Karina membanting ranselnya di atas sofa yang ada di ruang keluarga. Rasanya ingin sekali marah dan mengumpat tidak jelas, tapi sayangnya dia tidak sendirian di rumah kali ini. Dia tidak menyangka kata ‘special’ dari yang dibicarakan oleh Ucup kemarin adalah buruk. Dia lelah, remuk karena memforsir otak dan fisiknya menjadi satu, karena ujian kali ini ternyata 70% mempertimbangkan beasiswa yang dia punya.
“Santai, aku udah milih sekolah yang bagus untuk kamu. Aku jamin, kamu nggak akan kesulitan selama di sana. Percaya deh sama aku, jangan cemberut gitu dong,” ujar Ucup dengan memajukan bibirnya. Di yang baru masuk dengan kekasihnya yang juga tengah merajuk kepadanya. Kepalanya mau pecah menghadapi dua orang wanita yang merajuk kepadanya.
Laki-laki itu baru saja akan duduk di sebelah Karina yang kini duduk pasrah di atas sofa, namun kekasihnya sudah terlebih dahulu mengisi tempat itu dan membuang muka kepadanya. “Vivian, jangan bersikap seperti itu, kamu buat aku sambah sakit kepala tahu.”
“Sakit kepala? Jadi kamu anggap aku ini pengganggu gitu?” tanyanya sembari menyamankan dirinya dalam pelukan Karina yang telah memejamkan mata. “Kayak kejadian kemarin yang kamu lakuin pada Karina, takutnya nanti ada gossip yang nggak menyenangkan, terus bawa-bawa nama Karina, kamu yang aku gorok.”
Ucup bisa merasakan pundaknya yang ditepuk dari belakang, dia bisa melihat Aron yang menggeleng faham pada dirinya. “Sudah lah bang, Kak Vivian tuh 11 12 sama Chelsy. Jadi nggak usah kayak baru pertama kali gitu.”
Suara tepukan keras mendarat pada tubuh bagian belakang Aron, yang cukup menimbulkan suara nyaring dan ringisan sakit laki-laki itu. “Chelsy, sakit, sayang.”
“Rasain, maksud kamu aku baperan gitu, lagian ya wajar aja kalau kita khawatir akan ada berita tentang Kak Ucup sama Karina. Iya kalau berita baik, kalau berita buruk?” tanya Chelsy sembari menempatkan dirinya, di sebelah Karina di sisi yang lain dengan Vivian yang merupakan kekasih dari Ucup.
Ketiga gadis itu, tidak, hanya Vivian dan Chelsy yang menatap tajam pada Ucup yang masih berdiri di depan sofa. Dengan wajah tidak suka karena di salahkan begitu saja. Niatnya hanya ingin mengeluh manja pada Karina, karena saat itu kepalanya pusing tujuh keliling setelah mengerjakan UTS dan ditambah harus menghadapi kepala direksi untuk perdebatan tempat KKN.
Karina memejamkan matanya, dia mengeratkan kaos panjang yang sudah dua hari ini dia pakai. Menyamankan dirinya dengan dua orang cantik yang mengapitnya di masing-masing sisinya. Dari pada mendengarkan kedua orang itu membantai Ucup dengan kata-kata menohok, Karina lebih memilih mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya.
Membiarkan Ucup yang diserang para gadis, Aron lebih memilih memasuki dapur dan membiarkan ranselnya terorok di atas meja dapur. Tenggorokanya terasa membakar, terik panas mata hari siang ini sungguh mencekiknya. Sebelum tangannya menyentuh gagang lemari es, dia menyipitkan mata saat melihat ssuatu yang berkilauan di bawah tepat di samping kiri lemari es.
Karena penasaran yang tidak tertahan, Aron menunduk mengamati dan mengambilnya pelan-pelan. “Pecahan kaca? Setebal ini? Kaca apa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri dengan nada ragu. Dia mendongak menatap apapun yang ada di dapur yang berbahan kaca tebal.
“Perasaan di dapur kebanyakan kayu, set kichen saja dari kayu jati dengan keramik. Nggak ada tuh yang dari kaca, apalgi setebal ini.”
Entah mengapa Aron mendadak gusar, laki-laki dengan tinggi 180cm itu berjalan perlahan menelusuri lorong menuju ruang keluarga. Tempat semua temannya ada di sana termasuk Karina, sang pemilik rumah. Langkahnya terhenti saat melihat ada suatu perubahan yang tidak dia sadari sebelumnya.
“Apa ini? Sejak kapan bingkai fotonya berwarna putih? Bukannya sebelumnya secara keseluruhan memakai kaca ya.”
Aron menutup mulutnya rapat-rapat, setelah menyadari apa yang dia ucapkan tadi. Dia langsung menoleh ke arah teman-temannya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Terdiam dengan pecahan kaca tebal yang cukup besar yang ada di telapak tangannya.
Dia lihat Karina yang seolah membungkus diri di samping Vivian dan Chelsy. Kalau tidak salah, beberapa hari ini Karina selalu memakai pakaian panjang dan selalu menggerai rambutnya. Juga, Karina sudah tidak mau memberikan tangannya untuk di sentuh oleh siapapun, seperti yang terjadi sekarang.
“Karina ayo, tabok saja Ucup. Laki-laki itu memang perlu di beri pelajaran agar tidak bertindak sembarangan lagi. Ayo, berikan tanganmu.”
Aron melihatnya, melihat Chelsy dengan kekuatan penuh sedang mencoba membuat Karina melepaskan diri dari memeluk dirinya sendiri. Dan menyuruhnya gadis yang ada di bawahnya satu tahu itu mengangkat tangan untuk menampar Ucup yang sudah pasrah berlutut di depan ketiga gadis itu.
Sekali lagi, Aron mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Keudian matanya menangkap banyak goresan-goresan yang membekas pada badan lemari kayu tersebut. Tempat berbagai piagam dan piala yang telah Karina raih. Semua tertata dengan rapi dan sangat memanjakan mata. Namun, goresan-goresan di pinggir membuatnya salah focus, kembali lagi matanya menatap Karina yang masih mengukuhkan tangannya di tampat. Sangat terlihat sangat enggan untuk menampar Ucup, tapi bukan itu yang menjadi kesimpulan Aron.
“Karina, pigura besar yang ada di lorong dapur itu ganti custom nya?”
Karina mendongak, menatap Aron kaget. Mengabaikan tangannya yang telah diambil Chelsy. Dia memandang Aron yang juga melihatnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Karina tidak tahu kenapa Aron tiba-tiba bertanya seperti itu. Matanya mengerling ke belakang laki-laki itu, melihat pada lemari kayu di belakang Aron. Dan dia sudah sangat yakin tidak menimbulkan apa-apa yang bisa membuat yang lainnya curiga.
“Tanganmu ini kenapa, Karina?” jerit Chelsy dengan wajah kaget.
Dengan cepat Ucup lebih mendekat dan membawa telapak tangan Karina ke depannya, kemudian dia juga menggulung baju gadis itu sampai siku. Matanya membola besar, “Apa ini, Karina. Luka apa ini?” tanyanya dengan perasaan khawatir. Ucup menatap Karina yang hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat.
“Hey, katakan saja. Kami tidak akan menghakimi kamu kok,” ucap Vivian dengan tangan yang merangkul Karina. “Kamu dapat luka melingkar dan sepanjang ini dari mana, heumm? Apa ada yang menyakiti kamu? Atau terjadi sesuatu yang kita tidak tahu?”
Ucup mengelus lembut perban yang melinggari pergelangan tangan mungil milik Karina. Juga perban kecil yang ada di telapak tangan itu. Apa ini alasan beberapa hari belakangan Karina memakai pakaian dengan lengan panjang? Kenapa pula dia sampai tidak menyadari ada luka di tangan adiknya ini. “Apa yang terjadi, heum? Kamu ada masalah apa, cerita saja. Atau kamu benar-benar tidak mau menjalanka KKN di sekolah itu dan lebih bersama kita di poli kejiwaan? Akan aku urus kok, seperti kata kalian, aku ini pemilik sah Universitas itu. Aku pasti bisa merubah semuanya sesuai apa yang kamu ingin kok.”
Karina menggeleng cepat, dia membalas menggenggam pergelangan tangan Ucup. “Tidak, taku tidak apa-apa ini hanya luka kecil karena aku tidak sengaja memecahkan gelas kemarin.”
“Kalau begitu, kamu bisa jelaskan mengenai keterkaitan antara bergantinya figura di lorong dapur dengan luka kamu? Dan juga apa yang aku temukan ini, Karina? Apa gelas memiliki ketebalan setebal ini dan juga terdapat di samping lemari pendingin?”
