Home / Romansa / ISTRI RAHASIA TUAN BESAR / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of ISTRI RAHASIA TUAN BESAR: Chapter 31 - Chapter 40

46 Chapters

Kenangan Yang Di Tinggalkan

“Maira! Astaga, akhirnya kamu sadar juga.” Sam langsung menekan tombol pemanggil perawat di samping ranjang perempuan itu.“Sam.. pak Pandu?”“Nanti ya, biar dokter pastiin keadaan kamu dulu.”“Tapi..”“Nanti Maira, biar dokter periksa kamu dulu.” Maira tidak lagi membantah, terlebih tidak beberapa lama kemudian dokter datang dan menanyainya beberapa hal.“Bu Maira kurangin setresnya ya, jangan banyak pikiran. Kasian si bayi, untung kali ini enggak sampe pendarahan loh.” Ucap si dokter sembari sibuk dengan catatannya.“Masnya ini?”“Saya asisten suaminya ibu Maira dok, pak Pandu masih di jalan.”“Oh, oke. kalau gitu nanti di sampaikan aja ke suaminya ya kalau istrinya ini enggak boleh banyak pikiran, terus pola makannya di perhatikannya. Berat si ibu terlalu kurus soalnya, saya khawatir itu nanti bisa berpengaruh buruk untuk si
Read more

I Love You Bunda, Jangan Ngambek lagi

Taman belakang rumah keluarga Sore kembali ramai, kali ini ada banyak dekorasi yang di pasang. Ghiana sedang mengadakan baby shower untuk merayakan kehamilannya yang sudah mencapai usia tujuh bulan.“Ya ampun seneng deh ngeliat kamu sehat gini Ghi.”“Iya, semenjak hamil tuh jadi makin glowing gitu kan guys?”“Iya bener, apa sih rahasia?” Ghiana hanya tersenyum, perempuan itu sama sekali tidak peduli sekalipun ucapan teman-temannya itu hanya sebuah basa basi belaka.“Rahasianya? Kasih sayang suami.” Meja itu langsung di penuhi suara cekikikan para perempuan yang gemas setelah mendengar bisikan Ghiana.“Ngomong-ngomong Ghi, aku kemaren-kemarin liat mobil Pandu deh di perumahan Griya Pesona.”“Griya pesona?”“Iya, salah satu pengasuh anak aku rumahnya di sana. Dia sakit terus Ares rewel pengen nengok.”“Ngapain Ghi Pandu ke perumahan
Read more

Sekuat Tenaga

Pandu membuka satu pintu kamar khusus yang ia buat lima tahun lalu atas saran dokter kejiwaan, selama lima tahun ini pandu memang menjadi langganan salah satu dokter pskiatri tebaik di kotanya. Ia menyerah, karena setiap malam selalu di hantui oleh bayangan anak-anak yang menangis dan bertanya kenapa mereka tidak bisa hidup. Kamar yang di masuki Pandu sangat luas meski sudah di sekat menjadi tiga bagian dengan menggunakan beberapa tema sebagai pembatas.“Ini untuk princessnya ayah, lucukan? Bajunya mirip Elsa.” Pandu sedang menata barang-barang di area yang bertemakan princess.“Liat, ayah juga beli sepatu kaca. Mirip cinderella, tapi ketemu pangerannya nanti aja ya. Kalau udah besar. Hahaha.” Pandu menutup pintu lemari dan berjalan ke area bertemakan astronot.“Kalau ini untuk jagoan ayah, buzz lightyear.” Pandu bersorak sembari mengangkat tingg-tinggi kostum yang di bawanya.“Oh ayah juga beli woody, untuk adek.
Read more

