“Open your mouth!” bisik Farhan berat di sela-sela ciumannya sembari kembali menggigit bagian bawah bibirku. (Buka bibirmu!)
Napasku memburu dan perlahan aku mulai kehilangan kontrol atas diri ini. Secara refleks kuikuti perintah Farhan. Segera setelah bibir ini terbuka, ia memperdalam ciumannya hingga menelusupkan indra pengecapnya ke dalam rongga mulutku, mengabsen setiap sudut yang mampu ia jangkau.
Suara decapan segera memenuhi kamar kami. Suhu dingin AC perlahan bagai tak ada artinya. Lenganku terulur membelai rambut Farhan, atau mungkin juga mengacaknya. Napasku semakin memendek, seperti kehabisan oksigen.
“Eumhh.”
Lenguhan itu tercipta begitu saja saat diri ini semakin hanyut dalam permainan lidahnya. Namun, sejauh ini aku hanya mengikuti arus. Belum ada keberanian untuk membalas pagutan Farhan meski dahaga jiwa ini mulai terpantik.
“Akh, Farhan, stop!” seruku seraya agak mendorong bahu p
Pukul dua siang para tetangga dan undangan telah meninggalkan rumah baru kami, tinggal keluarga saja yang kini saling duduk terdiam di ruang tamu. Semua telah mengetahui isi berita atau lebih tepatnya sebuah video yang tadi Dina tunjukkan padaku.Di zaman ini, segala sesuatu yang diunggah ke media sosial dan menyangkut isu sensitif begitu mudah naik dan viral, salah satunya adalah tentang orang ketiga. Sepertinya itulah yang Nayla manfaatkan untuk menyerangku dan Farhan. Ia masih belum menerima diceraikan oleh suami yang sudah lebih empat tahun berada di sisinya.Nayla membuat video dari kumpulan foto yang dapat digeser dan menuliskan keterangan yang menyudutkan kami. Bahkan ia juga mengunggah tangkapan layar rekamandashcamsaat perzinahanku dan Farhan terjadi. Meski adegan dalam foto diburamkan, tetap saja itu sangat memalukan.“Perzinahan kalian menghancurkan duniaku, tapi aku tak ingin Kamu semakin menumpuk dosa. Berat hati
“Dia seperti ini pasti tujuannya ingin membuat Mas dan Mbak malu. Gimana kalau aku yang keluar dan membuat pembelaan? Aku ‘kan juga punya rekaman yang waktu itu,” usul Dina. “Enggak, Din, itu bisa jadi blunder. Mas lagi marah sama Nayla dan dia juga sampai mohon-mohon ‘kan?” sanggah Farhan. Video itu memang bisa dengan mudah dipelintir, terutama jika suaranya difilter. Sikap Farhan yang sangat melindungiku bisa membuat orang berpikir memang Nayla korbannya. “Terus gimana? Kesel banget tahu dia jadi playing victim gini,” gerutu Dina yang sepertinya lebih mampu meluapkan emosinya. Sosok adik iparku yang ekspresif dan tidak menyimpan kegundahannya seorang diri ini terkadang memang sangat bermanfaat, terutama dalam proses penyembuhan traumanya kemarin. Namun, tidak untuk masalah yang tengah aku dan Farhan hadapi. Bisa-bisa suasana malah jadi semakin panas. “Aku boleh ngomong?” Semua orang menengok pada sosok remaja akhir yang duduk di sebelah ibu. Ezra, adikku yang masih berusia dela
Berbekal harapan semua bisa segera berakhir dengan damai, aku dan Farhan akhirnya melakukan wawancara bersama seorang pesohor di negeri ini. Suasana saat pengambilan gambar cukup menyenangkan dan nyaman.Namun, seperti yang sudah kami prediksi sebelumnya, ada beberapa pertanyaan yang diindikasikan sebagai pancingan. Syukurlah kami sudah siap dan saling mengingatkan, sehingga pembahasan tidak melenceng dari yang kami inginkan.“Jadi, intinya seperti ini, Mas, saya tidak peka pada perasaannya dan dia memendam sendiri keluhan terhadap saya. Akhirnya malah menjadi bom waktu dan menjadi pelecut kesalahan besar dia yang tidak mampu saya maafkan, sehingga saya memutuskan untuk melepasnya,” ujar Farhan yang lebih banyak berbicara.“Kesalahan apa?” tanyahost.“Manipulasi.”Sesingkat itu Farhan menjawab, karena kami telah sepakat untuk tidak banyak mengumbar kesalahan Nayla. Biarlah itu menjadi konsums