“Kalau begitu, kamu bisa jelaskan mengenai keterkaitan antara bergantinya figura di lorong dapur dengan luka kamu? Dan juga apa yang aku temukan ini, Karina? Apa gelas memiliki ketebalan setebal ini dan juga terdapat di samping lemari pendingin?”Karina tesenyum cantik pada Aron yang semakin mendekat kea rahnya. “Kakak inget nggak gelas yang di beri Mama Hanim buat aku, sebulan yang lalu?”“Mama aku?” tanya Aron pada Karina. Ah, iya ingat. Mamanya itu memang memberikan gelas cantik pada Karina, sebagai oleh-oleh dari Malang. “Tapi, emang gelasnya setebal ini, ya? Perasaan biasa saja.”Lagi-lagi Karina harus mengeluarkan trik ini untuk membuat semua orang yang mencurigainya, menjadi percaya. Dia melihat pada Chelsy, “Kak Chelsy pasti tahu kan bagaiman bentuk dari gelas yang di berikan Mama Hanim buat aku, kan kakak sendiri juga lihat dan pegang gelas itu kan? Kakak percaya kan sama aku?”Gadis itu mendadak membolakan matanya. Apa ini, “Iya, aku memang melihat dan menyentuhya. Tapi aku
Hari ini membosankan. Sangat membosankan. Gadis itu mengusak rambut panjangnya tidak karuan, ingin sekali dia marah-maah saat ini. Dia tidak bisa melakukan apapun selain mendengus dengan suara kecil, bantal keras yang ada ia pakai terasa mengejek dirinya yang manja. Lagi-lagi dia ingin mengambil ponselnya dan menelpon Ucup atau Nanta. Kemudian mengadu tentang segalanya.Kembali dia lentangkan tubuhnya, lama-lama perutnya ikut keram dan terasa perih kalau terus dalam posisi tersebut. Dia mendesis kesal, “Awas saja kalian anak-anak kanal. Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja, berani-beraninya mereka memberikan sambutan tidak terhormat seperti itu,” gerutunya, alisnya menyatu dengan dahi mengerut lucu.Masih terekam walaupun tidak jelas saat bola itu menerjang dirinya, menyasak perutnya hingga dia terbaring menyedihkan seperti ini. Dia tatap malas atap putih pucat di atasnya, kemudian matanya bergulir ke samping. Pintu kamarnya dengan Floe tertutup rapat, dengan gantungan baju ya
Karina menurunkan wajah kesalnya, “Ditampar?” tanyanya mengulang peryataan Floe.Yang ditanyai mengangguk dengan cepat. Nasi bungkusnya telah ia buka di atas piring yang dia ambil tadi, juga botol mineral yang telah terbuka dan meminumnya setengah sebelum menjawab pertanyaan dari Karina. “Aku mendengarnya dari Anhe tadi, karena kemarin saat Sarah menggendongmu ke UKS, hanya aku dengan dia. Sedangkan Anhe dan Kate dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk penyambutan. Dan kamu tahu, ternyata guru yang mengetahui kejadian dan siswa yang melukaimu langsung memanggil ayah dua anak itu dan menggabungkan kedua acara berbeda itu sekaligus!”Tangannya terulur mengambil piring lain yang disorkan oleh Floe, “Kok kamu nggak bilang sama aku soal ini dari semalem?”Floe mengerutkan bibir, “Kan aku tahunya dari Anhe saat kita sama-sama di ruang olahraga pagi tadi. Asalnya Kate bilang nggak usah bicaraain ini sama kamu, takutnya nanti kamu tambah pikiran. Sarah juga setuju yang keberulan dengar hal in
Kerutan di sepanjang dahi Karina membuat Chelsy yang ada di hadapannya hanya bisa tersenyum tipis. Dia menoleh ke samping pada pintu yang tertutup, meninggalkan dia dan Karina yang terus melihatnya penuh pertayaan. Ucup telah pergi dengan seseorang yang memanggilnya tadi, Chelsy kembali menatap Karina. “Kamu jadi mau makan apa? Sebelum ke mari tadi, aku sempat melihat restoran Prancis yang ada di pertigaan depan sebelum pom bensin. Mau makan itu? Aku belikan sekarang-“ “Jangan mengalihkan pembicaraan Kak, itu kenapa Sarah panggil Kak Ucup dengan nama Jehan? Ada yang tidak aku ketahui?” tanya Karina sekali lagi, punggungnya dia sandarka penuh pada dinding dengan tangan yang mengelus perutnya dengan tepukan lembut. Saat Sarah tiba-tiba menyembul dari balik pintu, dan memanggil Ucup dengan nama Jehan. Karina merasa tidak tahu apapun, bahkan tadi Chelsy tersenyum ramah pada gadis kehutanan itu. Tentu saja dia penasaran, karena selama hampir 3 tahun bersama tidak pernah ada yang memangg
