpa menunggunya menjawab, kuraih tangan mungil itu. Aku baru ingat kami berdua belum makan dan minum sedikit pun pasca akad berlangsung. Mungkin ini juga yang membuat Kanaya lesu. Kasihan sekali kalau memang itu masalahnya. Ah, mengapa sampai melupakan hal itu Baru saja menjejak lantai di bawah pelaminan, serombongan pria yang sangat kukenal berjalan menuju arah kami. Sepertinya acara makan harus tertunda lagi. Tak mungkin mengabaikan tamu istimewa itu. Mereka
KANAYACincin telah tersemat di jariku. Ikatan ini nyata, aku telah menjadi istri sah seorang pria. Iya, pria yang tak pernah kukenal sebelumnya.Meski tak ada cela pada pengantin lelakiku, tapi tetap saja hampa. Mungkin ini berawal dari ketidakihklasan, tak terbumbui cinta apalagi hasrat menjalin rumah tangga.Aku yang memang belum siap menjalin komitmen dipaksa untuk hidup dalam sangkar berlian. Segala kemewahan dunia akan kupunya, tetapi apakah akan mewujudkan bahagia?Kehadiran teman-teman sedikit meringankan kesedihan. Tawa, canda dan kenarsisan mereka cukup mengobati lara. Genk satu kelas datang bersamaan, mungkin janjian. Kegaduhan di pelaminan pun terjadi di pukul delapan malam. "Jiaah, jadi pengen kawin gue!" celoteh Nindia yang kemudian disambut gelak tawa yang lain. "Emang ada gitu yang mo sama lo?" ejek Rudi, musuh bebuyutannya."Yang pasti bukan lo!" tangkis Nindia. Menit berikutnya suasana adu mulut makin heboh.Tak lengkap kenarsisan kalau belum foto-foto. Berbagai ga
KANAYALepas puas menangis, aku tak langsung kembali ke pelaminan. Rasanya ingin mencari tempat menyepi. Barang sebentar pergi tak apa mungkin. Toh, mereka juga tak terlalu peduli padaku. Mayoritas undangan adalah relasi Mr Hans, papa dan mama.Aku sengaja berjalan di pinggir ruangan. Jika berpapasan dengan orang, aku pura-pura merapikan dandanan. Biar mereka tak curiga.Akhirnya aku sampai di balkon ruangan. Tempat ini kuketahui saat tirai tersibak. Nekat saja masuk ke sana. Dan, aku senang sekali ada di area terbuka.Aku mempercepat langkah menuju ujung balkon. Tempat ini dibatasi pagar tembok setinggi pinggang lelaki dewasa. Di atasnya ada terali besi yang ujungnya runcing. Tingginya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin sebagai antisipasi agar tak dipakai bunuh diri.Untung saja di sini ada beberapa lampu hingga cukup terang meski malam makin menemui kepekatannya. Kuikat ke pinggang pakaian yang menjuntai agar lebih leluasa bergerak. Sepatu yang tingginya sepuluh senti pun dilepa
HANS"Jangan-jangan malam pertama pun belum, ya? Hahaha! Tragis sekali hidupmu, Teman!"Aku tak mau meladeni ejekannya. Meski itu fakta, tak suka juga mendapat pelecehan. Lebih baik melihat keadaan Kanaya. Siapa tahu sudah siuman. Sudah dua jam anak itu pingsan, sekarang sedang di temani orang tuanya.Ben mendapat luka cukup parah, untung masih dapat diselamatkan. Dia kakak yang baik karena bertaruh nyawa untuk adik semata wayangnya. Sementara teman-teman Kanaya, setelah mendapat perawatan mereka dibawa pulang keluarganya. Para penjahat yang mencoba melecehkan Kanaya dan teman-temannya itu tak ada yang tewas hingga John tak perlu ribet berurusan dengan polisi. Seperti biasa John akan menyumpal aparat dengan sejumlah uang cukup besar hingga kasus penembakan itu takkan dipersoalkan. Tentu penjahat itu juga akan mendapat ganjaran berkali lipat di penjara sana. Apalagi ini menyangkut Kanaya, Nyonya Alexander. Siap-siap saja mereka membusuk di penjara. Meski aku dan beberapa anak buah me
