Home / Romansa / Rumah Ramaria / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Rumah Ramaria: Chapter 11 - Chapter 20

38 Chapters

Bab 11

Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strap dan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 12

Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 13

Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 14

Hari ini ulang tahun Salsa yang ke-17. Aku sudah berada di rumah sedangkan Fadhil dan Caca sudah kembali ke Bandung setelah Gilang dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Aku bisa merasakan bahwa kini Maria lebih ceria karena ia tidak perlu khawatir dengan teror ataupun kedatangan Gilang tiba-tiba di kos-nya, karena ia yakin Gilang tidak bisa kabur dari penjara semudah itu. Aku baru selesai mandi dan melihat Salsa yang baru bangun tidur berjalan menuju meja makan. Niatku mengagetkannya digagalkan dengan kedatangan tiba-tiba Ibu dan Rania yang berteriak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun sambil membawa kue dengan lilin menyala di atasnya, menuju meja makan. Aku bergabung bersama mereka. Salsa terlihat ingin menangis menahan haru, masih menggunakan piyama tidurnya dengan rambut panjang belum disisir. Wajah manis berkulit sawo matang yang kulihat ini diwarisi dari Ayah. Ia kelihatan gembira. Aku memeluknya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun, diikuti
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 15

Untunglah di depan lampu merah. Aku memalingkan wajahku padanya dan tersenyum terpana. Ia membalas senyumku dengan malu-malu. Ia berkali-kali membuatku jatuh hati. Dan menurutku tidak ada pria yang sepertinya dapat menahan bayangan di pikirannya mengenai menjadikan Maria seorang istri kalau ia sudah membicarakan hal seputar pernikahan. Dan aku pria yang beruntung itu. Angan akan menikah dengannya, memiliki anak dari rahimnya, dan membentuk sebuah keluarga bersamanya menjadikanku tambah punya arti dan keinginan untuk memiliki hatinya. Sambil bersenandung mengikuti alunan musik, Maria memainkan jari manis di tangan kirinya yang memang sudah lama kuperhatikan ada cincin di sana. Aku membayangkan jika suatu saat nanti aku adalah pria yang ia percayakan memasang cincin di jari manisnya. “Cincin itu dari siapa, Mar?” tanyaku. Maria mengangkat tangan, memegang cincinnya dan berkata, “oh, ini dari temenku. Waktu itu dia ke Jepang dan beliin ini.”
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 16

Kami tiba di bandara sekitar pukul 2 siang. Pesawatku akan berangkat pukul 4 sore dengan dua kali transit sebelum sampai di Bandara Internasional Logan di Boston. Aku yang menyetir mobil ke Soekarno-Hatta dan nanti mobil akan dibawa Rania waktu mereka pulang. Aku bersyukur bisa menghabiskan dua setengah minggu waktu dengan sangat baik bersama teman-teman dan keluargaku. Beberapa kali aku ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama Ayah untuk mengingat kembali memori-memori yang lalu. Aku juga sudah menyempatkan diri hampir seharian berkunjung ke makam Ayah, membersihkan rumput-rumput liar di sekitarnya dan menaburkan banyak sekali bunga di pusaranya. Ayah, aku akan pergi sebentar. Hanya tiga tahun. Ini engga akan terlalu lama kalau tidak terus dipikirkan. (Aku menghibur hatiku sendiri). Ayah jagain Ibu, Rania, dan Salsa ya. Jagain aku juga dari atas sana. Setelah pulang nanti dan bekerja, aku berjanji akan membeli rumah untukku dan kelua
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more

Bab 17

Udara sedang hangat-hangatnya di Boston. Semilir angin menerpa wajahku di bawah sebuah pohon rindang di komplek universitas. Aku sedang duduk-duduk di sini sambil melihat momen-momen yang kuabadikan dengan keluargaku di Indonesia melalui foto-foto yang saling kami kirim. Fotoku dengan profesor, fotoku dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di sini, dan beberapa foto pemandangan di sekitar kampus yang kukirim di grup keluarga dan Maria secara terpisah. Foto Ibu, Rania, dan Salsa di ruang keluarga, foto Ibu dan Salsa sedang dalam perjalanan ke Bandung untuk mengunjungi Rania, serta beberapa foto mereka bertiga di makam Ayah dan tempat-tempat lain yang tidak kukenal di Bandung. Dari Maria ada fotonya dengan Ibu ketika ia sedang berkunjung ke rumah, foto Maria sedang tiduran di ranjang kamarnya waktu bertelepon denganku, dan foto Maria bersama keluarganya ketika mereka berlibur ke Jogja. Sudah satu tahun lebih aku mengenal Maria lewat
last updateLast Updated : 2021-08-25
Read more