“Boleh satu lagi?” Farhan meminta izin begitu aku selesai berbicara.“Silakan!”“Untuk semuanya, semoga kisah kami menjadi pelajaran. Jangan memulai hubungan baru jika hati kalian belum selesai dengan kisah sebelumnya. Dan jika ada uneg-uneg dengan pasangan, katakan! Jangan disimpan sendiri lalu cari solusinya sebelum terlambat,” pesan Farhan.Begitulah wawancara kami berakhir.Hostserta para kru yang terlibat menjadi golongan pertama yang mengetahui kisah sebenarnya dari sudut pandang kami. Mereka bersimpati dan menunjukkan dukungan. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih sebelum pulang, karena sudah diberikan wadah untuk berbicara serta membela diri.Setelah video wawancara itu diunggah, warganet mulai terpecah belah. Banyak yang balik menyerang Nayla, meski aku dan Farhan sebisa mungkin tidak menjelekkan wanita itu. Namun, manusia memiliki akal untuk menyimpulkan apa yang mereka dengar, lalu memut
Setelah cukup kesulitan melalui para pencari berita, akhirnya kami sampai juga di depan ruang sidang. Kebetulan sekali Nayla juga baru datang bersama pengacara dan ibunya. Bukan hanya sekedar basa-basi, kami pun menyapanya. Namun, ibu Nayla melengos begitu saja dan segera memasuki ruang sidang bersama pengacara. Hanya Nayla yang masih berada di luar dan ini adalah pertama kalinya kami bertemu bertiga seperti ini setelah malam di mana Farhan mengucapkan talaknya beberapa waktu lalu.“Apa kabar, Nay?” sapa Farhan ramah.Bagaimanapun, mereka pernah bertahun-tahun bersama dan Farhan tak ingin ada kebencian meski perpisahan mereka dilandasi oleh kekecewaan. Aku pun tak pernah melarang Farhan beramah tamah pada mantan istri serta mertuanya.“Menurut, Mas? Apa aku terlihat baik setelah kalian mendepakku, bahkan mencemarkan nama baikku? Tapi aku tidak selemah itu. Lihat saja, sekarang orang-orang sudah kembali membelaku,” sahut Nayla sambil
“Bagaimana jika anak dalam kandungan madu saya itu adalah anak saya?” Nayla balik bertanya seraya melempar senyum sinis padaku.Mama serta Dina yang mengapitku di kursi peserta sidang sama-sama mengusap bahu dan punggung tanganku, memberikan dukungan.“Klien saya menginginkan hak asuh anak,” ujar pengacara Nayla mengambil alih. “Serta gana-gini yang sepadan.”“Bagaimana Pak Farhan?” Mediator melempar pertanyaan.“Mengenai siapa sebenarnya ibu biologis anak klien saya, keluarga telah sepakat untuk melakukan tes DNA setelah lahir nanti. Dalam kehamilan alami, tes DNA sebenarnya bisa dilakukan saat kehamilan masih berlangsung. Namun, tes itu menggunakansampleair ketuban dan umumnya untuk mengetahui ayah janin. Kasus kita kali ini sangat tidak biasa, sehingga jika tergugat menginginkan hak asuh anak, kami akan mengajukan penangguhan sidang hak asuh sampai anak tersebut lahir nanti,&rdq
“Ayo, Ra, temenin aku keluar!” ajak Farhan saat akhir pekan.“Ke mana?” tanyaku yang sebenarnya agak malas, karena cuaca yang sedang terik saat ini.“Ketemu Nayla. Aku mau ngomong baik-baik sama dia, biar gak ada drama berjilid-jilid,” ungkap pria itu diakhiri helaan napas panjang. “Buang-buang waktu dan tenaga aja.”“Duit juga, karena harus sewa pengacara,” tambahku yang langsung diangguki Farhan.“Jadi, mau ‘kan nemenin aku ketemu dia? Biar Kamu gak cemburu juga,” tanyanya sekali lagi dan diselipkan kekehan pada akhir kalimat.“Ck, siapa juga yang cemburu?” cebikku berkilah.“Padahal aku seneng loh kalau Kamu cemburu,” goda Farhan seraya menjawil daguku dan segera kutepis tangannya.“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu,” tukasku beranjak sekaligus menyetujui ajakan Farhan untuk bertemu Nayla.Pria itu berencana m
Untuk kedua kalinya dalam satu bulan terakhir aku kembali terbangun di atas brankar rumah sakit. Lengan tersambung dengan infus, bau desinfektan memenuhi indra penciuman. Masih sambil mengerjap, kuedarkan pandangan pada sekitar.Tak jauh dari tempatku terbaring, kulihat Farhan tengah berbincang dengan seorang dokter, terlihat dari snelli yang dikenakannya. Entah apa yang sedang terjadi, tapi bahu suamiku itu tampak lemah seperti dipenuhi beban. Telapak tangannya juga sempat menyugar rambut menahan emosi.Tak lama kemudian, mereka telah selesai berbicara dan Farhan berbalik. Ia segera menghampiriku setelah melihat aku membuka mata. Senyum lebar tersungging dari wajahnya yang kutebak sengaja dibuat untuk menutupi kegundahannya.“Apa yang sekarang Kamu rasakan?” tanya Farhan menyapaku.“Pusing,” jujurku.“Jangan banyak pikiran,” pesannya yang kuangguki begitu saja.Maunya juga begitu, tapi alam bawah sadarku
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm