Air mata mulai menggenang di mata ibuku. "Tentang apa yang terjadi dulu ... aku juga bersalah. Aku tinggal di sini ... karena ingin menebus kesalahanku."Aku tidak tahu harus berkata apa."Ibu." Aku meninggikan suaraku. "Kenapa harus repot-repot begini? Ada nggak sih orang di Keluarga Faslim yang peduli sama kamu?""Pamanmu sebenarnya cukup baik padaku. Kak Martha dan yang lainnya juga baik." Air mata ibuku akhirnya jatuh. "Inez, kamu dan ... Aiden masih sama seperti dulu?"Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu perlahan-lahan membuka mataku. Aku tidak sanggup mengkritik ibuku. Aku tahu hidupnya di Keluarga Faslim bukan sebagai seorang istri yang dimanjakan, tetapi aku juga tak bisa memahaminya."Aiden dan aku bukan keluarga." Aku bangkit. "Ibu, jaga dirimu."Aku berbalik dan hendak pergi."Inez," panggil ibuku tiba-tiba."Kalau ada waktu, datang lagi ya." Matanya merah. "Bagaimanapun, kita ini keluarga."Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya diam dan keluar dari kama
Dari ucapan Raffi, sepertinya alasan Aiden pindah dan tidak pulang karena aku tidak pulang?Namun, bagaimana bisa seperti itu? Saat kecil, Aiden berkali-kali mengatakan bahwa dia tidak suka padaku, tidak suka aku menjadi adik perempuannya.Aku perlahan-lahan menunduk. "Paman, mungkin kamu salah paham. Aiden ... Aiden nggak terlalu dekat denganku. Dia nggak mungkin dengar omonganku."Raffi tidak menyerah. "Coba saja, aku cuma mau kamu coba. Walau dia nggak pulang, aku tahu ini nggak ada hubungannya sama kamu."Aku mengerutkan alisku dan hendak menolak dengan serius. Namun, saat mendongak dan menatap Raffi, aku tiba-tiba ragu.Raffi yang dulu selalu tampak bijak, kompeten, dan rambutnya selalu tertata rapi, kini sudah tampak lebih tua.Rambut di pelipisnya sudah beruban, matanya tampak keruh serta dipenuhi harapan dan keinginan. Di depanku sekarang bukan lagi Raffi yang ada di dunia bisnis, melainkan seorang pria yang berharap anaknya pulang ke rumah.Kata-kata yang hampir keluar dari mu
"Kamu masih berani tanya aku?" Tanpa disangka, alis Aiden semakin berkerut. Tatapannya terlihat dipenuhi keluhan saat menatapku. "Kenapa kamu sendiri nggak pulang? Ibumu juga sangat cemas padamu."Hatiku tersentak, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu dipikirkan lagi. "Aku nggak pulang karena aku bukan anak Keluarga Faslim, tempat itu bukan rumahku."Di dalam mobil, suasana menjadi hening kembali. Ketika mobil tiba di depan gerbang kampus, aku membuka sabuk pengaman dan berniat untuk turun. Namun, Aiden tiba-tiba memanggilku."Kalau kamu merasa masalahnya hanya soal marga, kamu boleh ganti margamu jadi Faslim." Nada bicara Aiden sangat serius, tidak ada gurauan sedikit pun.Aku menoleh sekilas ke arahnya tanpa berkata apa-apa. Kemudian, aku hanya membawa barang-barangku dan pergi.Aiden sepertinya semakin bodoh saja. Apakah ini hanya masalah marga? Kalau dia sebodoh itu, mungkin perusahaannya akan segera bangkrut.Sambil terus mengeluh tentang Aiden dalam hati, aku membuka pintu asram
