"Paman minta tolong sama aku." Aku menundukkan kepala, lalu melanjutkan dengan pelan, "Aku juga ingin kamu kembali ke rumah.""Kenapa?""Aku ...." Aku meremas ujung bajuku dan mencoba menyusun kata-kata. "Paman sudah sangat lemah, kesehatannya semakin buruk. Kamu anaknya satu-satunya. Aku pikir, sebaiknya kamu kembali untuk tinggal bersamanya.""Kalau kamu mau dengar saranku, mungkin aku akan mempertimbangkannya," kata Aiden tanpa berpikir panjang.Aku menatapnya dengan kaget. Di tengah asap rokok yang memenuhi ruangan mobil, ekspresinya sulit terbaca.Namun, yang sakit adalah Raffi dan bagiku, Aiden menggunakan situasi ini untuk bernegosiasi terkesan sangat kekanak-kanakan. "Kamu sebegitu enggannya untuk pulang ke rumah Keluarga Faslim?" Aiden melempar puntung rokoknya keluar jendela, suaranya terdengar sangat lembut.Aku menundukkan kepala lebih dalam. "Bukan karena nggak mau, tapi ... aku memang nggak pantas ada di sana."Mataku mulai terasa panas, suaraku serak hingga aku memilih
Tiba-tiba, aku merasa orang seperti Mikael jauh lebih menakutkan dibandingkan Aiden."Kalau nggak bisa, gimana kalau kita lapor polisi saja?" Wajah Evelyn agak pucat. "Ini 'kan seperti penguntit. Menakutkan sekali."Aku menenangkan diri untuk berpikir beberapa saat. Kemudian, aku menolak saran Evelyn. "Nggak usah deh. Kejahatan Mikael paling-paling cuma bisa buat dia dipenjara setengah bulan.""Terus, gimana?" Evelyn hampir menangis karena cemas."Musuh ada di kegelapan, kita nggak bisa melihatnya. Kita cuma bisa hadapi dengan berani," kataku sambil menggertakkan gigi. "Kita hadapi semua dengan tenang. Daripada menunggu mati, lebih baik kita mengambil tindakan."Keesokan paginya, pelanggan pertama yang datang ke kafe adalah orang yang paling tidak ingin kutemui. Mikael membawa sarapan di tangannya sambil tersenyum menghampiriku."Inez, maafin aku soal kejadian kemarin. Aku ... aku cuma datang untuk minta maaf hari ini."Aku memegang kain lap. Tanpa mengangkat kepala, aku menyahut, "Per
"Datang." Aku melepaskan jaket dan teringat pada ekspresi Mikael. Seketika, aku merasa jijik."Apa yang dia bilang?" Evelyn si tukang makan, berhenti sejenak dan tampak penuh penantian."Jarang ada yang bisa membuatmu lupa makan." Aku tertawa kecil.Mendengar ucapanku, Evelyn langsung menoleh dan mengangkat piringnya. Sambil makan, dia menatapku dan mendesak, "Cepat cerita, aku sudah nggak sabar!""Dia minta maaf." Aku mengganti piama. "Dia bilang dia berharap aku memaafkannya.""Kamu memaafkannya?" Evelyn terlihat sangat terkejut, suaranya tiba-tiba melambung tinggi."Nggak dong." Aku menghela napas dengan tidak berdaya. "Tapi, Mikael nggak mungkin mengundurkan diri dan kami akan bertemu setiap hari. Jadi, aku nggak bisa menganggapnya musuh."Saat ini, ponselku berbunyi. Aku melihat layar dan ternyata adalah nomor yang tidak dikenal. Setelah mengernyit, aku akhirnya menekan tombol terima."Halo.""Inez, ini aku." Suara Rowan terdengar di ujung telepon. Aku hampir mengakhiri panggilan.
