All Chapters of Luka yang Disembunyikan Istriku: Chapter 11 - Chapter 20

37 Chapters

Pria Bersama Ani

"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua
Read more

Bab 11

"Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima
Read more

Bab 12

"Maaf, Ibu mengenal saya?" Aku akhirnya bertanya pada Ibu yang tadi aku tabrak. Sedikit, hanya lecet di bagian kaki. Tidak terlalu parah juga. "Enggak, enggak." Ibu itu menggelengkan kepalanya cepat. Membuatku mengernyit heran. Apa maksud perkataan Ibu ini?Dia seperti mengenaliku tadi, kenapa sekarang seolah tidak kenal? Ah, ini aneh sekali. Beberapa hari terakhir, aku mengalami keanehan ini. Bertemu dengan pria yang lumayan mencurigakan, juga seorang ibu yang enha. Sikap Ani juga berubah sekali. "Kamu antarkan saya ke rumah sakit?""Eh?" Aku melongo. "Ibu gak papa. Jangan mengada-ada. Saya gak mau tanggung jawab."Ibu itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara aku masih tetap tidak mau mengantarkannya ke rumah sakit. "Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi. Mau mengantarkan saya ke rumah sakit atau repot urusan dengan polisi?"Mataku langsung membulat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ibu itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya
Read more

Bab 13

"Oke bagus. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja jadi di sopir."Aku menelan ludah, bagaimana caranya bilang ke pria ini?Pesanan kami datang. Aku sesekali meliriknya yang terlihat sibuk dengan ponsel. Ah, bagaimana aku harus bilang kalau aku mau minta sebagian gaji dulu agar Ibu tidak marah-marah?"Makan aja. saya yang bayarin.""Iya." Aku menganggukkan kepala, akhirnya memilih untuk menyantap makanan. Setelah beberapa menit, aku meletakkan sendok ke piring. Makanan sudah habis. "Mau nambah?" tanyanya sambil mengambil tisu. Buru-buru aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya masih ingin menambah makanan. "Emm, saya mau bicara sedikit.""Iya. Bicara aja." Dia mengubah raut menjadi serius. "Kalau saya minta sebagian gaji dari sopir dulu gimana?""Hah?!" Dia terdiam mendengar pertanyaanku tadi. "Gimana-gimana? Kerja belum udah minta gaji.""Saya butuh banget. Ayo, tolong." Aku menatapnya memohon. Tentu saja pria itu menggelengkan kepala, membuatku menghela napas pelan. "Saya j
Read more

Bab 14

"Ani!" Buru-buru aku memanggilnya. Istriku itu menoleh. Dia tidak tampak terkejut. Aku melangkah mendekatinya, batal sudah rencanaku mau ke kamar mandi. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berkaca pinggang, juga tersenyum ke Mamanya Ariel. Bisa-bisanya Ani datang kesini. Aku diam sejenak. Melihat tangan Ani yang masih membantu Mamanya Ariel. Entah kenapa, aku berpikiran sesuatu soal Ani. Ah, apakah ini tidak salah?Jangan-jangan Ani itu ....Aku menatap Ani sambil menyipitkan mata. Dia belum juga menjawab pertanyaanku. Lagi pula, kalau dia di sini, di mana bayi kami? Kenapa pakai dia tinggal, sih?"Mana Adek, Ma?"Kami langsung menoleh ke belakang. Aku menatap Ariel yang mengambil posisi berdiri di sebelah Mamanya. "Belum datang kayaknya."Ah, lega rasanya. Kukira Ani itu—"Loh, Ani ngapain di sini? Pesanan kue udah jadi?""Udah. Ada di rumah. Tadi saya telepon Ibu. Katanya sekalian aja jemput ke rumah sakit. Mau lihat kuenya sekalian ambil di rumah. Saya kan gak ada kendaraan
Read more

Bab 15

"Apa? Jangan buat penasaran, dong."Nisa tertawa pelan. Dia kemudian menggelengkan kepala. Aku tau, Nisa pasti tau sesuatu. Entah apa."Kamu gak lagi main-main atau bercanda, kan?" tanyaku kesal. Sudah penuh dengan masalah hidupku. Ditambah pula pikiran mengenai apa yang diketahui oleh Nisa. "Abang dekat sini, deh."Aku akhirnya mendekati Nisa. Dia tampak ingin memberitahukan sesuatu. Dari tatapannya saja sudah bisa terbaca. "Abang dipecat, kan?"Astaga!Mendengar itu, aku langsung mundur satu langkah. Menelan ludah, mengarahkan pandangan ke Nisa yang tersenyum. K—kenapa dia bisa tau itu semua?"E—enggak. Kamu tau info dari siapa, sih? Aneh banget." Aku tertawa di akhir kalimat. Berusaha agar membuat Nisa percaya dengan perkataanku. "Oh, ya? Abang dipecat gara-gara kesalahan di laporan keuangan, kan? Padahal bukan itu sebenarnya alasannya."Dia tersenyum misterius. Aku mengusap wajah, Nisa memang berubah sekali semenjak dia kecelakaan, tapi aku tidak menyangka itu. Kenapa dia seol
Read more