Dua anak manusia dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh itu saling melirik satu sama lain, sudah hampir lima menit mereka seperti ini. Terlihat seperti sama-sama menyukai ketenangan, sebagai refleksi diri mereka. Walau kenyataannya cukup meragukan, yang sama sekali tidak terbukti.Saat menemukan siapa sumber suara ngoip itu, Karina langsung berdiri dari duduknya dan berganti tempat. Dia susah payah menundudukkan dirinya di atas tanah, kemudian menatap anak laki-laki itu secara saksama dalam diam. Gadis itu mengusap wajahnya, “Hey, kenapa kamu diam saja. Ayo, minta maaf sekali lagi, aku tadi tidak begitu memperhatikannya. Sekarang coba ulangi, dan aku akan memperhatikannya sekali lagi.”Karina akhirnya membuka suara, setelah anak laki-laki yang tidak ia ketahui namanya itu belum berani membuka mulut. Jadi, dia berinisiatif untuk memulainya. Anggap saja sebagai permulaan dia menjadi seorang guru besok, yang sekaligus pemegang kelas anak ini. Sebenarnya dari segi manapun, Karina ingin
Karina melemaskan punggungnya pada pohon besar di belakangnya, dia tatap dua anak manusia yang saling nyuap-menyuapi itu. Dirinya dilupakan begitu saja, bahkan tidak ditawari sedikitpun. Kan, dia juga ingin mencobanya, entah apa itu namanya.Hembusan napas kasar di keluarkan, matanya terpejam erat. Mengusap perutnya yang terasa nyeri kembali, ini sudah terlalu sore. Namun, dia masih tetap di sini. Tidak jelas, dan tidak jelas pokonya. Biasanya sore-sore seperti ini, perutnya akan di kompres dengan kain hangat yang di celupkan dari air hangat. Saat dia kembali mungkin Floe akan marah-marah tidak jelas.Tidak ada yang bisa Karina lakukan selain menikmati angin hangat sore hari ini, tiba-tiba pundak sempitnya terasa ada yang menjawil kecil. Matanya terbuka, menoleh ke kanan pada wajah tampan remaja laki-laki itu. “Apa?” Sastra, dia memajukan duduknya menjadi di samping Karina. Berdempet dengan gadis itu dengan sebungkus batagor yang tinggal setengah, yang diacungkan di depan wajah canti
Karina menatap dirinya di depan kaca, pagi ini dia sudah siap dengan kemeja soft blue dan celana hitam panjang. Dia harus bisa memulai pagi ini dengan baik, kelas pertamanya harus berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sesuatu membuatnya mengerutkan kening, perutnya kembali terasa mulas.Gadis cantik itu membuang napas kesal, namun tetap berjalan menuju kamar mandi. Saat dia berlari dari kamar pertama ke belakang, seluruh teman-temannya menatapnya kasihan.“Aku menyesal merekomendasikan sambal untuk makan malam kemarin,” desah Anhe melas. Gadis itu telah siap dengan pakaian olahraga nya dengan ransel di pundak. Sebagai guru olahraga, entah kenapa dia menetapkan harus berangkat sangat pagi untuk sedikit pemanasan sebelum mengajar. Namun saat melihat Karina yang sudah bolak-balik ke kamar mandi, membuat dia enggan untuk segera berangkat. Selain kasihan, dia juga merasa bersalah.Flora ke luar dengan setelan manisnya, kemeja putih dengan ro