Aku hanya bisa memutar bola mata dengan kesal. Tiga orang yang paling tidak kusukai akhirnya berkumpul juga hari ini."Inez, aku ...." Suara Venus terdengar terisak-isak dan sedih. "Aku yang menyuruh Rowan telepon kamu."Baiklah. Setelah ini, aku akan memasukkan nomor ini ke daftar nomor penipuan dan memblokirnya."Inez, aku ... aku khilaf, aku sudah salah. Aku mengajakmu makan untuk minta maaf. Kuharap kamu bisa maafin aku." Suara Venus tetap dipenuhi tangisan.Kebetulan, aku paling tidak suka ada orang yang berbicara dengan nada menangis. Orang seperti ini tidak ada bedanya dengan orang gila di mataku. Berpura-pura lemah dan menyedihkan adalah cara untuk memaksa orang lain menjadi lebih kuat, melindunginya, atau memaafkannya. Bukankah ini mirip dengan pemaksaan?"Nggak perlu." Suaraku dingin. "Aku nggak akan bahas apa saja yang sudah kamu lakukan. Tapi, tolong kamu dan Rowan, jangan pernah muncul lagi dalam hidupku. Setidaknya, jangan muncul di hadapanku."Setelah itu, aku menutup te
Evelyn mengerlingkan matanya. "Inez, aku benar-benar ampun melihatmu. Aiden setidaknya termasuk kakakmu. Apa kamu bisa jangan mengecewakan seperti ini? Kamu bisa lebih peduli padanya sedikit nggak?"Aku menghela napas panjang, menatap Evelyn dengan lelah. "Terus, sekarang harus gimana?""Telepon dia."Aku tidak bergerak. Aku benar-benar enggan menelepon Aiden, terutama mengingat percakapan yang terjadi di mobil beberapa hari lalu.Evelyn tiba-tiba meneruskan, "Jam tangan ini 2 miliaran lho. Kalau sampai kamu buat hilang ...."Aku segera mengeluarkan ponsel. Panggilan tersambung dengan cepat. Aku menarik napas dalam-dalam dan langsung menyelesaikan apa yang harus kukatakan.Di ujung telepon, Aiden pertama-tama terdiam, lalu akhirnya berkata dengan lembut, "Aku harus menghadiri rapat di luar kota. Aku belum ada waktu untuk sekarang, jadi kamu simpan dulu ya."Aku mengernyit. "Begini, Aiden ... jam tangan ini terlalu mahal buatku. Kalau sampai hilang, aku mungkin tidak bisa menggantinya."
"Inez, aku nggak seharusnya balik ke negara ini. Beri Rowan kesempatan ya?"Aku menghela napas panjang. Meskipun dia agak gila, tidak masalah. Aku akan menjelaskan dengan sabar padanya. Siapa suruh aku orang yang baik hati?"Dengar, masalah antara aku dan Rowan nggak ada hubungannya denganmu. Masalahnya adalah Rowan menipuku, mempermainkanku selama bertahun-tahun. Itu nggak ada kaitannya dengan kehadiranmu. Tentu saja, masalahku denganmu juga nggak ada hubungannya dengan Rowan.""Apa masalahnya?" Venus menatapku.Aku mengangkat alis sedikit. "Kupikir kamu datang hari ini untuk minta maaf soal Mikael."Mungkin menyadari rahasianya terbongkar, Venus segera memasang ekspresi tak berdosa. "Inez, aku benaran datang cuma untuk minta maaf.”"Sudahlah," jawabku yang malas melanjutkan percakapan. "Aku nggak mau berakting denganmu. Ini namanya taktik mundur untuk maju."Venus menatapku dengan mata terbelalak dan tak percaya."Kamu mau aku berdamai dengan Rowan untuk menstabilkan posisimu. Lalu,
Orang-orang di sekitar terus mengkritik Venus. Venus tentu tidak tahan. Dia membawa barang-barangnya dan pergi dengan murung.Setelah berjalan beberapa langkah, Venus tiba-tiba berhenti. Di wajahnya, tampak ekspresi seorang pemenang. Dia mendekat dan berbisik, "Inez, apa kamu sudah terbiasa dengan Rowan yang selalu mengutamakanmu?"Aku mengerutkan alis. "Aku sudah bilang sebelumnya, aku harap Rowan dan kamu nggak muncul lagi di hadapanku. Selain itu, terserah Rowan mau mengutamakan siapa. Itu bukan urusanku."Benar-benar orang gila yang tidak bisa diajak bicara.Setelah Venus pergi, aku berangkat ke kafe. Begitu sampai, aku menerima pesan. Ternyata dari Rowan!"Benar-benar nggak ada habisnya," gumamku pelan.[ Inez, aku benar-benar sudah melepaskan Venus. Aku nggak akan berhubungan dengannya lagi. Aku cuma berharap kamu bisa maafin aku. ]Begitu membaca pesan itu, aku langsung memblokir nomor itu. Tidak disangka, malam itu setelah selesai bekerja, Rowan muncul di depan kafe."Inez." Ro