Kayaknya, kamu menggunakan uang dari Ghiana dengan baik

Sam memegang kamera, mengarahkannya kepada si kembar yang dengan semangat sedang berebut membuka kado di damping oleh Maira yang membantu membacakan nama pemberi kado.“Oh, ini dari bude Mira. Nanti telefon bude ya, bilang makasih.” Bima langsung mengambil ponsel bundanya dan meminta Maira menelfon adik ibunya itu.“Bude Ra!” si kebar berseru heboh, Sam yang masih sibuk merekam hanya bisa tertawa.“Ya ampun yang lagi ulang tahun kayaknya seneng banget ya.“Bude, makasih kadonya.”“Iya, sayang. Semoga suka ya.”“Suka bude, kata bunda nanti bisa di pake kalau udah masuk TK” Maira mengelus kepala anak-anaknya dengan sayang, hubungannya dengan keluarganya di kampung membaik saat ia pulang beberapa tahun lalu. Meski ibunya masih menanggapinya dengan dingin, setidaknya Maira tau kalau perempuan yang sudah melahirkannya itu menyayangi cucunya. Sayangnya, ibu Maira meninggal enam bula
Read more

Fakta Yang Mulai Terkuak

Ghiana turun dari mobilnya dan memasuki rumah salah satu temannya, Nat yang sedang merayakan ulang tahun anak ke tiganya. Di sampingnya sang supir sembawa satu bungkusan besar, hadiah untuk si empunya acara.“Oh liat siapa yang udah dateng, aunty Ghiana.” Nat melambaikan tangan balita yang masih berusia dua tahun kepadanya.“Hai Gio, selamat ulang tahun ya.”“Makasih aunty, oh liat. Astaga, besar sekali kadonya.” Seolah mengerti, balita yang ada di dalam dekapan ibunya itu juga melonjak kegirangan.“Thank you loh Ghi, udah mau dateng. Apa lagi hadiahnya ini wah, besar banget.”“It’s ok, ini bukan apa-apa.”“Ghiana! Ya ampun.” Ghiana tersenyum menyambut pelukan dari teman-temannya, ini memang pertemuan pertama mereka setelah tragedy lima tahun lalu. Ghiana memilih mengurung diri, tidak berani menanggung malu karena keguguran.“Sasa, bilang halo ke aunty
Read more

Tapi, Om Jahat Itu Bukan Ayah Ku

“Bunda, Rama main ya.”“Bima juga!” Pandu melihat ke dua anak kembar yang menyebut diri mereka sebagai Rama dan Bima mengeluarkan mainan mobil-mobilan yang di lihatnya di dalam foto dengan tidak sabaran. Anak-anak itu dengan antusias bergabung bersama anak-anak komplek lainnya di lapangan yang tidak jauh dari rumah mereka.“Om Sam!”“Om Sam, bawa ice cream?” Pandu mengepalkan tangan geram begitu melihat asisten pribadinya itu merendahkan tubuh dan bersiap menerima pelukan dari anak-anaknya yang ia kira sudah mati.“Bawa dong, kan hari ini abang sama mas udah jadi anak baik.”“Aku, aku tadi bantu bunda beresin kamar om.”“Rama bantu bunda cuci piring.”“Pintarnya, nanti makan ice creamnya di dalem ya.”“Oke!” Sam menunggu anak-anak itu memakirkan mobil-mobilan mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Asisten pribadinya itu benar-benar kelihatan sangat sudah terbiasa berada di sekitar anak-anaknya.“Sialan!” Udin sama sekali tidak ber
Read more

Bilang Iya, Maira. Aku Mohon

Pandu duduk di ruang makan rumah Maira dengan canggung, di hadapannya Bima dan Rama terus saja memberikan tatapan sebal yang justru membuat Pandu merasa gemas alih-alih ketakutan.“Bunda, abang mau ayam!” Pandu menghentikan gerakan tangannya yang ingin mengambil ayam goreng dari mangkuk.“Bunda, mau tempe! Mau tempe.” Kali ini Bima yang merengek, lagi-lagi Pandu mengurungkan uluran tangannya yang hendak mengambil tempe karena anak-anaknya merengek tidak sabaran.“Bunda -"“Abang, itu piringnya udah penuh. Di habiskan dulu baru ambil lauk lain kalau kurang ya. Mas Bima juga.” Sela Maira ketika anak-anaknya kembali akan menghalangi Pandu mengambil lauk makan malam.“Enggak boleh iseng begitu ah, sekarang makan yang bener ya. Sayang lauknya.” Sam mengucapkan kalimat itu sembari mengusap-usap kepala anak-anak, Pandu meringis iri. Ia juga ingin bisa seakrab itu dengan Rama dan Bima.“Udah abis, boleh minta ice cream bunda?”“Boleh, sebentar ya bu
Read more

