Proses syuting pembuatan iklan sesungguhnya hanya berlangsung selama empat hari. Namun, kami baru pulang setelah satu minggu meninggalkan rumah.
Farhan memaksaku untuk berlibur sebentar, mumpung kami sudah ada di luar, karena begitu kembali ke rumah kesempatan seperti ini akan sulit untuk didapatkan.
Tentu saja aku menolak pada awalnya, karena ini sudah melanggar perjanjianku dengan Nayla yang melarangku dekat dengan suaminya. Namun, Farhan meyakinkan jika tak akan ada hal buruk yang mungkin terjadi.
“Aku pergi karena pekerjaan dan dia gak mau tahu detail kerjaanku. Kalaupun kita nambah hari di sini, dia bakal ngira kita masih kerja.” Farhan beralasan.
“Jadi, Kamu memanfaatkan kepercayaan yang dia berikan?” tanyaku agak tak percaya.
“Apa salahnya, sih, aku ngajakin istri sendiri liburan sebentar?”
“Salahnya adalah Kamu ngajakinnya diem-diem, gak izin dia, gak ngajakin dia juga,” jelasku.
Keinginan menjadi egois itu sejatinya hanyalah celetukan yang dalam kondisi normal tak akan kulakukan. Siapa juga yang mau memperumit keadaan? Bisa-bisa rumah terasa seperti neraka jika aku dan Nayla sama egoisnya.Namun, seiring dengan bertambahnya usia janin dalam kandungan, semakin sulit aku mengontrol emosi dalam diri. Belum lagi setelah sindrom pagi hari itu muncul, aku seperti tidak mengenali diri sendiri. Tingkahku benar-benar di luar kebiasaan dan sebenarnya itu cukup mengejutkan.“Han! Farhan!”Kupanggil berulang kali namanya sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar yang tertutup. Dari dalam sana kembali kudengar nyanyian menjelang Subuh Nayla yang terdengar nyaring.Sayangnya aku tak peduli dan terus mengetuk pintu kamar mereka. Empatiku entah menguap ke mana. Biar saja, siapa suruh mereka selalu pamer suara setiap hari? Padahal Farhan sudah berjanji akan meminta Nayla mengurangi volume suaranya. Namun, kenyataannya sama sekali tidak berk
“Kamu seperti orang lain, Ra! Benarkah karena ngidam sikap seseorang bisa sangat berubah?” tanya Farhan keberatan menuruti setiap rengekanku.“Kalian yang ingin aku hamil, anggap saja ngidamku adalah ngidamnya Nayla,” balasku tak acuh seraya menyesap teh hangat buatan Farhan. “Gak mau anak ini merasa terabaikan dan berakhir ileran ‘kan?”Salah sendiri menjebak orang yang sudah menawarkan diri untuk menghilang. Sekarang, nikmatilah kemanjaan anak kalian yang diungkapkan melalui tubuhku. Hitung-hitung juga sedikit balasan atas kekesalanku pada kalian.“Teman-temanku hamil gak ada yang sampai kayak Mbak, manja banget dan nyusahin,” gerutu Nayla bersungut.“Kalau gitu hamil saja sendiri! Siapa tahu kalau anakmu ada rahim ibunya bisa jadi gak secaper ini,” timpalku dengan nada yang tak kalah sengak.“Tega Kamu, Mbak, ngomong kayak gitu ke perempuan yang sulit hamil?” Mata wani
“Puas, Mbak? Sejak Kamu hadir, gak pernah ada ketenangan di rumah ini.” Nayla mendengkus kesal. Tatapannya begitu tajam dengan napas yang tampak berat.“Aku sudah menawarkan diri menjauh, tapi Kamu sendiri yang membawaku ke sini. Lalu saat keadaan semakin rumit, Kamu malah menyalahkanku? Wow!” seruku menyahut diakhiri dengan senyum miring serta tepuk tangan penuh apresiasi.“Terus siapa yang bisa disalahkan kalau bukan Mbak Zahira? Perjanjian kita adalah Mbak hanya meminjamkan rahim, bukan menggerogoti rumah tanggaku dan Mas Farhan!” cecar wanita yang masih memakai gaun tidurnya tersebut.Kuhela napas panjang seraya menatap maduku itu dengan nanar. Hampir saja mulutku menjawab dengan kata-kata yang bisa menyinggungnya semakin jauh, tetapi rasa kasihan mampu menghalangi.“Kamu pikir menitipkan embrio ke rahimku sama seperti menitipkan uang ke bandar arisan? Setelah di taruh tinggal nunggu undian, gitu? Enggak, Nay!
