Share

Lelah

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2021-11-01 08:34:10

alau kata sesegrup band, ‘Bim salabim kucing kawin sumpah nyaris mati berdiri, liat mantan di depan mata, bikin hati patah hati’ ha ha—ketawa garing.

Bohong, mana sanggup aku tertawa saat ini. Speechless yang ada kala dihadapkan dengan wanita berbaju kuning ini.

Dia membalas tatapanku, tetapi dengan raut muka aneh.

“Maaf, saya bukan Gina. Mungkin kamu salah orang,” sangkalnya kemudian. 

“Bu-bukan?!” Aku sedikit kaget mendengar pernyataannya. Bukan katanya? Akan tetapi, dia mengangguk, lalu terlihat senyum tipis tak nyaman tergaris di sudut bibirnya. 

Antara lega dan juga kaget disertai malu luar biasa, aku ternganga. Heh?! Bukan Gi ... kok, mirip? Aku salah tingkah pastinya. Kutunjukkan wajah bodohku untuk menutupi malu.

Sekali lagi kucermati setiap lekuk wajahnya. Benar bukan dia ternyata. Wah, jantungku sudah mau copot rasanya barusan. Kalau iya dia, sepertinya bakal copot beneran.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Yuk, Nikah!   Kelakuan Vivi

    Ah, capeknya hari ini.” Aku menjatuhkan diri di atas ranjang.Sekitar pukul lima sore baru sampai kosan. Pekerjaan yang sebelumnya kuperkirakan selesai dalam waktu dua belas menit pun malah selesai dalam waktu dua puluh menit. Benar-benar payah.“Kerja udah kayak robot aja, ampun, dah. Kapan, ya, dipromosikan naik jabatan? Rasanya udah lama kerja, kok, nggak ada perkembangan sama sekali?” gumamku seraya menatap langit-langit kamar.Yah, terkadang aku juga berada dalam fase lelah. Mengeluh sesekali boleh, kan? Entah juga, sebenarnya aku ini jenuh atau bagaimana? Tak biasanya, sih, kukeluhkan soal kerjaan.Kali ini kupejam mata, berharap bisa melepas lelah walau hanya sebentar saja. Kubuka kancing kemeja yang membuat diri terasa gerah. Malas mandi, nanti saja sekalian sebelum magrib tiba.Sayangnya, belum juga aku terlelap, pintu kosan diketuk kencang, disusul suara tak asing memanggil.“Abaaang!

    Last Updated : 2021-11-05
  • Yuk, Nikah!   Pesan Nyak Marni

    “Dandan?! Kamu pikir abang ini perempuan, apa?!” Jelas aku ketus dan protes soal ini. Dandan katanya? Yang benar saja, ck, ck.Aku masih duduk di atas ranjang, memerhatikan Vivi yang kini tengah mengobrak-abrik lemari pakaianku.Vivi menoleh, “Dih, kok, masih di situ, sih?! Sana cepetan ke kamar mandi! Gosok gigi! Mulut abang bau kambing!”“Buset, itu mulut lancar bener bilang kambing!” Aku lebih ingin marah lagi, tetapi sepertinya masih bisa kutahan, sih.“Buruaan, nanti telat, Bang!” Gadis itu mulai keterlaluan ngaturnya. Ia meninggalkan lemari sejenak hanya untuk menarik tanganku, memaksa agar aku segera masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi. Yah, benar-benar payah! Nyebelin!Walau begitu, akhirnya aku mengalah. Ingat, janji harus ditepati. Ah, jadi teringat pesan bapak, kan, di kampung. Katanya sebagai laki-laki aku harus menjaga martabat diri dengan cara menepati j

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yuk, Nikah!   Wajah Kloningan

