Semua Bab Sepuluh Pesawat Kertas: Bab 11 - Bab 14

14 Bab

11. Boleh, nggak?

Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda
Baca selengkapnya

12. Mengenang di Sore itu

Seberapa dekatnya kalian dengan seorang ayah? Mungkin tidak lebih banyak dari anak yang dekat dengan ibunya, tapi Ailis salah satu yang berbeda. Ia sangat dekat dengan sosok ayah. Beliau yang mengajarkan banyak hal di luar dari kebiasaan anak perempuan, yang lebih senang bermain boneka atau belajar memasak dengan ibunya.Karena tidak memiliki putra, maka Ailis yang selalu dengan senang hati mengikuti hobi ayahnya. Dari memancing sampai bermain sepak bola atau tenis meja—kala sore tiba—di pekarangan rumah mereka. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis itu, Ailis selalu merasakan kerinduan yang teramat sangat.Masalahnya, sekarang perasaannya mulai terasa campur aduk saat melihat seorang ayah tengah bermain basket dengan putranya di pekarangan rumah sebelah. Ya, rumah Ares. Namun, bukan cowok itu yang sedang bermain sambil tertawa lepas. Melainkan adiknya, Aldean—yang hanya berbeda dua tahun dari Ares.
Baca selengkapnya

13. Seandainya Waktu Kembali

“Makasih, udah nganterin aku sampe rumah,” kata Ailis pada Ares saat langkah kaki mereka terhenti di depan gerbang rumahnya.Kalau punya kekuatan, ia ingin sekali menghentikan waktu. Menjadikan jalan menuju rumahnya sangat jauh, agar mereka bisa lebih lama lagi bersama, walaupun hanya berjalan berdampingan saja nyaris tanpa kata.Ares hanya mengangguk singkat, sampai kemudian manik matanya teralihkah pada bangunan yang tepat berada di samping rumah Ailis.Gadis itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan cowok tersebut. Sehingga dengan pikiran yang memengaruhi otaknya, Ailis pun berkata, “Sejak kamu dan Tante Puri pergi, nggak lama Om Satya dan Aldean pun ikut pergi.”Yang Ailis tidak tahu, Saat itu juga Ares terkesiap mendengar perkataannya. Namun, tidak sekalipun cowok itu mengalihkan pandangannya dari rumah tersebut. Bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.“Y
Baca selengkapnya

14. Kenapa, sih?

Ailis tahu kalau keadaannya tidak lagi baik. Semenjak mereka berpacaran, gadis itu merasa baru kali ini Alarik marah besar padanya. Bukan marah seperti membentak atau main tangan, tidak sama sekali. Cowok itu hanya diam, dan sikap tersebut juga menakutkan. Dari kemarin sore, sejak dia memergokinya pulang bersama Ares sampai kini di perjalanan berangkat sekolah bersama, Alarik belum berucap satu kata pun. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk Ailis menebak apa mau dan yang sedang cowoknya itu pikirkan. Padahal gadis tersebut lebih suka terbuka. Ini menyulitkan, kan? Apa nggak bisa mereka berperilaku normal, dan nggak buat aku pusing? batinnya. Sampai akhirnya mobil keluarga Alarik yang mengantar mereka, tiba di depan gerbang sekolah. Lagi, tanpa bic
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status