Home / Lainnya / Katanya, Aku Pelit / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Katanya, Aku Pelit: Chapter 11 - Chapter 20

25 Chapters

Transfer

Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli. Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami. Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh .... Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What? "Biar Rere yang bayar." Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Lemari Baru

Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita dengan body aduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.  Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?! Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Barisan Para Mantan

Keterlaluan Tiara, meriang seharian aku dibuatnya. Duit hilang bikin makan pun tak kenyang. Maksudnya, tak kenyang kalo cuma sepiring. Untuk mengobati rasa kecewa, esoknya aku memilih untuk menenangkan diri di warkop Kak Limah. Terlihat Angga, Adit, dan Andi duduk menatap ponsel. Sepertinya mereka sibuk push rank. Sedangkan Yosi sedang duduk di ayunan. Kuhampiri, lalu menyapanya dan bertanya mengapa dia tak masuk kerja. "Hari ini off," jawab lelaki yang tingginya sama dengan pohon pisang di kebunku itu. Tapi, sebentar aja aku di sini. Nungguin istri dan adik aku belanja."  Dulu, adik Yosi yang bernama Citra pernah mau kujadikan cem-ceman, tapi Yosi tak setuju. "Tiara gimana?" lanjutnya. "Itulah, kesal aku dibuatnya, masak duitku ...." "Bukan itu!" potong Yosi. "Maksud aku, udah ada tanda-tanda berisi belu
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Senandungan Kuntilanak

 Malam datang bersamaan dengan gelap yang menghapus terang. Ia kelam tanpa kawan karena bulan pula disembunyikan awan, sedangkan bintang beramai-ramai pergi arisan. Aku duduk melamun, menyesalkan uangku yang kemarin waktu telah terbang melayang. Meskipun sebenarnya uang fee hasil jadi makelar tanah telah masuk, tapi jumlah yang hilang terlalu besar. Harusnya lebih banyak lagi uangku jika tak diambil Tiara.  "Abang nggak makan?" tanya Tiara. "Malas," jawabku asal-asalan. "Sekalian diet aja, Bang. Kempesin, tuh, perut yang udah ngebelendung kayak balon ." "Hmmm." "Adek tidur duluan ya." "Hmmm." "Kalo lapar, makanan di bawah tudung saji. Adek ada masak ayam goreng strawberry, sambal hati yang tersakiti, telur puyuh asam manis kehidupa
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Tiara Ngajakin Jalan

Siang menjelang sore, aku duduk bersama Adit dan Angga di warkop Kak Limah. Dari jauh, terlihat sesosok laki-laki berjalan kemari. Dia adalah Man. Mantan playboy cap kucing yang pernah mengendorse obat kurap merek Godzilla Ngidam.  "Oooiii!" Man yang baru tiba menyapa aku, Adit, dan Angga. Kami menjawab serentak. "Ooi!" "Bantu aku dong," katanya dengan muka sedih yang dibuat-buat--aku sudah hapal dengan kelakuannya  "Bantu apaan?" tanyaku.  Angga dan Adit bergeser duduk agak menjauh, berpura-pura sibuk menyusun lego. Padahal, mereka malas dengan bau badan Man yang menyengat seperti terasi baru dijemur. "Bini aku minta dicarikan mangga muda," jawabnya kemudian. "Lha, di pasar kan banyak. Ada yang mentah, ada juga yang masak." "Tau. Tapi, b
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Ajakan Pulang Kampung

Sesuai keinginan Tiara, hari ini aku mengajaknya jalan-jalan. Walau hanya keliling sekitaran Pontianak dulu, honeymoon-nya nanti saja. Tapi, itu sudah membuatnya senang. Dari spion kanan, kupandangi senyum tak lekang dari wajah orientalnya. "Ke Korem, yuk, Bang." Tiara yang sedang duduk di jok belakang merayu lagi. "Sorean dikit, Dek. Kalo sekarang, belum ramai. Perut Abang juga udah lapar. Balik dulu, ya." "Lho, kenapa balik? Beli mie tiaw aja. Nggak mahal, kok." Aku berpikir sejenak. Sepertinya ide Tiara boleh juga. Lama sudah aku tidak makan mie tiaw goreng. Rindu juga akan sensasi mie putih, jeroan, dan kecap yang bercampur jadi satu. "Oke ... tapi, nanti adek yang bayar." "Adek lupa bawa dompet, Bang." Alasan. Dia pasti sengaja. Cewek kalo jalan kan selalu bawa dompet. Kok bisa-bisanya Tiara tidak bawa.
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Pengakuan Renata

Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.  Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong. "Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi. "Apaan?" Aku melepaskan kacamata. "Pem-
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Sakit Hatiku

Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja. Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku. "Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku. Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana.  "Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur. Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?"  "Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara). "Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Nikahan Adit

Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.  Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.  Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati? Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan. "Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"  Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more

Martabak

Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.  Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku. "Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku. Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya. "Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti. Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi. "Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela
last updateLast Updated : 2021-07-16
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status