“Anak pertama, ya, Mbak?” tanya perempuan di hadapanku yang segera kuangguki. “Wah, masih ingat banget rasanya waktu pertama kali si dedek gerak. Saya sampai nangis juga seperti Mbak saking senengnya. Gak nyangka kalau ada kehidupan di perut yang sekecil itu.” “Iya, Mbak, apalagi dulu kalau saya pas di rumah, ada suami. Dia sampai teriak-teriak saking senengnya,” sahut ibu-ibu yang ada di sampingku. Suami? Entah di mana pria itu saat ini. Tiba-tiba senyumku kembali memudar. Anak ini sejatinya hanya menumpang di rahimku, dia bukan milikku meski aku merasakan semua yang ibu hamil alami. Perasaanku kembali campur aduk sepanjang perjalanan menuju kantor. Aku terharu merasakan adanya kehidupan di dalam tubuh ini. Namun, logikaku terus mengingatkan supaya aku tak menumbuhkan perasaan pada anak yang saat lahir nanti akan kutinggalkan, karena dia bukan milikku. Hanya saja, mendadak aku seperti tidak rela. Kugelengkan kepala sembari melangkah keluar pero
Meetingberlangsung selama hampir dua jam. Begitu selesai, semua orang pun saling berpamitan, hendak kembali ke pekerjaan masing-masing, kecuali aku dan Farhan.Pria itu benar-benar menahan langkah ini untuk kembali ke kantor, malah ia juga dengan entengnya meminta izin pada timku agar aku diizinkan tinggal. Mereka yang memang sudah mengetahui hubungan kami sebagai suami istri pun sama sekali tidak keberatan.“Mau ke mana?” tanyaku saat pria itu menggandeng tangan ini menuju area parkir kantor, di mana mobilnya berada.“Sudah, ikut aja! Gak bakalan aku culik istri sendiri,” seloroh Farhan yang kubalas dengan memutar kedua bola mata malas.Kupikir kami akan berbicara di sekitar kantornya saja, tapi ternyata aku salah. Farhan terus menyusuri jalanan menggunakan mobilnya, hingga beberapa menit kemudian sampailah ke sebuah area perumahan.Lokasinya justru tak terlalu jauh dari kantorku, bahkan jika berjalan kaki pu
“Rencanaku pada awalnya adalah membawamu ke sini setelah lahiran, tapi sebaiknya dipercepat,” ujar Farhan mengajakku naik ke lantai dua.Pak Taufiq, pemilik lama rumah ini sudah lebih dulu pergi. Pertemuan kami hari ini juga dimaksudkan untuk serah terima kunci, meski Farhan telah melunasi rumah ini sejak beberapa waktu sebelumnya.“Apa Nayla sudah tahu?” tanyaku mengekor di belakangnya.“Belum,” jawab pria itu singkat. “Dia belum setuju.”“Aku pun begitu,” sahutku cepat membuat pria itu berbalik menatapku datar.Ia terdiam tanpa menimpali, tetapi pandangannya mengunci mataku lekat. Memang benar yang orang katakan jika sosok yang kita jumpai saat masih pacaran bisa menjadi sangat berbeda ketika sudah menikah.Begitulah yang kurasakan saat menatap Farhan saat ini. Dulu ia tak pernah menatapku setajam ini, bahkan saat aku kukuh ingin berkarir sebelum menikah hingga berakhir pada putus
“Terus, kapan mau belanja interior?” tanya Farhan lagi.“Uangmu banyak, ya, Han?” Aku balik bertanya setengah menyindir.Baru saja ia kami melakukan program bayi tabung yang memakan biaya hingga ratusan juta, belum lagi harga rumah ini yang kutaksir di atas satu milyar meskipun kosongan, karena lokasinya yang strategis. Bahkan sempat kulihat beberapa bagian rumah juga baru direnovasi. Lalu sekarang ia menawari membeli interior yang pasti merogoh kocek hingga puluhan juta.Aku memang tidak pernah tahu bagaimana kondisi keuangan Farhan. Bahkan saat ia memberi nafkah bulanan yang angkanya hampir setara dengan gajiku sebulan pun aku tak pernah penasaran.Padahal, jika dipikir-pikir ia hanyalah seorang manajer. Gajinya mungkin tak jauh beda denganku. Tidak mungkin juga ‘kan ia memberikan sebagian besar gajinya padaku, meskipun Nayla sendiri juga stabil secara ekonomi?“Kalau cuma untuk menghidupi Kamu, Nayla, da
Keputusanku masih tetap sama, kami harus berpisah sesuai tenggat waktu. Kenapa aku harus berbagi dan menjadi yang kedua untuknya, jika aku masih bisa menjadi yang pertama dan satu-satunya untuk pria lain?Meski aku tak secantik atau seseksi Nayla, bahkan statusku nanti berubah menjadi janda, tapi aku tak terlalu buruk. Meski tak bergelimangan rupiah, setidaknya aku bisa menjadi satu-satunya ratu di istana dan hati suamiku.Hanya itu yang kuinginkan. Nayla pun pasti mengharapkan hal serupa. Aku masih berharga dan layak untuk dicintai tanpa harus diduakan.Sunyi kembali mengisi kabin mobil yang mulai berebut jalan dengan mobil lain. Kuhela napas panjang dan berat. Aku tidak suka kemacetan, melelahkan.Farhan menyadari keluhanku. Diulurkannya tangan kiri yang kini bertengger di atas kepalaku. Dibelainya rambut ini pelan dan sesekali ia melemparkan senyum simpul.“Sabar!” ujarnya terdengar lembut.“Kok ambil jalur yang in
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm