Masih kuingat betul sebelumnya Vivi terlihat hanyut dalam lagu yang kunyanyikan. Kepalanya bahkan bergerak slowly ke kanan dan kiri.
Hmm, tapi ada yang kusadari. Vivi sama sekali tak bereaksi apa-apa setelah aku selesai bernyanyi. Iya, ya, dia keburu senang karena diberi bunga dan kalung oleh sahabatku, Fadlan.
Ya, sudah biar saja.
Kami juga sempat saling diam sepanjang jalan entah karena apa, aku juga lupa. Oh, iya, karena aku mengatakan dia punya perut karet sepertinya. Ya, rasanya itu. Untungnya semua itu tak berlanjut lama, aku dan Vivi akhirnya bisa kembali mencairkan suasana.
Hanya saja, rencana untuk makan di warteg gagal karena mendadak Vivi ingat Nyak Marni katanya. Lantas, demi mengganjal perut, kubelikan onde-onde di pinggir jalan yang nongkrong di depan mini mart, sekalian kubelikan es krim juga.
Dan, saat itu hal yang tak pernah kuinginkan terjadi malah terjadi. Sesuatu yang mengundang rasa canggung kemb
Terima kasih pada readers yang telah membaca cerita Yuk, Nikah! Sampai bab ini. Jika berkenan, jangan lupa beri bintang lima, tap love dan komentar, ya ❤️ Salam hangat, Renti Sucia
Waktu memang tak bisa diajak kompromi. Semakin panik aku karena takut kesiangan, semakin cepat pula rasanya dentingan jam di dinding berputar.Kesalku semakin bertambah kala tetangga sebelah nyetel musik keras-keras. Kan, jadinya aku tak bisa fokus dengan persiapanku pagi ini.“Duh, mana kaus kakiku satu lagi?!” Entah apa yang merasuki, kedua tanganku mengobrak-abrik isi lemari, mengeluarkan semua isinya ke lantai.Sehabis mandi pun rasanya kembali mendadak gerah kalau lagi panik begini. Semua karena masalah kesiangan.Biasanya ketika ayam jago berkokok di waktu subuh, si Fadlan pasti rutin membangunkanku untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Teh manis yang masih mengepulkan asap panasnya pasti sudah tersedia di meja.Dan sekarang benar-benar beda rasanya ketika sosok sahabatku itu tak ada. Aku kerepotan sendiri. Pagiku terasa kosong. Lantas, yang bisa kulakukan hanya panik dan kesal.“
Bukan main sialnya pagi ini. Sepertinya ini adalah karma karena tak sembahyang subuh tadi. Hmm.Bukan cuma mendadak jadi orang pikun yang lupa nama hari dan jadi orang linglung, tapi aku juga mendadak jadi kagetan sebab Vivi baru saja mengatakan akan menjodohkanku dengan seseorang.Eh, siapa tadi katanya? Teman Vivi? Atau ....“Bang!” Panggilan cemprengnya kembali membuatku dilanda kejut.“Astag ... Vivi! Kamu itu ngagetin terus kerjaannya!” Jelas kumarahi, hampir kena spot jantung, sih.Ia tergelak, lalu cepat-cepat meminta maaf. Duh, enak saja. Gampang amatan dia minta maaf, habis itu diulangi lagi kesalahannya.“Abang kenapa, sih?” tanyanya kemudian.Aku melirik tajam.“Kamu yang kenapa?! Ngapain main jodoh-jodohkan sembarangan?! Ogah, ya. Abang males!” selaku dengan tegas menolak.Ia berdecak kesal, melipat tangan di dada, memicingkan mata ke arahku.
da saat ketika aku dan Vivi sedekat dan seakrab layaknya adik dan kakak. Kadang pula kami bertengkar bak musuh bebuyutan. Kadang juga kami saling diam marah-marahan karena punya suatu kesalahpahaman.Dan menurutku itu normal. Hanya saja, akhir-akhir ini Vivi bersikap aneh padaku. Entah hanya perasaanku saja, tapi di waktu tertentu dia seperti menjaga jarak dariku.Bukan menjaga jarak fisik, tapi aku sering memergokinya menatap aneh padaku. Rasanya seperti Vivi memendam rahasia. Apakah dia sedang ada masalah tapi ragu untuk bercerita? Entahlah.Seperti saat ini, ketika kubalas kejahilannya, Vivi malah terdiam memandang lurus tanpa kata padaku.Sungguh, itu sangat mengganggu dan membuatku bingung, sehingga otakku berputar untuk menemukan satu jawaban itu. Bodoh juga jika dipikir. Aku mau mendapat jawabannya, tapi tak mendahulukan bertanya pada orangnya.Di saat aku merasa bahwa dia sedang kesal, rasanya aku semakin gemas dan i