"Kenapa kamu terburu-buru sekali mencari pekerjaan?" tanya Evelyn sambil menyodorkan roti kepadaku.Aku menerimanya dengan perasaan campur aduk. "Aku cepat-cepat cari kerja supaya bisa membawa ibuku keluar dari rumah Keluarga Faslim."Sebenarnya Keluarga Faslim tidak memperlakukan ibuku dengan buruk, tetapi aku merasa ibuku tidak nyaman di sana.Evelyn tidak banyak bicara. Dia memang seperti ini. Selama itu adalah urusan pribadiku dan aku tidak berinisiatif mengungkapkannya, dia tidak akan bertanya.Aku menggigit roti itu, sementara Evelyn menghela napas. "Lingkungan kerja sekarang kurang ideal. Cari kerja juga nggak mudah. Inez, jangan terlalu menekan diri sendiri."Aku mengangguk. Sebenarnya aku masih punya uang. Venus sudah membayar utang 300 juta Rowan kepadaku. Namun, itu tidak cukup jika aku ingin membawa ibuku.Ketika aku sedang merenung, ponselku tiba-tiba berdering. Aiden yang meneleponku. Dia seharusnya ingin mengambil jam tangannya kembali. Aku pun mengangkat telepon. "Besok
“Dasar berengsek!” Regan melangkah maju, lalu menampar Jonathan. “Sudah aku bilang berapa kali, ubah sikap hidung belangmu!”“Aku ….” Jonathan mengangkat kelopak matanya untuk menatapku. “Aku juga nggak tahu kalau dia itu adiknya Pak Aiden. Kalau Pak Aiden menikahi kakak, gimana kalau aku menikah dengan Bu Inez saja?”Ucapan yang dilontarkan Jonathan sangat mengejutkan. Hal itu membuat orang merasa benar-benar tidak berdaya, seakan-akan ingin menghajarnya. Namun, ketika kepikiran menghajarnya malah hanya akan berujung pada masalah hukum, semua orang pun mengurungkan niatnya untuk memukulnya.“Nggak boleh!” Empat suara terdengar serempak.“Kamu kira kamu siapa? Malah ingin menikahi adiknya Pak Aiden? Apa kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu?” Kening Regan berkerut.“Jonathan, bisa nggak kamu berpikir dulu sebelum bicara?” Risca sungguh kehabisan kata-kata.“Inez memang bukan adik kandungku, tapi aku sangat menjaganya.” Tiba-tiba Aiden mendekatiku. “Aku berharap dia bisa bersama orang y
“Siapa yang membuat cewek cantik bersedih?”Aku menoleh. Ketika melihat orang yang berjalan kemari, tiba-tiba aku merasa hidupku semakin terpuruk lagi.Malah ada Jonathan di sini, dia bagai seekor burung merak yang sedang mengepakkan sayapnya saja. Dia melangkah maju dengan penuh percaya diri, lalu berhenti di hadapanku. “Kenapa cewek secantik kamu malah bersedih?”Aku menatap gerakan mesum Jonathan dengan risi, tapi dia spontan tersenyum.Sepertinya pembagian gen ketiga anak Keluarga Kusnadi tidak merata. Risca pandai bersosialisasi, cerdas, dan cekatan. Bahkan Andre yang selalu diremehkan oleh mereka berdua, sebenarnya juga cukup cerdik. Satu-satunya yang berbeda itu adalah Jonathan, dia tidak ada bedanya dengan orang bodoh.Anthony mendekatiku dan mengulurkan tangannya berniat menyentuh wajahku. Aku segera menghindar ke belakang. Tatapanku penuh dengan rasa jijik. “Pak Anthony, tolong jaga sikapmu.”Jonathan gagal menyentuhku. Dia menatap tangannya yang berhenti di udara dengan terk
“Tentu saja.” Regan berkata dengan santai, “Keluarga Kusnadi sudah lama berkecimpung di dunia bisnis dan berhasil menjadi yang terdepan di industri ini berkat kekuatan kami. Aku tahu selama ini Pak Aiden selalu membeli bahan langka dari Negara Arkava dengan harga tinggi. Tapi kebetulan sekali, Grup Kusnadi juga memiliki material itu.”Darren yang duduk di sebelahku tiba-tiba tertawa kecil dengan nada mengejek. “Omong kosong!”“Kenapa?” Aku baru saja memasuki Grup Faslim, masih belum berhubungan soal suplai bahan.“Material langka yang kita beli memang hanya dimiliki Negara Arkava. Material-material ini justru dibutuhkan dalam riset kami. Oleh karena itu, setiap tahun kami harus membeli bahan baku senilai ratusan miliar dari Negara Arkava.”“Sebanyak itu?” Aku merasa syok.“Sudah tergolong sedikit.” Darren menurunkan kelopak matanya. “Orang-orang Negara Arkava itu benar-benar nggak punya prinsip dalam berbisnis. Mereka sering ingkar janji. Harga yang mereka berikan kepada kita bahkan 10
Aiden menjadi bintang utama dalam perjamuan malam ini. Regan terus menyanjungnya. Dia bertanya soal bisnis Aiden, lalu bertanya soal kehidupan pribadi Aiden. Hanya saja, tidak sekali pun dia mengungkit soal kerja sama.Aku dan Darren duduk di ujung, di area yang tidak diperhatikan orang-orang. Semuanya sungguh sesuai dengan harapanku. “Pak Aiden, kamu juga sudah nggak muda lagi. Apa kamu sudah punya kekasih?” tanya Regan secara tiba-tiba.Aku langsung menghentikan gerakan tanganku yang sedang mengambil makanan. Aku ingin mendengar jawaban Aiden.Namun setelah menunggu beberapa saat, aku tidak dapat mendengar suara Aiden. Aku spontan mengangkat kepalaku ingin melihat ekspresinya.Siapa sangka, saat aku mengangkat kepalaku, kebetulan tatapanku berpapasan dengan tatapan Aiden. Pada saat itu, aku langsung menundukkan kepalaku. Pikiranku sangat kacau. Kenapa Aiden melihatku?Terlintas lagi masalah itu di benakku. Aku segera mengambil sepotong daging dan mengunyahnya, berlagak tidak mengeta
“Ergh ….” Kali ini Darren tidak mengedipkan matanya lagi. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menekan mode speaker. “Pak Aiden, apa … kamu sudah mendengarnya?”“Emm.” Terdengar suara tawa Aiden dari ujung telepon. “Nggak usah nyanyi ataupun nari, dia terlalu kaku. Nggak enak untuk dipandang.”Aku ….Aiden memang pintar dalam menyindir. Selalu saja bisa menusuk hatiku. Mulutnya memang berbisa sekali.“Nggak usah siapin apa-apa. Cukup datang menjemputku saja.” Setelah panggilan diakhiri, aku langsung melihat ke pria kurang ajar itu. “Darren!”Darren melepaskan headset bluetooth-nya, lalu segera melangkah mundur. “Semua ini bukan salahku. Aku sudah beri isyarat kepadamu. Kamu sendiri yang nggak tangkap.”Pada jam 7 esok pagi, aku sudah mempersiapkan diri untuk muncul di bandara Kota Manthana. Aku datang menjemput bosku dengan tidak puas.Aiden menggerek koper berwarna hitam, lalu melangkah kemari dengan santai.Ketika Aiden melewati sisiku, dia melepaskan kacamata hitamnya, lalu berkata, “S
Tatapanku tertuju pada diri Andre. Aku sedang berusaha mencari tahu bagaimana Andre yang sebenarnya.Mungkin tatapanku terlalu kelihatan. Tiba-tiba Andre menyembunyikan ekspresi percaya dirinya, melainkan menatapku dengan mencemberutkan wajahnya. “Inez, jangan-jangan … kamu merasa aku sangat menyeramkan?”“Kenapa?” Aku sungguh kaget dengan pemikiran Andre.“Emm ….” Andre bagai seorang pria yang sangat pemalu. Dia menggaruk kepalanya. “Kamu merasa aku itu bermuka 2.”Aku melihat sendiri bagaimana sosok Andre ditindas waktu itu. Jadi, aku pun merasa salut terhadap Andre.“Bagaimana mungkin?” Aku tersenyum tipis. “Aku hanya akan merasa kamu sangat pemberani.”Aku mengatakan dengan tulus, tetapi sepertinya Andre masih tidak percaya. Dia bertanya lagi, “Benarkah? Apa benar kamu merasa seperti itu? Inez, pemikiranmu sangat penting bagiku.”Lantaran sikap Andre terlalu ramah, aku pun merasa agak bingung. “Kenapa?”“Karena ….” Andre tersenyum dengan canggung. “Aku menganggapmu sebagai teman te