HANSDi tengah kepanikan, John mengabarkan bahwa ada kerusuhan di konser gedung Harmoni. Ia memberikan prediksi bahwa kemungkinan Kanaya ada di sana. Tanpa lama aku perintahkan supir untuk menuju tempat itu.Benar saja, setelah supir menyetel berita, terpampang hiruk pikuk peserta konser. Menurut reporter kerusuhan itu akibat provokasi beberapa penonton yang memicu keributan hingga menjalar menjadi besar. Para provokator sebagian sudah tertangkap, sementara lima lainnya masih dalam pencarian.Aku menajamkan mata untuk meneliti apakah di antara penonton yang tertangkap kamera ada Kanaya di sana. Sial, tak ada!"Brengsek!" Sekali lagi aku mengumpat sebab jalanan menuju tempat itu macet total. Akhirnya supir mengambil rute alternatif menuju area belakang gedung. Lumayan jauh jaraknya ke tempat itu.John kembali menelepon. Ia memastikan. Kanaya tak ada di tempat itu. Hanya saja, aku masih tak percaya hingga kuperintahkan harus tetap ada sebagian anak buah di sana, dan yang lain menyebar
KANAYA"Si, siapa kalian!"Bukannya menjawab, tiga lelaki yang sekarang menghampiri itu terbahak. Kami mundur untuk menghindari kekurangajaran mereka. Samar, aku masih bisa melihat seringai dan tatapan liar orang-orang berbadan kekar itu. Sepertinya preman yang sudah terbiasa dalam dunia hitam. "Jangan buru-buru. Kita bersenang-senang saja dulu, Ok!" ucap lelaki berkepala botak sambil terus mengikis jarak. Sementara, yang bertubuh lebih pendek mengincar Lili, sedang yang gemuk mendekati Alika. Jantung ini sudah tak terbayang berapa oktaf kenaikan level detakannya. Aku memegang tas selempang mini kuat-kuat, berpikir akan menghantamkan benda ini Sekuat-kuatnya jika dia berani menjamah.Ternyata tangannya lebih cepat dari gerakanku. Pria bejat itu menarik paksa lenganku hingga tubuh ini hampir menempel di dada dan perutnya. Sekuat mungkin aku berontak, memukul, mencakar atau menendang. Namun, itu tak berguna sama sekali. Cengkaramannya malah makin kuat. Yang terjadi pada Lili dan Alika
KANAYA Teman-teman terus membujuk hingga aku takluk. Mereka meyakinkan bahwa Mr Hans tidak akan marah. Acaranya tak sampai larut malam. Untuk merealisasikan rencana ini, kami mengatur strategi untuk kabur dari Om John. Soalnya pasti lelaki itu tak akan menyetujuinya. Jujur, hati ini tak setuju dengan rencana gila itu. Namun, mengingat ini kebersamaan yang terakhir dengan mereka, aku mengiyakan. Rasa bersalah pada lelaki yang sangat baik itu sekuat mungkin Kutepis. Pun dengan rasa takut akan murkanya. Ah, gimana nanti sajalah, yang penting happy.Untuk memuluskan rencana aku menyuruh John duduk jauh dari kami di dalam bioskop. Dengan alasan HP lowbat aku titipkan benda itu padanya. Hal itu dilakukan agar saat kabur tak bisa dilacak. Jelaslah lelaki berwajah sangar itu tak bisa menolak perintah nyonyanya ini.Setelah film berlangsung seperempat putaran, satu per satu dari kami keluar dalam jeda lima menit per-orang. Hal itu untuk menghindari kecurigaan John jika matanya menangkap ada
KANAYA"Yeaaa, akhirnya gue bisa keluar!"Aku berguling-guling dikasur untuk meluapkan kebahagiaan. Sprei ya g tertata rapi sampai acak-acakan. Pun dengan bantal dan guling sudah pindah posisinya. Bagaimana tidak, sebulan dalam kurungan itu menyesakkan banget. Meski ia sangat perhatian tetap saja belum menjadikanku betah di rumah. Kupandangi kartu berharga yang ia berikan. Otakku mencoba menaksir jumlah saldo di dalamnya. Uh, jadi senyum-senyum sendiri menyadari kekonyolan ini. Maklumlah ini kali pertama dapat mempergunakan uang semaunya. Kalau dulu, keuangan dipegang mama. Meski aku anak kandung papa, tetap saja dibatasi oleh wanita yang sok berkuasa itu.Curangnya, Ben boleh membeli apapun, sedang aku harus melalui interogasi tingkat tinggi. Makanya kalau ada keinginan aku akan menyuruh Ben yang minta. Untung saja cowok koplak itu tak seperti saudara tiri dalam dongeng. Dia baik, sangat baik. Mungkin karena sama-sama tak punya saudara jadi hati kami bertaut.Jadwal ketemuan teman-t
