Sebuah limosin Bentley berhenti di hadapan Tiffany dan Edric. Edric membuka pintu mobil dan menaruh tangannya di kusen pintu. Dia membiarkan Tiffany untuk masuk terlebih dahulu, lalu dia sendiri baru masuk. Mobil mereka pun melaju ke Vila Taringa.Sepanjang perjalanan, Edric tidak berbicara. Tiffany awalnya merasa gembira karena tidak perlu berbicara dengannya. Namun, dia tanpa sengaja menemukan kedinginan dalam tatapan Edric. Edric sepertinya sedang menahan amarahnya.Sebelum mobil mereka sepenuhnya berhenti di depan rumah, Edric sudah langsung mencengkeram pergelangan tangan Tiffany, lalu menariknya turun dari mobil. Berhubung Tiffany mengenakan sepatu hak tinggi, dia pun hampir keseleo karena masih belum sempat berdiri tegak.Edric pun menghentikan langkahnya, lalu langsung menggendong Tiffany masuk ke lift menuju vila. Ana sudah menunggu di depan pintu lift dari tadi. Begitu melihat mereka, dia buru-buru menyapa, “Pak Edric, Nyonya, kalian sudah pulang.”Ekspresi dingin Edric langs
“Aku nggak peduli.” Hati Edric pun melunak. Suaranya juga berubah menjadi lembut. Seluruh aura dingin yang dipancarkannya sudah sepenuhnya sirna.“Tapi aku peduli! Aku mau berdiri di sisimu secara terang-terangan dan dihormati orang lain!” Melihat caranya ini efektif, Tiffany pun melanjutkannya dan bahkan mencoba untuk mendorong Edric ke samping.Edric menatap Tiffany dengan penuh arti, lalu akhirnya menyerah. “Kalau begitu, aku akan aturkan pekerjaan untukmu ....”Pekerjaan yang diaturkan Edric untuk Tiffany pasti akan lebih baik dari pekerjaan yang didapatkan Tiffany sendiri. Dengan begitu, dia juga bisa senantiasa mengawasi Tiffany.Tiffany pada dasarnya memang ingin mencari pekerjaan. Berhubung hari ini dia sudah memiliki kesempatan untuk mengungkitnya, dia pun melanjutkan topik ini. “Itu beda.”Jika Edric mengaturkan pekerjaan untuknya, Tiffany tetap tidak akan mendapat kebebasan. Setelah bercerai kelak, dia juga harus mencari pekerjaan baru. Dia tidak memiliki energi sebanyak itu
Edric pasti berpikiran bahwa tidak ada orang luar di dalam kamar, juga tidak mungkin ada kamera pengintai. Berjalan keluar dari kamar mandi dengan telanjang bulat termasuk salah satu permainan yang menambah keintiman suami istri. Terlebih lagi, mereka juga pernah berhubungan intim di kamar mandi.Edric sepertinya juga teringat kenangan masa lalu itu. Gairah yang terkandung dalam matanya menjadi makin jelas. Bahkan napasnya juga mulai memburu.Tiffany menggigit bibirnya dan tiba-tiba menutup kembali pintu kamar mandi. Dia berdiri di tempat dalam diam, seolah-olah sedang mencoba untuk menghancurkan sebagian harga diri dan rasa malunya.Edric mengerutkan keningnya sambil menatap pintu kaca yang tertutup rapat itu. Pada detik selanjutnya, dia turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke lemari yang menyimpan pakaian dalam Tiffany dan memilih 2 macam gaun tidur seksi.“Mau pakai yang mana?” Edric bertanya dengan suara yang normal, tetapi malah mengandung nafsu yang tidak dapat dipahami. Dia la
