Mereka mulai merancang strategi untuk mengungkap kebenaran di balik kekacauan Ashenfield. Rava, yang memiliki akses ke dunia bawah tanah, ditugaskan untuk menyusup ke kelompok kriminal yang bekerja di bawah perintah bangsawan korup. Dengan reputasinya sebagai Assassin, ia bisa berpura-pura sebagai tentara bayaran yang mencari pekerjaan. Dari sana, ia bisa mengorek informasi tentang siapa yang benar-benar menarik tali di balik layar.Sementara itu, Fabio memanfaatkan reputasinya sebagai buronan untuk mendekati kelompok pemberontak yang aktif di Ashenfield. Ia berpura-pura mencari perlindungan dan ingin bergabung, berharap dapat menemukan siapa yang mengendalikan pergerakan mereka. Lebih dari itu, ia berencana mencari simbol-simbol rahasia atau tanda keberadaan kelompok Penghakim di dalam kota—jejak yang mungkin ditinggalkan oleh seseorang yang pernah bekerja dalam bayangan sejarah.Thalysa mengambil jalur yang berbeda. Dengan koneksinya sebagai Saint dan afiliasinya dengan kerajaan Tha
Malam di Ashenfield diselimuti kabut tipis yang menggantung di jalanan batu, seolah menutupi kejahatan yang sedang terjadi di jantung kota. Fabio dan Rava bergerak cepat melalui lorong-lorong sempit, bayangan mereka menyatu dengan kegelapan. Mereka memiliki satu tujuan—menyelamatkan Thalysa sebelum ritual selesai."Kita harus masuk tanpa menimbulkan kecurigaan," bisik Rava, matanya tajam menatap bangunan besar yang berada di pusat distrik bangsawan. "Jika kita menerobos masuk dengan paksa, kita akan menghadapi terlalu banyak musuh."Fabio mengangguk. "Kita akan berpura-pura sebagai utusan dari salah satu faksi kriminal. Jika kita bisa meyakinkan mereka, kita bisa masuk lebih dalam sebelum mereka menyadari siapa kita sebenarnya."Mereka mengenakan jubah hitam lusuh yang biasa dipakai oleh para penghubung dunia kriminal di Ashenfield. Fabio memastikan pedangnya tersembunyi di bawah kain, sementara Rava menyelipkan belatinya di pergelangan tangan. Mereka berjalan ke gerbang utama dengan
Kabut pagi menyelimuti Ashenfield, membawa kesan tenang yang menipu. Meskipun pertempuran melawan Nyxaroth telah berakhir, perlawanan terhadap pasukan Thalos masih terasa di udara. Fabio menatap jalanan kota dari jendela penginapan mereka, matanya menyapu pemandangan rakyat yang masih enggan menerima kehadiran kerajaan. Bagi sebagian orang, Thalos tetaplah penjajah, bukan penyelamat. Sebuah opini yang terus dipupuk oleh mereka yang ingin mempertahankan kendali atas kota ini. Beberapa pemimpin lokal telah muncul—ada yang menerima kenyataan bahwa Thalos kini adalah sekutu mereka, ada yang ingin mempertahankan kemerdekaan penuh Ashenfield, dan ada yang masih setia kepada bangsawan korup yang bersembunyi di bayang-bayang. Fabio, Thalysa, dan pasukan Thalos tak tinggal diam. Informasi yang mereka peroleh menunjukkan bahwa sisa bangsawan korup yang masih bersembunyi terus berupaya untuk merebut kembali kendali mereka. Mereka menggerakkan jaringan kriminal lama, menyebarkan propaganda di an
Halo, para pembaca setia!Kami ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian terhadap Zero: Forgotten Lost. Perjalanan Fabio masih panjang, dan untuk memastikan cerita terus berkembang dengan kualitas terbaik, kami akan mengambil jeda beberapa hari sebelum melanjutkan ke Volume baru!Mohon bersabar, karena petualangan berikutnya akan semakin kelam, penuh misteri, dan pastinya lebih menegangkan. Jangan lupa untuk tetap mengikuti perkembangan terbaru!Terima kasih atas kesabaran dan antusiasme kalian! Sampai jumpa di Volume selanjutnya!- Zeetsensei