Vivi yang pemaksa. Entah apa yang merasukinya sampai ia terus berusaha menjodoh-jodohkan aku dengan perempuan bernama Clara. Ada-ada saja. “Abaaaaang!” Tuh, kan? Baru saja kusebut namanya dalam hati, suara cemprengnya langsung menyambut kencang. Emang dasar panjang umur, tuh, anak. Aku bangkit dari ranjang, terpaksa. “Abaaang, buka!” Vivi mengetuk-ngetuk pintu tak sabar. Aku malas, soalnya dia pasti menceramahiku soal Clara. “Apa manggil-manggil?” Dengan muka air datar kutanya. Ia memasang raut marah, tangan melipat di dada, matanya memicing tajam ke arahku. “Abang, kok, cuek sama Kak Clara, sih?!” ucapnya kemudian. Yah, sudah kuduga Vivi akan menceramahiku soal Clara yang chatnya tak kurespon baik. Duh, malas kalau mau ngomongin alasannya. Bukannya dimengerti, si Vivi malah semakin kumat nanti. “Abang malas aja, Vi. Udahlah, jangan maksa. Udah abang bilang, kan, kalau abang itu n
Demi apa pun, aku sangat cemas ketika menahannya di ambang pintu tadi, takut Vivi menolak saat kuajak bicara. Ia menatap lurus sekilas, sebelum akhirnya berkata,“Ngomong apa, sih? Muka Abang serius amat.” Ia menepis pegangan tanganku, sehingga tangan yang sempat menahannya agar tak masuk dulu itu terlepas dan mengayun di udara.Vivi membuka lebar kembali daun pintu, ia mendorongku dan duduk di bangku depan teras. Syukurlah, artinya bocah ini mau juga kuajak bicara.Aku menyusul duduk. Lucunya, kami malah saling diam untuk beberapa detik. Setelah kutunggu, gadis belia di sampingku ini tak juga bertanya. Pun denganku yang tak kunjung membuka percakapan. Dan, sepertinya benar dugaanku, Vivi marah.Walau suara jangkrik di halaman mulai ramai mengusik, tapi tak juga aku berkata apa-apa. Pun dengan Vivi, ia diam membisu. Ia menatap lurus ke arah pagar saat sesekali kucuri pandang dari sudut mata.Ya, ampun. Cuma mau nanyain soa
alau kata sesegrup band, ‘Bim salabim kucing kawin sumpah nyaris mati berdiri, liat mantan di depan mata, bikin hati patah hati’ ha ha—ketawa garing.Bohong, mana sanggup aku tertawa saat ini. Speechless yang ada kala dihadapkan dengan wanita berbaju kuning ini.Dia membalas tatapanku, tetapi dengan raut muka aneh.“Maaf, saya bukan Gina. Mungkin kamu salah orang,” sangkalnya kemudian.“Bu-bukan?!” Aku sedikit kaget mendengar pernyataannya. Bukan katanya? Akan tetapi, dia mengangguk, lalu terlihat senyum tipis tak nyaman tergaris di sudut bibirnya.Antara lega dan juga kaget disertai malu luar biasa, aku ternganga. Heh?! Bukan Gi ... kok, mirip? Aku salah tingkah pastinya. Kutunjukkan wajah bodohku untuk menutupi malu.Sekali lagi kucermati setiap lekuk wajahnya. Benar bukan dia ternyata. Wah, jantungku sudah mau copot rasanya barusan. Kalau iya dia, sepertinya bakal copot beneran.
Ah, capeknya hari ini.” Aku menjatuhkan diri di atas ranjang.Sekitar pukul lima sore baru sampai kosan. Pekerjaan yang sebelumnya kuperkirakan selesai dalam waktu dua belas menit pun malah selesai dalam waktu dua puluh menit. Benar-benar payah.“Kerja udah kayak robot aja, ampun, dah. Kapan, ya, dipromosikan naik jabatan? Rasanya udah lama kerja, kok, nggak ada perkembangan sama sekali?” gumamku seraya menatap langit-langit kamar.Yah, terkadang aku juga berada dalam fase lelah. Mengeluh sesekali boleh, kan? Entah juga, sebenarnya aku ini jenuh atau bagaimana? Tak biasanya, sih, kukeluhkan soal kerjaan.Kali ini kupejam mata, berharap bisa melepas lelah walau hanya sebentar saja. Kubuka kancing kemeja yang membuat diri terasa gerah. Malas mandi, nanti saja sekalian sebelum magrib tiba.Sayangnya, belum juga aku terlelap, pintu kosan diketuk kencang, disusul suara tak asing memanggil.“Abaaang!
“Dandan?! Kamu pikir abang ini perempuan, apa?!” Jelas aku ketus dan protes soal ini. Dandan katanya? Yang benar saja, ck, ck.Aku masih duduk di atas ranjang, memerhatikan Vivi yang kini tengah mengobrak-abrik lemari pakaianku.Vivi menoleh, “Dih, kok, masih di situ, sih?! Sana cepetan ke kamar mandi! Gosok gigi! Mulut abang bau kambing!”“Buset, itu mulut lancar bener bilang kambing!” Aku lebih ingin marah lagi, tetapi sepertinya masih bisa kutahan, sih.“Buruaan, nanti telat, Bang!” Gadis itu mulai keterlaluan ngaturnya. Ia meninggalkan lemari sejenak hanya untuk menarik tanganku, memaksa agar aku segera masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi. Yah, benar-benar payah! Nyebelin!Walau begitu, akhirnya aku mengalah. Ingat, janji harus ditepati. Ah, jadi teringat pesan bapak, kan, di kampung. Katanya sebagai laki-laki aku harus menjaga martabat diri dengan cara menepati j
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend