Share

Bab 2

Aku tidak bergerak, sedikit penasaran apakah perempuan ini benar-benar berani.

"Kak, tolong bantu aku. Aku ... aku nggak bisa membukanya." Tangan Debby gemetar karena terlalu gugup.

Dia seperti gadis kecil yang tidak berpengalaman.

Laki-laki sepertiku, yang hampir berumur empat puluh tahun, telah melihat segala macam suka dan duka. Namun, kini perhatianku begitu teralihkan oleh rayuannya, membuatku lupa bahwa aku sudah memiliki seorang istri.

Aku dengan takut-takut memegang tangannya.

Halus dan halus, ini adalah yang terbaik di dunia.

"Kak, aku ingin menciummu," kata Debby malu-malu.

Aku ingin mengabulkan keinginannya, tetapi begitu membungkuk, ponselku tiba-tiba berdering.

Jantungku berdebar kencang karena terkejut.

Saat aku melihat bahwa Geani lah yang menelepon, aku mendorong Debby menjauh.

"Sayang, apa kamu merindukanku?"

Suaraku lembut dan Geani pun memberikan respons yang cukup baik, "Aku cuma mau tahu apakah kamu melakukan sesuatu yang kiranya mengkhianatiku atau nggak."

Debby masih berdiri di samping, tiba-tiba aku merasa bersalah.

"Mana mungkin? Apa kamu nggak tahu siapa orang yang paling aku cintai?"

"Menyebalkan." Geani sangat puas dengan kata-kataku. Dia mengatakan beberapa hal, berjanji akan menjemputku besok. Baru setelah itu dia menutup telepon.

Aku kehilangan minat yang sebelumnya sempat terbangkitkan dan berkata kepada Debby, "Kalau aku menemukan pinsetmu, aku akan mengirimkannya ke meja layanan. Kembalilah."

Di usiaku yang sekarang, aku memang membutuhkan seorang seperti Debby, gadis kecil yang lembut dan perhatian, yang memujaku dan melekat padaku.

Sikap jujurnya malam ini sangat memuaskan hatiku yang kosong.

Jika bukan karena panggilan telepon ini, aku pasti sudah kehilangan kendali.

Istriku memiliki temperamen yang sangat buruk, tetapi dia tidak melakukan sesuatu yang salah kepadaku. Jadi, aku tidak boleh melakukan hal yang tidak pantas.

"Kak!" Debby menggigit bibirnya dengan enggan.

Sikapku sangat tegas.

"Apa karena Geani?"

Matanya merah, dia sedih dan sangat hati-hati. Sikapnya ini membuatku merasa tertekan dan hampir menyalakan kembali kobaran api dalam diriku.

Saat aku mengangguk, Debby tiba-tiba menjadi marah. "Apa menurutmu Geani benar-benar masih istrimu yang baik?"

"Apa maksudmu?"

"Apa dia sering bekerja lembur akhir-akhir ini? Dia pulang saat malam, mandi lalu tidur."

"Kak! Pekerjaan yang dia lakukan itu, kalaupun mengharuskannya lembur sampai dua hari, nggak mungkin dia kelelahan sampai mempengaruhi bagian itu."

Saat Debby mengingatkanku, aku tiba-tiba teringat bahwa Geani tidak pernah lembur dalam satu tahun. Belakangan, dia lembur hingga dua kali dalam seminggu.

Dulu, dia selalu mengantuk setelah bekerja lembur, tetapi belakangan ....

Jari-jari kakinya yang lelah terlalu malas untuk digerakkan, seolah-olah tenaganya telah diperas hingga kering.

Aku memasang wajah cemberut dan ingin bertanya lagi, tetapi Debby menolak untuk mengatakan apa pun.

"Kak, aku yakin cepat atau lambat kamu akan tahu sisi baik dalam diriku. Aku akan menunggumu." Sebelum pergi, dia menatapku dengan penuh kasih.

Aku melihat malam tanpa ujung di luar, merasa sangat kesal dan ingin merokok, tetapi aku tidak punya rokok.

Untung saja perawat yang bertugas sedang tertidur, jadi aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap keluar.

Aku mulai merokok dan otakku makin jernih. Perkataan Debby masih melekat di benakku.

Kantor Geani tidak jauh dari sini. Aku mematikan puntung rokokku dan naik taksi menuju ke sana.

Sesampainya di tempat itu, aku bisa menemukan ruang kantor Geani yang sudah sangat aku kenal.

Tidak ada seorang pun di ruang tunggu, tetapi terdengar suara air. Geani pasti sedang mandi.

Saat aku makin dekat, samar-samar aku mendengar suara terengah-engah yang hanya muncul karena melakukan hal semacam itu.

Sial! Ternyata Geani mengkhianatiku?

Aku secara tidak sadar ingin segera masuk.

Saat ini, pintu kamar mandi terbuka, hanya Geani yang ada di dalam.

Geani tampak terkejut saat melihatku. "Kenapa kamu ada di sini?"

Dia terlihat tenang, tetapi aku tidak tahu harus berbuat apa?

"Julian, ada apa dengan sikapmu ini?" Geani marah. "Kamu curiga aku selingkuh? Jadi kamu ingin memeriksaku di tengah malam?"

"Aku sudah menikah denganmu selama lima belas tahun dan kita punya dua anak. Sekarang, kamu benar-benar meragukanku?"

Aku tahu aku salah dan wajahku memerah, tetapi aku tidak mengakuinya.

"Sayang, mikirin apa, sih?" Aku memeluknya dan menciumnya dengan keras. "Barusan aku jadi kangen sehabis kamu telepon, jadi aku datang buat ketemu kamu."

"Cih!"

Geani mendengkus, jelas tidak percaya dengan perkataannya. Namun, sikapnya tidak sedingin sebelumnya.

Aku terus berusaha dan berbisik di telinganya, "Dokter sudah memeriksaku malam ini. Katanya kalau aku melakukannya dengan pelan, itu nggak masalah."

Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik, tetapi karena aku sudah berbuat salah pada istriku, jadi aku harus mengorbankan diriku sendiri.

Aku dirawat di rumah sakit selama tujuh hari, dia pasti menginginkan hal yang sama.

"Sayang." Aku mencium daun telinganya, tetapi didorong menjauh pada detik berikutnya.

"Jangan kira aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan." Mata Geani memerah, air mata mengalir di matanya. "Julian, kamu sangat mengecewakanku."

Jantungku berdetak kencang dan aku sangat menyesalinya.

Debby menyukaiku, jadi wajar jika dia mengatakan hal buruk tentang istriku. Namun, bagaimana aku bisa mempercayainya begitu saja?

Terkadang, gairah Geani memang cukup besar, tetapi itu hanya berlaku untukku saja.

Aku mengejarnya ke tempat tidur dan membujuknya lama sebelum dia memberi izin.

Setelah tidur sampai jam tiga pagi, tiba-tiba aku terbangun dan suara air di kamar mandi kembali terdengar.

Bukankah Geani barusan habis mandi, kenapa dia mandi lagi ....

Dengan pengalamanku sebelumnya, aku tidak berani bertindak gegabah, jadi aku hanya bisa menunggu di depan pintu.

Setelah sekitar sepuluh menit, Geani keluar.

Matanya bening dan pipinya merah. Dia seperti bunga mawar yang habis dilembapkan, penuh dan jernih.

"Sial, lihatin apa?" Geani memutar matanya ke arahku, jelas dalam suasana hati yang baik.

Namun, aku tidak bisa tertawa lagi.

Karena ketika dia menoleh ke samping, aku melihat bercak merah di lehernya. Seorang pria mana pun akan tahu apa yang terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status