    Kebetulan malam ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kota ini semakin gerah saja rasanya.Akhirnya, setelah banyak drama ini dan itu, sampai si Vivi salah paham dan ngambek, aku pun mau juga pergi menemui Clara.Pesan Nyak Marni yang sebelumnya menitipkan dia tak hentinya berputar dalam rekaman otak.Janjiku takkan diingkari. Akan kujaga adikku ini sampai Yang Maha Kuasa memisahkan.“Bang, nonton film apa yang bagus, ya?” Vivi bertanya. Belum juga sampai ke gedung bioskop, dia sudah menanyakan hal itu padaku.Kuiintip sosoknya di kaca spion. “Lah, kamu dan kawan-kawan yang ngajak. Ya, terserah kalian saja.”Seperti biasa, semua kuserahkan pada yang punya vocal. Wong niatnya cuma menepati janji untuk bertemu si Clara itu. Ya, soal acara apa, mau ke mana, aku tak mau campur tangan. Cukup ikuti saja sesuai arahan.Yah, anggap saja sebagai ganti tak beri hadiah ulang tahun. Kan, begitu perja

    Last Updated : 2021-11-10
  • Yuk, Nikah!   Ngedate Pertama

    Tak pernah disangka, Clara ini sungguh menyenangkan orangnya. Setelah berkenalan secara resmi, ternyata tak seburuk bayanganku kemarin.Buatku dia baik, ceria, dan ... sedikit cantik. Ah, agak lebih banyak, sih, sedikit. Semacam susu krimer. Ada manis-manisnya gitu—minuman mineral, kali, ah. Yah, pokoknya dia manis, apalagi kalau lagi memperlihatkan rekahan senyum diiringi smiling eyes.Ada kempot satu di pipi kirinya, lucu. Dan, yang paling membuatku senang memerhatikannya, ya, itu, bulu matanya yang sedikit lentik bergerak naik turun saat memesan minuman. Membuatku diam-diam mematri senyum tipis. Saaangat tipis.Jujur saja, kesan pertamaku terhadapnya sangat bagus. Clara asik orangnya dan lumayan nyambung kalo ngobrol.Takdir, kah? Maksudnya, apa dia reinkarnasi dari Gina? Ah, tak mungkin. Soalnya Gina masih hidup di dunia. Ada-ada saja otak sialan ini.Kami cukup bersenang-senang. Kukira bakal bosan, nyatanya tidak.

    Last Updated : 2021-11-13
  • Yuk, Nikah!   Kabar Dari Cina

    “Maaf, ya. Aku jadi tak bisa belikan boneka itu.” Walau malu setengah mati, kukatakan juga akhirnya.Sebagai laki-laki, harga diriku sungguh terluka dibuatnya. Tapi berkat itu, beban pikiran serta rasa maluku sedikit berkurang. Cuma ya tetap saja aku tak enak. Apalagi saat dia berkata,“Duh, nggak apa-apa. Aku bisa bayar sendiri. Tenang aja. Ikut prihatin, ya, untuk kehilangan dompetnya.” Clara yang sangat baik hati, tapi juga kata-katanya begitu menyakiti. Hmm.Selain itu aku cukup terharu. Disangka dia akan mencibir atau apalah. Tapi nyatanya dia sangat pengertian.***“Kamu yakin nggak mau kuantar pulang?” tanyaku untuk kedua kali.Yah, sebenarnya tadi kami sempat sedikit berdebat soal ini. Clara yang akan pulang ke kosannya lebih awal—karena mau masak untuk adiknya yang kelaparan—menolak kuantar pulang. Alasannya karena kami beda arah dan tujuan. Dia bilang boros b