HANSSeumur hidup tak pernah aku merasa setakberharga ini. Ditolak itu menyakitkan. Segala cara telah kugunakan untuk meluluhkan hati Kanaya. Hasilnya sia-sia belaka. Ia dekat, tapi tak tercapai tangan.Kemewahan yang kuberi tak membuatnya membuka hati. Kemegahan ini tak menyilaukannya sama sekali. Perhatian, ketulusan yang tak pernah kuberikan pada orang lain pun seakan tak mampu menerjang karang terjal itu. Ia lebih keras kepala dari yang kukira.Helaan panjang napas ini tak mampu meredakan kesesakan yang memenuhi dada. Kini, aku hanya mampu mandangi bintang. Berharap semua dapat meringankan sedikit lara.*"Teman-teman mengundangku ke acara perpisahan sebelum kami kuliah di tempat berbeda, bolehkah aku datang?" pintanya pagi ini. Sendok yang akan masuk ke dalam mulut kutarik kembali. Setelah melepaskannya, mata ini melempar tatapan menyelidiki padanya. Jujur, aku tak suka dengan permintaan itu."Hanya perempuan. Mereka teman-teman satu genk saat kelas tiga. Lepas ini mereka akan per
KANAYAPukul sebelas malam, pesta pernikahan usai. Aku langsung dibawa ke kamar termewah di hotel Grand Internasional. Ruangan ini memang disiapkan untuk pengantin memadu kasih. Ranjangnya dihiasi ribuan kelopak mawar yang terhampar di atas sprei putih menjuntai. Namun, kamar bertirai serupa undakan awan ini justru membuatku gemetar.Jujur saja, meski sudah tak takut dengan Mr Hans, tetap saja kalau harus berhubungan lebih jauh aku belum siap. Otakku berputar mencari rangkaian kata yang tepat untuk memohon agar ia tak menyentuh malam ini. Namun, sial kenapa begitu buntu.Akhirnya aku hanya bisa berlama-lama di toilet. Selain mencari ide juga mengulur waktu. Aku berharap Mr tertidur hingga aku bebas malam ini. Namun, rupanya harapan ini harus dikubur. Lelaki itu malah berdiri di sisi jendela yang tirainya sedikit tersingkap.Aku memberanikan diri keluar dari toilet. Sambil tertunduk aku berjalan diiringi tatapan lelaki yang kini telah membalikkan badan. Ya, Tuhan aku takut sekali!Untu
KANAYALepas puas menangis, aku tak langsung kembali ke pelaminan. Rasanya ingin mencari tempat menyepi. Barang sebentar pergi tak apa mungkin. Toh, mereka juga tak terlalu peduli padaku. Mayoritas undangan adalah relasi Mr Hans, papa dan mama.Aku sengaja berjalan di pinggir ruangan. Jika berpapasan dengan orang, aku pura-pura merapikan dandanan. Biar mereka tak curiga.Akhirnya aku sampai di balkon ruangan. Tempat ini kuketahui saat tirai tersibak. Nekat saja masuk ke sana. Dan, aku senang sekali ada di area terbuka.Aku mempercepat langkah menuju ujung balkon. Tempat ini dibatasi pagar tembok setinggi pinggang lelaki dewasa. Di atasnya ada terali besi yang ujungnya runcing. Tingginya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin sebagai antisipasi agar tak dipakai bunuh diri.Untung saja di sini ada beberapa lampu hingga cukup terang meski malam makin menemui kepekatannya. Kuikat ke pinggang pakaian yang menjuntai agar lebih leluasa bergerak. Sepatu yang tingginya sepuluh senti pun dilepa
KANAYACincin telah tersemat di jariku. Ikatan ini nyata, aku telah menjadi istri sah seorang pria. Iya, pria yang tak pernah kukenal sebelumnya.Meski tak ada cela pada pengantin lelakiku, tapi tetap saja hampa. Mungkin ini berawal dari ketidakihklasan, tak terbumbui cinta apalagi hasrat menjalin rumah tangga.Aku yang memang belum siap menjalin komitmen dipaksa untuk hidup dalam sangkar berlian. Segala kemewahan dunia akan kupunya, tetapi apakah akan mewujudkan bahagia?Kehadiran teman-teman sedikit meringankan kesedihan. Tawa, canda dan kenarsisan mereka cukup mengobati lara. Genk satu kelas datang bersamaan, mungkin janjian. Kegaduhan di pelaminan pun terjadi di pukul delapan malam. "Jiaah, jadi pengen kawin gue!" celoteh Nindia yang kemudian disambut gelak tawa yang lain. "Emang ada gitu yang mo sama lo?" ejek Rudi, musuh bebuyutannya."Yang pasti bukan lo!" tangkis Nindia. Menit berikutnya suasana adu mulut makin heboh.Tak lengkap kenarsisan kalau belum foto-foto. Berbagai ga