Aku benar-benar tidak mengerti dengan tingkah aneh Aiden belakangan ini.Aiden ... belakangan ini memang terasa agak aneh. Setelah aku benar-benar putus dengan Rowan, dia tiba-tiba muncul untuk mentertawakanku dan menyuruhku memperbaiki jam tangannya, seolah-olah ingin mempermainkanku. Kemudian, di depan banyak orang dia menyebutku sebagai putri Keluarga Faslim.Yang lebih membingungkan adalah ucapan-ucapannya saat mengantarku pulang kemarin.Mengingat keanehan Aiden, aku merasa merinding. Namun, Evelyn masih menungguku memberikan penjelasan mengapa Aiden bertingkah seperti itu."Mungkin dia ...." Setelah berpikir lama, aku akhirnya mengutarakan dugaanku. "Mungkin kepalanya pernah terjepit pintu, jadi agak nggak normal.""Apa?" Evelyn menatapku dengan ekspresi terkejut."Maksudku, mungkin Aiden belakangan ini sedang agak nggak waras. Kalau nanti dia sudah sadar, semuanya akan kembali normal."Aiden mungkin sangat membenciku. Keanehannya selama beberapa hari terakhir ini, menurutku, han
Tanpa perlu berbalik sekalipun, aku tahu suara itu milik si pria berengsek Rowan. Aku perlahan menghentikan langkahku dan berbalik menatapnya."Inez, kamu masih cinta aku, 'kan?" Melihatku berhenti, Rowan segera berjalan mendekat dengan mata yang penuh harapan. "Aku tahu kamu pasti nggak tega meninggalkanku.""Hmph!" Aku tertawa dingin. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?""Kamu ...." Rowan terlihat agak canggung, tetapi tetap berkata, "Kamu adalah putri Keluarga Faslim, tapi kamu tetap rela melakukan begitu banyak pekerjaan untukku, bahkan menyerahkan seluruh gajimu. Bukankah itu bukti bahwa kamu mencintaiku?""Oh ya, barang yang aku kirimkan kemarin, kamu nggak kembalikan. Kalau kamu menerima barang itu, bukankah artinya kamu mau balikan sama aku?"Aku benar-benar kehabisan kata-kata dengan kepercayaan diri dan logika tidak masuk akal dari Rowan."Uh ...." Evelyn tiba-tiba menyela dan menyelipkan kepalanya di antara kami. "Biar kujelaskan. Barang yang kamu kirim kemarin nggak langsu
"Baik, aku mengerti." Aku mengenakan celemekku. "Serahkan padaku. Kamu bisa pergi sekarang," kataku kepada Vonny.Vonny mengangguk dan pergi. Aku berjalan ke meja mereka dengan sikap profesional. "Ada yang ingin dipesan?""Rowan, bukankah itu Inez?" tanya salah satu teman Rowan dengan nada terkejut.Dari saat aku masuk, pandangan Rowan sudah berulang kali jatuh padaku. Hal itu membuatku merasa sangat kesal."Benar," jawab Rowan sambil mengambil menu dengan sikap angkuh. "Itu memang Inez."Mata teman-temannya dipenuhi ekspresi terkejut, bingung, dan penasaran."Pesan apa pun yang kalian mau, hari ini aku yang traktir," ujar Rowan dengan gaya arogan sambil menawarkan menu kepada mereka.Beberapa orang di antaranya sesekali melirikku sambil memesan minuman mereka dengan asal. Aku mencatat semua pesanan dengan tenang, lalu pergi ke dapur untuk mempersiapkannya.Aku bolak-balik mengantarkan minuman ke meja mereka, tapi tidak sekali pun aku berbicara dengan Rowan.Minuman terakhir adalah kop
"Rowan, apa kamu sebenarnya masih mikirin Inez? Itu sebabnya kamu sengaja datang ke kafe ini, berharap bisa ketemu dia secara kebetulan?""Nggak mungkin!" jawab Rowan dengan penuh keyakinan, meskipun ada sedikit nada canggung di dalamnya. "A ... aku tentu saja paling cinta sama Venus. Inez? Dia cuma seseorang yang kupermainkan."Aku tertawa dingin, tidak peduli dengan apa yang dia katakan, dan berbalik pergi.Ketika aku kembali setelah mengantarkan pesanan, aku melihat Venus sudah datang. Dia mengenakan gaun putih sederhana dan duduk di sebelah Rowan. Senyumnya lembut dan dia berbicara pelan kepada Rowan.Wajah Rowan yang sebelumnya muram karena marah padaku, kini berubah lebih ceria dengan kehadiran Venus."Rowan, itu ... Inez, bukan?" tanya Venus sambil memandangku, suaranya terdengar seperti terkejut. "Kenapa dia ada di sini?"Matanya menunjukkan kewaspadaan dan kecurigaan. Namun, aku mengabaikannya karena tidak tertarik untuk meladeninya.Jelas, dia sudah melihatku sejak aku masuk.
Saat aku berjalan keluar dari kafe, Rowan masih berteriak dari belakang, "Inez, berhenti!"Aku malas meladeni Rowan. Namun, dia mengejarku dengan marah dan dalam beberapa langkah, dia sudah mencengkeram lenganku. "Jelaskan apa maksudmu!"Aku tertawa dingin. "Apa yang perlu kujelaskan? Kamu nggak suka sama aku, kamu suka Venus. Aku ucapkan selamat, semoga kalian jadi pasangan bahagia. Pelacur dan bajingan, semoga langgeng selamanya."Aku tidak ingin buang-buang tenaga untuk berdebat dengan Rowan. Jadi, aku langsung membalikkan badan dan pergi. Dari belakang, Rowan masih berteriak, "Siapa yang kamu sebut bajingan? Bukan, siapa yang kamu sebut pelacur?"Setelah melampiaskan amarahku kepada pria berengsek dan perempuan manipulatif itu, aku kembali ke asrama dengan suasana hati yang sangat lega.Dengan kejadian hari ini, seharusnya Rowan tidak akan berani datang lagi. Akhirnya aku bisa menjalani hari-hari yang tenang dan damai. Aku sangat menikmati hari-hari tanpa gangguan seperti ini.Rowa
“Dasar berengsek!” Regan melangkah maju, lalu menampar Jonathan. “Sudah aku bilang berapa kali, ubah sikap hidung belangmu!”“Aku ….” Jonathan mengangkat kelopak matanya untuk menatapku. “Aku juga nggak tahu kalau dia itu adiknya Pak Aiden. Kalau Pak Aiden menikahi kakak, gimana kalau aku menikah dengan Bu Inez saja?”Ucapan yang dilontarkan Jonathan sangat mengejutkan. Hal itu membuat orang merasa benar-benar tidak berdaya, seakan-akan ingin menghajarnya. Namun, ketika kepikiran menghajarnya malah hanya akan berujung pada masalah hukum, semua orang pun mengurungkan niatnya untuk memukulnya.“Nggak boleh!” Empat suara terdengar serempak.“Kamu kira kamu siapa? Malah ingin menikahi adiknya Pak Aiden? Apa kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu?” Kening Regan berkerut.“Jonathan, bisa nggak kamu berpikir dulu sebelum bicara?” Risca sungguh kehabisan kata-kata.“Inez memang bukan adik kandungku, tapi aku sangat menjaganya.” Tiba-tiba Aiden mendekatiku. “Aku berharap dia bisa bersama orang y
“Siapa yang membuat cewek cantik bersedih?”Aku menoleh. Ketika melihat orang yang berjalan kemari, tiba-tiba aku merasa hidupku semakin terpuruk lagi.Malah ada Jonathan di sini, dia bagai seekor burung merak yang sedang mengepakkan sayapnya saja. Dia melangkah maju dengan penuh percaya diri, lalu berhenti di hadapanku. “Kenapa cewek secantik kamu malah bersedih?”Aku menatap gerakan mesum Jonathan dengan risi, tapi dia spontan tersenyum.Sepertinya pembagian gen ketiga anak Keluarga Kusnadi tidak merata. Risca pandai bersosialisasi, cerdas, dan cekatan. Bahkan Andre yang selalu diremehkan oleh mereka berdua, sebenarnya juga cukup cerdik. Satu-satunya yang berbeda itu adalah Jonathan, dia tidak ada bedanya dengan orang bodoh.Anthony mendekatiku dan mengulurkan tangannya berniat menyentuh wajahku. Aku segera menghindar ke belakang. Tatapanku penuh dengan rasa jijik. “Pak Anthony, tolong jaga sikapmu.”Jonathan gagal menyentuhku. Dia menatap tangannya yang berhenti di udara dengan terk
“Tentu saja.” Regan berkata dengan santai, “Keluarga Kusnadi sudah lama berkecimpung di dunia bisnis dan berhasil menjadi yang terdepan di industri ini berkat kekuatan kami. Aku tahu selama ini Pak Aiden selalu membeli bahan langka dari Negara Arkava dengan harga tinggi. Tapi kebetulan sekali, Grup Kusnadi juga memiliki material itu.”Darren yang duduk di sebelahku tiba-tiba tertawa kecil dengan nada mengejek. “Omong kosong!”“Kenapa?” Aku baru saja memasuki Grup Faslim, masih belum berhubungan soal suplai bahan.“Material langka yang kita beli memang hanya dimiliki Negara Arkava. Material-material ini justru dibutuhkan dalam riset kami. Oleh karena itu, setiap tahun kami harus membeli bahan baku senilai ratusan miliar dari Negara Arkava.”“Sebanyak itu?” Aku merasa syok.“Sudah tergolong sedikit.” Darren menurunkan kelopak matanya. “Orang-orang Negara Arkava itu benar-benar nggak punya prinsip dalam berbisnis. Mereka sering ingkar janji. Harga yang mereka berikan kepada kita bahkan 10
Aiden menjadi bintang utama dalam perjamuan malam ini. Regan terus menyanjungnya. Dia bertanya soal bisnis Aiden, lalu bertanya soal kehidupan pribadi Aiden. Hanya saja, tidak sekali pun dia mengungkit soal kerja sama.Aku dan Darren duduk di ujung, di area yang tidak diperhatikan orang-orang. Semuanya sungguh sesuai dengan harapanku. “Pak Aiden, kamu juga sudah nggak muda lagi. Apa kamu sudah punya kekasih?” tanya Regan secara tiba-tiba.Aku langsung menghentikan gerakan tanganku yang sedang mengambil makanan. Aku ingin mendengar jawaban Aiden.Namun setelah menunggu beberapa saat, aku tidak dapat mendengar suara Aiden. Aku spontan mengangkat kepalaku ingin melihat ekspresinya.Siapa sangka, saat aku mengangkat kepalaku, kebetulan tatapanku berpapasan dengan tatapan Aiden. Pada saat itu, aku langsung menundukkan kepalaku. Pikiranku sangat kacau. Kenapa Aiden melihatku?Terlintas lagi masalah itu di benakku. Aku segera mengambil sepotong daging dan mengunyahnya, berlagak tidak mengeta
“Ergh ….” Kali ini Darren tidak mengedipkan matanya lagi. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menekan mode speaker. “Pak Aiden, apa … kamu sudah mendengarnya?”“Emm.” Terdengar suara tawa Aiden dari ujung telepon. “Nggak usah nyanyi ataupun nari, dia terlalu kaku. Nggak enak untuk dipandang.”Aku ….Aiden memang pintar dalam menyindir. Selalu saja bisa menusuk hatiku. Mulutnya memang berbisa sekali.“Nggak usah siapin apa-apa. Cukup datang menjemputku saja.” Setelah panggilan diakhiri, aku langsung melihat ke pria kurang ajar itu. “Darren!”Darren melepaskan headset bluetooth-nya, lalu segera melangkah mundur. “Semua ini bukan salahku. Aku sudah beri isyarat kepadamu. Kamu sendiri yang nggak tangkap.”Pada jam 7 esok pagi, aku sudah mempersiapkan diri untuk muncul di bandara Kota Manthana. Aku datang menjemput bosku dengan tidak puas.Aiden menggerek koper berwarna hitam, lalu melangkah kemari dengan santai.Ketika Aiden melewati sisiku, dia melepaskan kacamata hitamnya, lalu berkata, “S
Tatapanku tertuju pada diri Andre. Aku sedang berusaha mencari tahu bagaimana Andre yang sebenarnya.Mungkin tatapanku terlalu kelihatan. Tiba-tiba Andre menyembunyikan ekspresi percaya dirinya, melainkan menatapku dengan mencemberutkan wajahnya. “Inez, jangan-jangan … kamu merasa aku sangat menyeramkan?”“Kenapa?” Aku sungguh kaget dengan pemikiran Andre.“Emm ….” Andre bagai seorang pria yang sangat pemalu. Dia menggaruk kepalanya. “Kamu merasa aku itu bermuka 2.”Aku melihat sendiri bagaimana sosok Andre ditindas waktu itu. Jadi, aku pun merasa salut terhadap Andre.“Bagaimana mungkin?” Aku tersenyum tipis. “Aku hanya akan merasa kamu sangat pemberani.”Aku mengatakan dengan tulus, tetapi sepertinya Andre masih tidak percaya. Dia bertanya lagi, “Benarkah? Apa benar kamu merasa seperti itu? Inez, pemikiranmu sangat penting bagiku.”Lantaran sikap Andre terlalu ramah, aku pun merasa agak bingung. “Kenapa?”“Karena ….” Andre tersenyum dengan canggung. “Aku menganggapmu sebagai teman te