    Last Updated : 2021-11-17
  • Yuk, Nikah!   Jangan Katakan Cinta

    Pagi ini sungguh cerah, tapi aku melihat Vivi begitu mendung. Sudah seperti ada awan hitam di atas kepalanya saja.Entah perasaanku atau bukan, sebenarnya dari kemarin itu dia begitu padaku. Katakanlah aku memang sedikit terganggu, akhir-akhir ini sikapnya tak menentu.Sikapnya berubah-ubah. Kadang marah-marah nggak jelas, kadang ketawa-ketiwi kayak kunti, kadang cuek dan judes nauzubillah. Yah nano-nano rasanya. Apakah mungkin aku terlalu banyak melakukan kesalahan? Sepertinya tidak. Soalnya beberapa hari ke belakang aku selalu mengikuti apa kemauan dia.Bahkan pagi ini sapaanku diabaikan olehnya. Dia juga lebih memilih naik angkutan umum ketimbang naik motor denganku yang gratisan. Vivi itu kan menjunjung tinggi filosofi hemat.“Gam, malah ngelamun di jam kerja!”Aku tersentak kaget kala sekretaris Pak Wahyu menegurku. Terpaksa aku sunggingkan senyum walau enggan.“I-ya. Seperti

    Last Updated : 2021-11-25
  • Yuk, Nikah!   Pengakuan Tak Terduga

    Ini sudah mau mulai masuk musim penghujan, tak heran polusi udara kota ini semakin gersang saja.Niat hati aku mau curhat dan minta solusi pada Vivi, eh dia malah begitu respons-nya. Seperti tak mendukungku sama sekali. Padahal, sejak kemarin perasaanku sudah dibuat ketar-ketir soal Clara.“Lah, jangan?! Kok, jangan, sih?” Aku menautkan alis heran. Bukannya harusnya senang, ya? Kan, dia yang menjodohkan aku kemarin-kemarin.Vivi membuang muka masam. Aku semakin kesal, apa maksud dari memperlihatkan raut jelek itu?“Ya, po-pokoknya ... udah, lah, Vivi mau lipat baju dulu. Takut enyak marah!”“Eh, tunggu dulu!”Aku sudah mencoba mencegahnya, tapi Vivi masih saja tak peduli. Dia lebih memilih pergi dan menggantung pertanyaan di kepalaku. Vivi mulai menyimpan misteri, dan aku tak mengerti mengapa dia jadi semisterius itu.[Gam, maaf baru kasih kabar. Beneran sibuk di sini. Ini

    Last Updated : 2021-12-01
  • Yuk, Nikah!   Galau Badai

    Apa-apaan ini? Suka?! Sukanya perempuan ke laki-laki? Cinta?! Aku sungguh tak habis fikir mengapa Vivi bisa berkata begitu kepadaku.Dia memejam mata seraya berkata, “Vivi enggak mau lagi jadi adik Abang. Vi-vivi ....” Perkataannya terpotong. Tampaknya dia gugup dan ... aku juga heran harus jelaskan bagaimana. Perempuan memang aneh. Kadang sangat sulit bagi kita kaum laki-laki mengartikan setiap sirat yang ditunjukkannya. “Vivi cinta Abang.” Begitulah akhir katanya, dan dia menunduk, kemudian dengan berani mengarahkan tatapannya padaku.‘Cinta?’Aku melongo mendengar apa yang dikatakan Vivi. Cinta katanya?‘Cinta bagaimana maksudnya?’Aku beradu tatap secara serius dengan Vivi. Mata bulatnya seolah tersenyum padaku. Seumur-umur baru kali ini aku melihat tatapan itu. Kenapa tiba-tiba mengatakan kata ‘Cinta'?Bagaimanapun aku berusaha mencoba menerawang lewat pelupuk mat

    Last Updated : 2021-12-04

Latest chapter

  • Yuk, Nikah!   End Episode

    “Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Keputusan Akhir)

    Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Oh Ternyata)

    Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la

  • Yuk, Nikah!   Rencana Bapak

    Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be

  • Yuk, Nikah!   Tangisan Penyesalan

    Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku

  • Yuk, Nikah!   Pulang Kampung

    Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma

  • Yuk, Nikah!   Ayo Putus

    Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s

  • Yuk, Nikah!   Diajak Kawin Lari

    Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant

  • Yuk, Nikah!   Kerasnya Hati Nyak Marni

    Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend

DMCA.com Protection Status