Senyuman di wajah Regan tidak kelihatan lagi. Dia menurunkan kelopak matanya. Setelah berpikir beberapa saat, dia mengangkat kepalanya untuk menatap kami. “Kalau begitu, aku terus terang saja sama kalian. Masalah ini masih bisa didiskusikan, tapi aku nggak ingin diskusi sama kalian. Kalau Pak Aiden bisa datang langsung ke sini dan aku bisa melihat ketulusan hati kalian, bisa jadi transaksi ini bisa dilanjutkan.”Sejak keluar dari ruangan Regan, suasana hatiku dan Darren terasa penat.“Untung saja ada kamu yang bertanya secara langsung, barulah kita tahu apa yang dia inginkan. Sebelumnya aku pernah berbicara beberapa kali dengan Pak Regan, tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku juga nggak tahu bagaimana menghadapinya lagi.”Ini pertama kalinya aku merasa kegagalan dalam pekerjaanku. Suasana hatiku juga tidak bagus. “Si Regan ini memang licik sekali.”“Semuanya juga tahu, tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?” Darren menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada bercanda, “Kalau
Kedua mataku berkilauan. “Benarkah?”“Tentu saja benar.” Nada bicara Evelyn terdengar arogan. “Ibuku terus suruh aku pulang untuk mengunjunginya.”Saat penerbangan ke Kota Manthana, Darren menjelaskan secara ringkas mengenai kondisi di sana.“Sekarang satu-satunya yang bisa menyuplai bahan baku polimer yang kita butuhkan adalah Grup Kusnadi. Pemilik Grup Kusnadi, Regan Kusnadi, adalah target utama kunjungan kita kali ini.”Keluarga Kusnadi di Kota Manthana? Hatiku langsung berdebar. Tidakkah semuanya terlalu kebetulan?“Apa alasan rekan kerja sebelumnya nggak berhasil mendapatkan orderan?” tanya aku dengan nada menguji.“Kondisi agak rumit.” Darren mengerutkan sedikit keningnya. “Mengenai detailnya, aku juga belum mengatakannya dengan jelas, tapi ada yang bisa aku pastikan, Pak Regan sengaja persulit kita.”“Kenapa?” Aku merasa syok. “Bukannya kalau harganya cocok, transaksi bisa dijalankan?”“Dunia bisnis nggak segampang yang kamu kira.” Darren menghela napas. “Bahan baku polimer kita
“Kamu ….” Aku menatap ekspresi dingin di wajah Aiden. Tiba-tiba hatiku terasa penat. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku, hanya saja aku malah ingin menangis.Aku membalikkan tubuhku berjalan meninggalkan ruangan Aiden. Aku berdiri di depan pintu sembari menarik napas dalam-dalam. Kemudian, aku melihat sekilas pintu ruangan yang sudah tertutup rapat.“Dasar manusia nggak punya hati!” sindir aku dengan nada sinis.Setelah kembali ke ruang kerjaku, suasana hatiku masih terasa tidak bagus. Hanya saja, rekan kerjaku malah kelihatan sangat bersemangat. “Astaga! Coba kalian lihat ada berita heboh apa hari ini!”“Apa?” Leila bagai takut ketinggalan berita saja, langsung berdiri di tempat.“Grup Canata bangkrut!”“Apa?” Kali ini, aku tidak bisa bersikap tenang lagi. Aku segera berjalan ke belakang Ariana, lalu menatap ke layar komputernya.“Grup Canata terungkap menjual produk nggak memenuhi standar. Selain itu, Lucas dari Grup Canata, membangun bisnisnya dengan dukungan istrinya. Sekara