Tiffany buru-buru turun dari tempat tidur, lalu asal memakai baju dan langsung menerjang keluar. Setelah keluar dari gerbang rumah, dia baru tersadar. Ini adalah vila pribadi di tengah gunung. Dia tidak mungkin bisa menemukan taksi.“Tit!”Sebuah mobil mewah berhenti di sisi Tiffany. Jendela yang terbuka setengah itu menunjukkan tampang dingin dan serius Edric. “Naik.”Tiffany langsung membuka pintu penumpang depan dan naik ke mobil tanpa ragu. “Terima kasih.”Melihat Tiffany yang begitu sungkan, Edric pun mengingatkannya, “Dia itu kakekmu, juga kakekku.”Tiffany langsung tertegun. Kakek?Di kehidupan sebelumnya, Edric selalu berusaha yang terbaik untuk menjaga jarak dengan Tiffany. Dia tidak pernah memanggil Arif dengan sebutan kakek. Selain itu, pada saat ini di kehidupan sebelumnya, kakeknya sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, Tiffany baru merasa sangat terkejut saat menerima telepon dari rumah sakit tadi. Tak disangka, kakeknya masih hidup sampai sekarang ....Begitu mobil ber
Setelah mendengar jawaban Arif, Tiffany menggenggam erat tangan Arif. Hatinya terasa seperti disayat pisau.Arif baru selesai dioperasi dan efek obat bius juga sudah habis. Mana mungkin dia tidak sakit?“Edric juga datang?” Arif perlahan-lahan mengalihkan perhatiannya pada Edric yang berdiri di samping, lalu berkata dengan hangat, “Setiap penyakitku kambuh, kamu selalu datang menjengukku. Maaf begitu merepotkanmu.”Edric menjawab, “Sudah seharusnya aku melakukannya.”Melihat Edric yang begitu rendah hati, tatapan Arif terlihat makin hangat. Dia pun mengisyaratkan Edric untuk menunggu di samping. Setelah Edric pergi, dia baru menggenggam tangan Tiffany dan berkata dengan serius, “Tiffy, aku benar-benar tenang ada Edric yang berada di sisimu setelah aku pergi nanti.”Arif tahu paling jelas mengenai kondisinya. Setiap kali penyakitnya kambuh, dia sudah mempersiapkan diri untuk mati. Baginya, berhasil diselamatkan hanya akan menambah hidupnya paling-paling beberapa hari.Seluruh tubuh Tif
Begitu mendengar Edric mau pergi, Tiffany merasa sangat lega dan menjawab, “Pergilah, jangan sampai kerjaanmu terbengkalai. Aku sendiri sudah cukup untuk jaga Kakek.”Edric meliriknya, lalu berkata dengan nada yang agak tajam, “Kamu juga yang patuh. Jangan asal keluyuran.”Tiffany menggigit bibirnya. “Emm.”Tidak lama setelah Edric pergi, Tiffany memanfaatkan kesempatan saat Arif masih tidur untuk pulang ke Vila Taringa. Dia mengemas beberapa pakaiannya dan komputer, lalu kembali ke rumah sakit satu jam kemudian.Willis akan datang memeriksa keadaan Arif setiap 2 jam sekali. Melihat Willis yang begitu rajin, Tiffany mau tak mau merasa bingung dan menghentikan Willis yang hendak pergi.“Nyonya, ada apa?” tanya Willis dengan penuh hormat. Tiffany merasa ragu sejenak, lalu bertanya, “Pak Willis, apa selama ini kamu yang jaga kakekku?”Willis yang peka langsung menyadari ada yang aneh. Setelah berpikir sejenak, dia baru menjawab, “Benar. Pak Edric sendiri yang suruh aku harus jaga Pak Ari
Tiffany menutup laptopnya, lalu berjalan ke sebuah sudut yang tidak tertangkap CCTV. “Dok Lucas, aku tahu kamu mau bantu aku. Tapi, ada beberapa hal yang nggak sesederhana pemikiranmu.”Lucas khawatir Tiffany akan berubah pikiran. Dia pun berkata dengan nada yang agak panik, “Asal kamu bantu aku masuk ke pusat pemulihan itu, aku pasti bisa bawa Meliana pulang.”Tiffany terlihat ragu, seolah-olah sedang berpikir apakah dia harus menyetujui permintaan Lucas atau tidak.“Memangnya kamu mau hidup selamanya bersama pria yang nggak mencintaimu?” tanya Lucas.Setelah sesaat, Tiffany berlagak seperti sudah terbujuk oleh ucapan Lucas. Dia pun menjawab, “Oke, aku akan bantu kamu masuk ke sana.”Begitu Tiffany setuju, Lucas pun tersenyum. Kemudian, dia berseru, “Ini baru Tiffany yang kukenal!”Tiffany yang dia kenal? Namun, mereka sama sekali tidak dekat. Selain dalam beberapa bulan Tiffany dikurung oleh Lucas, mereka bahkan nyaris tidak pernah berbicara selama SMA. Namun, Tiffany tidak membongk
Setelah mengirim CV ke berbagai perusahaan selama 3 hari, Tiffany masih belum menerima satu balasan pun. Sebelumnya, jelas-jelas ada sebuah perusahaan yang sudah memintanya untuk pergi menerima wawancara. Namun, orang itu malah tiba-tiba menelepon lagi dan bilang mereka salah orang.Tiffany merasa ada yang aneh dan bertanya, “Bisa kasih aku alasannya? Apa CV-ku kurang bagus? Atau ada masalah lainnya?”Orang itu menjawab, “Bu Tiffany, CV-mu sangat baik sampai perusahaan kami nggak sanggup pekerjakan kamu. Sebaiknya kamu cari saja perusahaan lain.”Tut ... tut ....Sebelum Tiffany sempat bertanya lebih lanjut, orang itu sudah langsung memutuskan sambungan telepon. Tiffany mengepalkan tangannya dengan kuat saking kesalnya. Setelah sesaat, dia baru mengendurkan kepalan tangannya dan lanjut mengirim CV ke perusahaan lain. Dari pantulan layar laptop, terlihat wajahnya yang agak muram.Tiffany tahu jelas bahwa orang yang bisa membuat berbagai perusahaan besar di ibu kota menjauhinya hanyalah
Tiffany memalingkan wajah dengan tenang. “Bu Krystal, kalau kamu memang nggak punya kemampuan, aku juga nggak bisa membantumu lagi.”Orang yang tidak bisa diandalkan seperti Krystal tidak perlu dipaksa untuk terus bertahan.Mendengar itu, wajah Krystal langsung menjadi lebih pucat. Dalam beberapa hari ini, dia akhirnya menyadari bahwa dia sama sekali tidak memiliki tempat dalam hati Edric. Dulu, dia masih mengira dirinya lebih unggul daripada Tiffany yang hanya mengandalkan pria.Sekarang, Krystal sudah melihat semuanya dengan sangat jelas. Dia tidak sebanding dengan Tiffany. Bagi Edric, dia hanyalah bawahan yang lumayan cakap. Jika dia kehilangan kemampuannya dalam pekerjaan, Edric pasti tidak akan membiarkannya tetap bekerja sebagai sekretarisnya.“Bu Tiffany, kamu yang duluan ajak aku untuk kerja sama. Kamu nggak bisa campakkan aku begitu saja tanpa menyelesaikan apa pun,” ucap Krystal dengan suara bergetar.Hanya saja, Tiffany tidak merasa Krystal adalah kartu utamanya. Kartu utama
Tiffany membalas sambil tersenyum, “Oke.”Angie menjalankan mobilnya, lalu meninggalkan tempat itu. Sebelum mobilnya berjalan jauh, sebuah mobil berhenti di dekat Tiffany dan menyalakan lampu beberapa kali, seolah-olah sedang memberi isyarat.Dari kejauhan, Angie melihat melalui kaca spion bahwa Tiffany naik ke dalam mobil mewah itu. Alisnya langsung mengerut dan tatapannya terlihat suram. Angie mengenali mobil itu. Itu adalah mobil yang digunakan oleh Edric saat keluar dari rumah Keluarga Wibowo bersama mereka.Setibanya di Vila Taringa, Tiffany langsung ditarik masuk ke kamar mandi oleh Edric. Tiffany masih berada dalam periode menstruasi sehingga ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan. Namun, Edric tidak memaksanya. Dia hanya meminta Tiffany untuk membantunya mandi.Pria itu bersandar di tepi bak mandi. Tubuhnya telanjang bulat. Pinggangnya yang kokoh dan otot perutnya yang sempurna juga terpampang di hadapan Tiffany.Tidak bisa dipungkiri, Edric memang memiliki penampilan yang sa
Tiffany merasa linglung akibat ciuman itu. Tubuhnya mulai melemah hingga kaki dan tangannya terasa lemas. Matanya yang berkaca-kaca menatap pria di depannya.Edric paling tidak tahan melihat tatapan Tiffany yang seperti itu. Dia terkesan seperti telah menindas Tiffany. Dia pun menunduk dan mencengkeram pinggang rampingnya, lalu menekan kedua tangan Tiffany ke atas kepala. Dia berucap, “Ayo jawab.”Tiffany menggigit bibirnya erat-erat. Dia merasa malu dengan cara Edric yang memperlakukannya tanpa ampun. Dia pun membalas, “Aku cuma nggak mau orang berpikir aku dapatkan kerja sama ini karena koneksi.”Edric mencengkeram dagunya dengan tatapan tajam, seolah ingin melihat apakah dia sedang berbohong. Setelah beberapa saat, dia kembali mencium Tiffany dengan ganas dan mengisap setiap napasnya. Tangannya juga tidak diam dan lanjut menjelajahi kulitnya yang lembut.Tiffany yang hanya bisa menggerakkan tangannya pun mendorong dada Edric yang terus mendekat. Apa pria ini sudah gila? Apa Edric ti
Tiffany menjelaskan, “Bu Regina, kulitmu yang putih nan bersih dan tubuhmu yang tinggi sangat cocok dengan rubi. Di sisi lain, mutiara akan mempercantik gaun ungu yang kamu pilih untuk malam itu. Nggak mencolok, tapi tetap menunjukkan kelas dan statusmu.”Setelah mendengar penjelasan itu, Regina baru menatap Tiffany dengan tatapan penuh kekaguman. Di atas meja pendek di hadapannya, ada gambar gaun malam yang akan dia kenakan. Hanya Tiffany yang memperhatikannya selama setengah jam terakhir.Mata Regina tiba-tiba menunjukkan sedikit kejutan. Dia bertanya, “Bukannya kamu ...?”Tiffany yang tidak ingin Angie mengetahui hubungannya dengan Keluarga Hanson menanggapi dengan tenang, “Bu Regina, aku desainer dari Eternal, Tiffany. Aku datang bersama Bu Angie.”Regina yang cerdas segera memahami situasinya. Hubungan antara Keluarga Hanson dan Keluarga Wibowo di dunia bisnis sudah sangat erat. Jika Tiffany ingin menyembunyikan identitasnya, Regina merasa tidak masalah untuk membantunya.Regina p
“Tiffany, kenapa bengong di situ? Ayo naik,” panggil Angie dari sisi lain.Tiffany tersadar dari lamunannya, lalu mengalihkan pandangannya dan mengikuti Angie. Kemudian, atasannya itu menjelaskan, “Lift di sana cuma untuk tamu VIP. Lift kita ada di sisi ini.”Penjelasan ini jelas bertujuan agar Tiffany tidak salah langkah dan menyinggung tuan rumah.Setelah naik, mereka tiba di lantai yang penuh cahaya terang. Saat ini, Tiffany baru menyadari bahwa ternyata banyak perusahaan-perusahaan desain lain yang hadir. Semua tamu dikumpulkan di sebuah ruang tamu.Pada saat ini, Angie membawa Tiffany mencari tempat duduk yang tidak mencolok, tetapi juga tidak terlalu di sudut. Angie memberi tahu, “Bu Regina akan berulang tahun ke-40 bulan depan. Dia mau tampil memukau di acara ulang tahunnya. Makanya, perhiasan ini sangat penting baginya. Kalau kita bisa dapatkan proyek ini, komisinya paling nggak akan capai 9 digit.”Angie melanjutkan dengan suara serius, “Semua orang di sini mutar otak untuk b
“Bu Angie pasti sudah punya keputusan sendiri. Aku baru bergabung dengan perusahaan dan belum sepenuhnya paham sama sistem desain di Eternal. Dalam waktu sesingkat ini, aku belum bisa lihat perbedaannya,” jawab Tiffany dengan tenang.Mata Angie agak memicing dan sorot tajam di matanya perlahan mereda. Dia tahu Tiffany tidak ingin menyinggung siapa pun. Jadi, dia memutuskan untuk tidak mengungkap hal itu lebih lanjut.Angie memberi tahu, “Rancangan desain perhiasan ini adalah permintaan istri Pak Arnold dari Grup Seresa. Tapi, hingga kini kami belum berhasil ciptakan desain yang sesuai dengan keinginannya. Makanya, proyek ini terus tertunda.”“Karena kamu sudah mampu menunjukkan beberapa poin yang bikin rancangan ini terlihat unik, aku serahkan desain ini padamu. Apa kamu sanggup?” tanya Angie.Tiffany yang baru masuk ke perusahaan sudah diberi tugas nyata, apalagi tugas yang berhubungan dengan Grup Seresa. Apabila istri Arnold puas, reputasi Tiffany di dunia desain pasti akan memelesat
Tiffany menyadari bahwa rekan-rekannya hanya menunjukkan ekspresi iba terhadap Sanny, lalu kembali fokus pada pekerjaan masing-masing.Ketika Sanny menyebut Angie sebagai “nenek sihir”, tidak ada reaksi besar dari orang yang lain. Mereka bahkan terlihat setuju. Kesan ini mirip seperti memberi guru sebuah julukan di masa sekolah.Sanny meregangkan lehernya, lalu berucap, “Perkenalkan diri dulu, aku Sanny.”Tiffany kembali duduk di kursinya. Dia membuka dokumen dan menjawab singkat, “Tiffany.”Sanny meliriknya dengan pandangan sinis, lalu mengejek, “Aku tahu siapa kamu. Kamu yang masuk ke sini lewat jalur orang dalam tanpa wawancara, 'kan?”“Biar kuingatkan, nggak peduli seberapa kuat koneksimu, di departemen desain Eternal terutama di bawah kendali Angie, cuma kemampuan yang dianggap penting. Kalau kamu nggak punya bakat, lebih baik minta pindah sendiri daripada mempermalukan diri di sini,” tambah Sanny.Tangan Tiffany yang sedang membolak-balik dokumen berhenti sejenak, tetapi dia tida
Setelah setengah jam berlalu, Edric kembali ke kamar tidur dengan rambut yang sudah kering. Kali ini, dia tidak langsung memeluk Tiffany, melainkan hanya menunduk.Edric berucap dengan nada yang sulit ditebak, “Oke, Sayang. Aku bisa kasih kamu ruang pribadi, tapi kamu juga harus ingat siapa dirimu. Jaga jarak dengan pria lain selain aku.”Tiffany yang belum terlelap mendengar kalimat itu dengan sangat jelas. Di sisi lain, Edric menepuk ranjang di sampingnya. Suaranya mengandung perintah yang tak bisa dibantah ketika menambahkan, “Sini, mendekatlah.”Setelah bertahun-tahun berada di sisinya, Tiffany tahu tindakan ini disengaja. Edric hanya ingin melihat dia menurut dan tunduk di bawah kuasanya. Kebiasaan buruk ini tak pernah berubah dari kehidupan sebelumnya hingga sekarang.Tiffany sangat memahami sifatnya. Dia tahu Edric telah memberikan kelonggaran. Apabila dia masih keras kepala, dia tidak akan bisa menanggung konsekuensinya.Setelah berpikir begitu, Tiffany akhirnya bergerak mendek
Edric tiba-tiba mendekat. Napasnya membawa aroma samar alkohol. Dia membalas, “Gimana kalau aku bilang itu bukan karena nggak sengaja?”Tiffany memandangnya, lalu menyadari bahwa jarak mereka terlalu dekat. Sorot mata pria itu begitu tajam. Garis tegas rahangnya menambah kesan dingin dan penuh tekanan. Seolah-olah pada saat itu, yang terlihat di matanya hanyalah hasrat untuk menguasai.Jantung Tiffany berdebar keras. Dia membuka mulut, tetapi suaranya terdengar sangat lemah dan rapuh ketika berucap, “Nggak mungkin.”Mendengar itu, Edric pun mengernyit. Dia meraih dan mendudukkan Tiffany di pangkuannya, lalu bertanya, “Kamu begitu percaya padaku?”Tiffany membeku di tempat. Piama tipis yang dikenakannya terasa seperti selembar kertas transparan yang sama sekali tidak memberikan perlindungan baginya.Baru bergerak sedikit, panas dari tubuh Edric terasa makin mendesak dan membuatnya tidak berani bergerak. Tiffany pun menunduk dan berusaha menghindari tatapan mengintimidasi itu.“Ya,” jawa