Saya Enggak Mau Lagi Menunggu

Ini hari libur, sejak pagi Pandu sudah bersiap mengemas beberapa mainan dari kamar khusus untuk di bawa ke rumah Maira, laki-laki itu sudah bertekad untuk menjaga anak-anak dan juga Maira dengan baik. Untuk itu Pandu perlu menjadi lebih dekat dengan keluarganya itu.“Jia, kamu pesenin mainan yang gambarnya saya kirim tadi ya. Kirim ke alamat yang barusan saya kirim juga, saya enggak mau tau pokoknya kamu harus dapet mainannya.” tidak pernah ada hari libur bagi sekretari ataupun asisten pribadi Pandu, yah kecuali untuk Sam. Laki-laki itu sedang Pandu ungsikan ke jepang demi kelancaran proses pendekatannya dengan Maira dan anak-anaknya.“Din! Bantu saya bawa ini semua.”“Mau kamu bawa kemana ini barang-barang?” Ghiana muncul dari ujung pintu.“Ck, bukan urusan kamu. Udin! Mana sih itu orang, lama banget.”“Oh, karena mereka hidup jadi kamu mau ngasih ini semua ke mereka?” Ghiana bertanya den
Read more

Kamu Atau Saya yang Buka?

“Mau teh atau kopi?” Maira bertanya begitu Pandu keluar dari kamar anak-anaknya, perempuan itu seharian ini mengamati setiap interaksi Pandu dan juga anak-anaknya dalam diam.“Kopi aja, aku masih harus nyetir nanti.” Maira mengangguk, Pandu memang sudah meminta supir pribadinya untuk pergi siang tadi.“Kalau memang enggak kuat nyetir, bapak tidur di rumah samping aja.”“Aku kira kamu mau nawarin tidur di sini.”“Boleh, di ruang tamu tapi. Pake karpet.”“Tega.” Maira mengabaikan rengekan manja itu, ia berusaha fokus menjerang air panas untuk menyeduh kopi.“Maira..” Perempuan itu nyaris menumpahkan air di dalam panci kareng terkejut dengan pelukan Pandu yang tiba-tiba.“Ternyata, aku bukan cuma kangen sama anak-anak. Tapi sama kamu juga.”“Pak, apaan sih. Lepas ah.”“Kamu harus tau gimana hidup saya selama lim
Read more

Bunda Bukan Pelakor!

Sam terus merutuki kebodohannya satu minggu yang lalu, hingga saat Ini ia bahkan tidak berani muncul di rumah Maira pun bekerja dan bertemu dengan Pandu. Jika bisa, Sam ingin mengambil cuti lebih banyak lagi. Sayangnya hari ini dia sudah harus mulai bekerja.“Saya tunggu surat pengunduran diri kamu, kalau kamu memang udah enggak lagi mau kerja sama saya Sam.” Pandu berkata dengan tenang, laki-laki itu masih sibuk memeriksa laporan yang Jia bawakan pagi tadi.“Kalau kamu mulai enggak bisa professional, lebih baik kamu berhenti sekarang. Saya masih bisa keluarin surat rekomdasi untuk semua performa baik kamu selama ini.” Pandu menutup laporannya untuk bisa menatap Sam dengan tajam.“Gimana?”“Akan saya pertimbangkan pak.”“Setelah itu jangan ganggu Maira dan anak-anak lagi Sam, kemaren saya masih nahan diri karena ada anak-anak. Tapi kalau kamu masih enggak tau batas, saya enggak akan segan-segan.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status