Bab 18

“Satu lagi, satu lagi,” kata Maria, menunggu satu cerita lagi tentang diriku. “Oke, aku pikir-pikir dulu. Hm … pilih yang mana?” Aku memberikan tiga jari di tangan kananku pada Maria, agar ia pilih salah satu dan aku menceritakan cerita yang sebenarnya akan sama saja jika Maria pilih jari telunjuk, jari tengah, ataupun jari manis. “Hm, aku pilih jari manis.” Maria tersenyum. “Oke, jari manis itu cerita tentang aku yang pernah suka sama saudara jauhku sendiri.” Aku tersipu malu. Maria terlihat kaget dan bertanya, “serius Rama? Kok bisa? Gimana ceritanya?” Lalu aku mulai bercerita ketika aku masih di kelas 4 SD, keluarga besar dari Ayah sering berkumpul setiap minggu di salah satu rumah dan kami semua bercengkrama, makan-makan, dan nonton bersama. Ada salah satu perempuan yang umurnya satu tahun di bawahku, anaknya sepupu jauh dari pamanku yang kebetulan sedang di Jakarta. Awalnya aku melihatnya turun dari mobil dan seketika itu juga aku tau bah
last updateLast Updated : 2021-09-03
Read more

Bab 19

Ponselku berdering ketika Bondi sedang memberikan jawaban pada Irene mengenai hal-hal apa yang harus Irene lakukan untuk menarik perhatian Maudrick. Aku permisi sebentar, pindah ke salah satu kursi di bar sambil membawa minuman. “Hai Ram, kenapa?” Caca menelpon. “Hai Ca, lagi dimana sekarang?” tanyaku. “Masih di gudang nih, ngurus baju-baju. Ada Fadhil juga. Lo mau tanya apa tadi?” Suara plastik bergesekkan menjadi latar suara pembicaraan kami. “Oh, gue ganggu engga? Lo masih sibuk ya?” Selagi menunggu jawaban Caca, aku mengecek Line, apakah ada pesan dari Maria atau tidak. Dan sekarang, pesanku hanya dibaca olehnya, namun belum dijawab. “Engga kok, enggapapa, ini lagi masukin baju ke packaging aja,” kata Caca, diikuti suara Fadhil. “Oy Ram, ngobrol aja enggapapa, lagi engga begitu sibuk kok.” Aku tidak percaya jika mereka sedang tidak sibuk, karena di Indonesia sekarang pukul 8 pagi dan mereka sudah bangun dari dini
last updateLast Updated : 2021-09-13
Read more

Bab 20

Aku gugup bukan main dan minta waktu sebentar, berdiri agak jauh dari Irene yang memutuskan untuk duduk-duduk di bangku taman. “Halo, Maria?” “Iya,” katanya singkat. Tidak ada nada kesenangan yang biasanya hadir jika kami sedang berkontak lewat Line free-call. “Mar?” kataku lagi, dengan nada semanis mungkin. “Iya kenapa? Tadi katanya mau telpon,” kata Maria, kesal. “Mar, aku minta maaf ya..” “Minta maaf buat apa?” Nada bicaranya terdengar ketus. “Kemarin aku cerita tentang Sarah ke kamu, dan aku seharusnya engga ingat-ingat kembali ke masa itu.” Maria diam, tidak ada suara apapun. “Mar?” kataku lagi. “Apa sih?” katanya dengan nada bicara yang tinggi. Aku diam karena kaget. Baru pertama kali aku mendengar Maria marah. Di ujung telepon, tiba-tiba aku mendengar suara tangis terisak yang semakin lama semakin keras. Itu suara Maria. “Mar … Kamu kenapa?” tanyaku lembut.
last updateLast Updated : 2021-09-16
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status