Bab 16

"Kamu ngapain di situ?"Eh? Aku langsung mendongak. Menatap Ani yang sudah berbalik ke arahku. "Bicara sama siapa?""Bukan urusanmu.""Semua yang kamu telepon, itu berhubungan sama aku."Dia menggelengkan kepala. Kemudian mendekatiku. Ani terlihat berbeda sekali sekarang. Aku menelan ludah, menatapnya yang terlihat aneh. Ah, apakah ini hanya perasaanku saja?"Kamu gak berhak atas semuanya."Aku menghela napas kasar. Susah sekali bicara dengan Ani. Dia terlihat keras kepala. Menyebalkan. "Kamu anggap aku selalu ini apa?" tanyanya pelan. "Istri? Atau hanya pembantu?""Ngomong apaan, sih?" Aku menatapnya kesal, mulai tidak nyaman. "Kamu harus tau, aku gak bakalan lupa sama semua yang kamu kasih ke aku."Dia benar-benar berbeda. Ani mendekatiku, kemudian berhenti melangkah di depanku. Dia terlihat sekali menahan emosi atau marah. "Kamu lihat apa yang akan terjadi nanti."***Ah, aku tidak bisa tidur. Ini sudah hampir Subuh. Aku berbalik, menatap Ani yang masih terlelap. Juga bayi kam
Read more

Bab 17

"Hah?! Ani?"Aku diam sejenak, berusaha mendengarkan suara wanita di seberang sana. "Abang?" Kalau didengar-dengar, suaranya mirip sekali dengan suara Ani, tapi sepertinya bukan. Aku mengembuskan napas pelan, bisa-bisanya salah orang. "Halo. Abang? Suaranya kayaknya bukan Abang, deh. Eh, ini aku gak salah nelepon, kan?" Dia terdengar bergumam sendiri di seberang sana. Aku menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arah rumah. Untung saja Ariel belum kembali. Ah, bagaimana kalau ketauan. Aku diam sejenak. Bagaimana cara menjawabnya?"Bang? Kenapa, sih? Aneh banget.""Eh, iya. Saya Reyhan. Sopir baru Mamanya Ariel. Ini adeknya Ariel, ya?""Oh. Sopir baru. Gak sopan banget angkat telepon Abang saya." Suaranya. Mirip sekali dengan suara Ani. Aku menggelengkan kepala, tapi sepertinya bukan. "Iya, maaf, Mbak. Saya kira tadi penting. Maaf, Mbak.""Hmm, nama kamu siapa? Biar nanti saya tanyain ke Abang.""Aduh, Mbak. Saya minta maaf banget. Jangan laporin saya, ya, Mbak. Saya baru perta
Read more

Bab 18

"D—dari mana kamu dapat semua foto ini, Nisa?" tanyaku dengan nada gemetar. Bisa-bisanya Nisa mengantongi banyak rahasiaku. Di seberang sana, adikku itu tertawa. "Rahasia.""Kenapa kamu bisa tau semua rahasia Abang?""Bahkan, aku juga tau rahasia Mbak Ani.""Apa?" tanyaku penasaran. "Itu rahasia juga. Semangat kerjanya, jangan dihamburin cuma buat Mama doang. Besok jemput aku."Telepon sudah dimatikan. Aku menghela napas pelan. Ini bahaya sekali. Sebenarnya, Ani tau semuanya dari siapa? Kenapa dia bisa enak sekali mendapatkan informasi?"Heh, Reyhan! Kamu itu mau kerja atau bengong aja? Saya laporin ke Mas Ariel nanti!"Eh? Aku buru-buru melangkah ke tempat tadi. Melanjutkan pekerjaan tadi. Pokoknya, aku harus segera mencari tau dari mana Nisa tau semuanya. ***"Kamu pulang dulu aja. Nanti malam baru jemput saya.""Ah iya. Makasih, Mas." Aku menganggukkan kepala, meletakkan kunci mobil ke atas meja. "Kok Mas, sih? Ngikutin yang lain? Khusus kamu, panggil saya Ariel aja. Jangan p
Read more

Bab 19

"Siapa yang meletakkan seluruh foto ini di mobil?" gumamku sambil menghela napas pelan. Nisa perasaan belum masuk ke dalam mobilku. "Mana mungkin Ibu." Aku menggelengkan kepala. Ponselku kembali berdering. Nisa sudah tidak sabaran lagi. Dia ini menyebalkan sekali. Aku meletakkan amplop itu ke kursi penumpang kembali. Dengan langkah cepat, aku melewati lorong-lorong rumah sakit. Di pikiran sibuk sekali memikirkan foto itu. Kalau bukan Nisa, berarti ada orang lain lagi yang tau soal rahasiaku. Ah, ini bahaya sekali. "Aduh!" Aku menatap ponsel yang teronggok tak berdaya di atas lantai. Ini menyebalkan sekali, siapa sih yang menabrakku barusan?"Kalau jalan pakai mata dong!""Heh, harusnya kamu yang salah!"Pandanganku teralih ke orang yang tadi menabrak. Seorang wanita. Dia berkacak pinggang, terlihat marah sekali padaku. Namun, aku seperti pernah melihatnya. Ah, perasaanku saja. Aku mendengkus, mengambil ponsel yang ada di lantai. Mencoba menyalakannya. "Ah, mati lagi.""Aduh,
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status