Matahari baru saja merangkak naik di cakrawala ketika Fabio dan Thalysa meninggalkan Ashenfield. Kereta kuda yang mereka tumpangi berderak melewati jalan berbatu yang mengarah ke perbatasan. Udara masih mengandung sisa kehangatan dari perapian yang semalam menyala di dalam kota, seakan menggambarkan bara perlawanan yang masih tersisa di hati rakyatnya. Meskipun konflik telah berakhir, Ashenfield masih harus membangun kembali.Thalysa, dengan semangat khasnya, duduk dengan santai sambil mengamati pemandangan. "Akhirnya, kita bisa meninggalkan kota itu. Aku butuh udara segar. Kau tahu, Fabio, perjalanan ini bisa menjadi petualangan yang menyenangkan jika kau tidak terus-menerus cemberut seperti itu."Fabio, seperti biasa, tidak menanggapi. Ia hanya menatap keluar jendela, matanya mengamati bentangan tanah luas yang mulai berganti dari reruntuhan kota menuju ladang hijau yang tak tersentuh perang. Tidak ada lagi jalanan yang penuh debu dan bangunan yang hangus terbakar. Dunia di luar Ash
Perjalanan itu lebih sunyi dari yang ia kira.Kuda yang mereka tumpangi berjalan pelan di jalan tanah yang berliku, debu tipis terangkat di udara setiap kali tapal besi menghantam permukaan yang kering. Di sepanjang perjalanan, Thalysa membisu, matanya menatap ke depan, tetapi pikirannya tertinggal di desa yang baru saja mereka tinggalkan.Ia bisa masih mengingat suara tangisan pemuda itu, suaranya penuh luka, penuh kebencian yang ia lemparkan kepadanya."Kau seharusnya bisa menyelamatkannya! Kau seorang Saint! Bukankah itu yang kalian lakukan?!"Sihir penyembuhan Thalysa telah bekerja, tetapi ada batasan yang bahkan sihir tidak bisa lewati. Tubuh manusia bukanlah sesuatu yang bisa diperbaiki dengan mudah seperti tanah yang retak atau besi yang patah. Jika sesuatu telah melewati batasnya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menerima bahwa kematian adalah akhir yang pasti. Namun, pemuda itu tidak peduli pada penjelasan apa pun. Dalam kesedihannya, ia mencari seseorang untuk disal
Matahari mulai condong ke barat saat Fabio dan Thalysa akhirnya tiba di kota kecil di luar perbatasan Kerajaan Valtor. Udara terasa lebih sejuk dibandingkan perjalanan mereka sebelumnya, dan tidak ada tanda-tanda kehancuran atau ketegangan seperti yang mereka lihat di Ashenfield. Jalanan kota ini tersusun rapi, dengan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh, pertanda bahwa wilayah ini jauh dari kemiskinan ataupun peperangan. Tidak ada rumah reyot, tidak ada jalan berlubang, dan lebih mengejutkan lagi, tidak ada seorang pun pengemis di sudut-sudut jalan.Thalysa yang biasanya tidak mudah terkejut, mendapati dirinya sedikit terdiam saat mereka melangkah melewati gerbang kota. Ia melihat sesuatu yang jarang ada di daerah-daerah di luar ibu kota—bagian informasi. Sebuah bangunan kecil dengan papan kayu yang tertulis jelas "Pusat Informasi Kota," berdiri megah di dekat alun-alun utama. Beberapa penduduk setempat tampak berdiskusi dengan para petugas di sana, mengajukan berbagai pertanyaan."Un
Matahari bersinar lembut di atas kota perbatasan yang ramai, menandakan hari yang cerah dan hangat. Udara di sini berbeda dari kota-kota yang pernah mereka lewati sebelumnya—lebih bersih, lebih segar, dan penuh dengan aroma roti panggang yang baru keluar dari oven, serta rempah-rempah yang bercampur dengan angin sepoi-sepoi.Fabio dan Thalysa berjalan di sepanjang jalan berbatu yang tertata rapi, melewati pedagang yang sibuk menawarkan barang dagangan mereka. Thalysa tampak lebih santai dari biasanya, sementara Fabio tetap dengan ekspresi dinginnya yang khas."Untung cuacanya cerah, ya," kata Thalysa dengan nada riang, menikmati sinar matahari yang menghangatkan kulitnya.Fabio melirik ke arahnya sebentar sebelum kembali memandang ke depan. “Hmmm,” gumamnya singkat, seolah mengakui pernyataan Thalysa tanpa memberikan pendapat lebih jauh.Thalysa membawa keranjang rotan kecil yang nanti akan digunakan untuk berbelanja beberapa kebutuhan mereka. Fabio, yang menyadari beban itu, melirikn
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama
Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha
Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti
Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap
Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se
Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida
Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak
Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa
Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i