Senyuman di wajah Regan tidak kelihatan lagi. Dia menurunkan kelopak matanya. Setelah berpikir beberapa saat, dia mengangkat kepalanya untuk menatap kami. “Kalau begitu, aku terus terang saja sama kalian. Masalah ini masih bisa didiskusikan, tapi aku nggak ingin diskusi sama kalian. Kalau Pak Aiden bisa datang langsung ke sini dan aku bisa melihat ketulusan hati kalian, bisa jadi transaksi ini bisa dilanjutkan.”Sejak keluar dari ruangan Regan, suasana hatiku dan Darren terasa penat.“Untung saja ada kamu yang bertanya secara langsung, barulah kita tahu apa yang dia inginkan. Sebelumnya aku pernah berbicara beberapa kali dengan Pak Regan, tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku juga nggak tahu bagaimana menghadapinya lagi.”Ini pertama kalinya aku merasa kegagalan dalam pekerjaanku. Suasana hatiku juga tidak bagus. “Si Regan ini memang licik sekali.”“Semuanya juga tahu, tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?” Darren menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada bercanda, “Kalau
Kedua mataku berkilauan. “Benarkah?”“Tentu saja benar.” Nada bicara Evelyn terdengar arogan. “Ibuku terus suruh aku pulang untuk mengunjunginya.”Saat penerbangan ke Kota Manthana, Darren menjelaskan secara ringkas mengenai kondisi di sana.“Sekarang satu-satunya yang bisa menyuplai bahan baku polimer yang kita butuhkan adalah Grup Kusnadi. Pemilik Grup Kusnadi, Regan Kusnadi, adalah target utama kunjungan kita kali ini.”Keluarga Kusnadi di Kota Manthana? Hatiku langsung berdebar. Tidakkah semuanya terlalu kebetulan?“Apa alasan rekan kerja sebelumnya nggak berhasil mendapatkan orderan?” tanya aku dengan nada menguji.“Kondisi agak rumit.” Darren mengerutkan sedikit keningnya. “Mengenai detailnya, aku juga belum mengatakannya dengan jelas, tapi ada yang bisa aku pastikan, Pak Regan sengaja persulit kita.”“Kenapa?” Aku merasa syok. “Bukannya kalau harganya cocok, transaksi bisa dijalankan?”“Dunia bisnis nggak segampang yang kamu kira.” Darren menghela napas. “Bahan baku polimer kita
“Kamu ….” Aku menatap ekspresi dingin di wajah Aiden. Tiba-tiba hatiku terasa penat. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku, hanya saja aku malah ingin menangis.Aku membalikkan tubuhku berjalan meninggalkan ruangan Aiden. Aku berdiri di depan pintu sembari menarik napas dalam-dalam. Kemudian, aku melihat sekilas pintu ruangan yang sudah tertutup rapat.“Dasar manusia nggak punya hati!” sindir aku dengan nada sinis.Setelah kembali ke ruang kerjaku, suasana hatiku masih terasa tidak bagus. Hanya saja, rekan kerjaku malah kelihatan sangat bersemangat. “Astaga! Coba kalian lihat ada berita heboh apa hari ini!”“Apa?” Leila bagai takut ketinggalan berita saja, langsung berdiri di tempat.“Grup Canata bangkrut!”“Apa?” Kali ini, aku tidak bisa bersikap tenang lagi. Aku segera berjalan ke belakang Ariana, lalu menatap ke layar komputernya.“Grup Canata terungkap menjual produk nggak memenuhi standar. Selain itu, Lucas dari Grup Canata, membangun bisnisnya dengan dukungan istrinya. Sekara