“Kamu tuh kenapa, sih? Ngomong dong kalau ada masalah, jangan diam kayak nggak punya mulut gitu!”Sastra menyembunyikan telinganya rapat-rapat, dia lebih memilih membereskan daun-daun yang berguguran di taman sekolah. Kemudian akan berlanjut di lapangan voli, sepak bola dan yang lainnya, yang perting ada daunnya. Itulah yang dikatakan oleh Karina sebagai hukuman mereka, sejujurnya ini adalah hukuman pertama yang mereka dapatkan meskipun sudah berulang kali terlambat.Astra membanting sapu taman yang ada di tangannya, dia berjalan cepat ke arah adiknya yang sedang berpura-pura tidak mendengar apa yang dia katakan sejak tadi. “Sastra, kamu kenapa? Jangan diam aja. Kamu buat aku kesal tahu nggak!”Sastra berjongkok, tangan kirrinya memegang kantong sampah yang dia pegangi agar tetap terbuka. Sedangkan tangan kanannya meraup daun-daun yang teelah kakaknya kumpulkan dengan sapu. Remaja itu menundukkan kepalanya, enggan bertatapan dengan Sastra yang telah berdiri di depannya. Menghalangi si
“Bu Karina? Tidak sekalian masuk?”Karina menoleh mendengar panggilan itu, senyum tipis dia berikan pada salah satu guru yang menegurnya. “Ah, tidak Bu. Saya akan ikut mobil anak-anak olimpiade saja.”“Kalau begitu saya dulu, ya.”Anggukan singkat dia berikan, Karina baru saja kembali dari ruangan kepala sekolah dan hal itu membuatnya atnya pusing, apa maksud dari laki-laki paruh baya itu tentang-“Bu Karina? Semobil dengan kita, kan?”-menjaga si kembar. “Sastra? Kenapa?” Itu Sastra yang datang dan langsung bertanya kepadanya, berdiri dengan senyum tampan yang merayu. Sedangkan di belakang anak remaja itu ada kakaknya yang berjalan gontai sepeti tidak berminat. “Tidak kenapa-kenapa sih, cuma kan kita harus bertiga duduknya. Jadi, aku menawarkan kepada Bu Karina buat sebangku sama kita.”“Kursi yang dua bisa kali, nggak usah ngajak orang lagi.”Sastra menoleh dan menggeleng pada Astra yang memasang wajah jengah. “Baiklah, kebetulan mobil guru yang mengantarkan juga tidak muat. Jadi,
Ini hari ketiga mereka belajar dan saling berdiskusi meskipun dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Terkadang Sastra akan menjawab dengan lancar soal yang tidak dipahami oleh Milay di bidang Kimia."Kenapa jadi lebih paham kamu dari pada aku?""Tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang aku ketahui. Itu saja.""Tapi, tetap saja. Itu tidak menyenangkan. Seharusnya kamu fokus pada bidangmu, bukan malah menguasai bidang milikku.""Aku benar-benar tidak mengerti , Milay. Kenapa kamu jadi marah?""Aku nggak marah.""Nggak marah, tapi kamu iri kan dengan Sastra? yang bisa menjawab soal yang sedari tadi membuat mulut lemesmu itu terus berkicau." Astra mengangkat penanya menunjuk pada Miley yang duduk di depannya. "Diam atau pena ini melayang padamu."Gadis cantik itu mendengus, mendengar kalimat ancaman dari Astra. Dia yang akan kembali melayangkan bantahan jadi menahan diri. Lenggang, ke-empat anak itu mulai fokus pada soal-soal yang diberikan Karina. Memang benar bukan Karina yang sepen
“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan, Bu Karina?”Karina menggeleng dengan senyum tipis, “Tidak ada, Pak Bam. Tapi, jika nanti saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah boleh?”“Tentu saja boleh, kapanpun anda ingin bertanya saya siap sedia.” Pak Bam menutup laptop miliknya, “Semua file tentang kelas 10A 1 sudah saya kirimkan kepada anda lewat E-mail, jika anda merasa ada file yang terlewat yang belum saya kirimkan, silahkan kabari saya juga.”Ini sudah waktunya jam akan pulang sekolah akan tiba, sedari istirahat pertama Karina dan Pak Bam sudah ada di ruang rapat tadi untuk membicarakan secara keseluruhan apa yang harus Karina lakukan. Di mulai dari menyusun biodata lengkap sekaligus mengisinya di forum olimpiade dan menyiapkan para pesertanya.“Saya sangat berterima kasih, karena Bapak sudah scara sukarela untuk membantu saya. Saya yang awam ini tidak cukup mempunyai ilmu yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan, saya sangat memerlukan bantuan kalian.”Pak Bam tersenyu
Jalannya yang lunglai sangat mencerminkan rasa lelahnya, kepalanya mendongak saat melihat rumah peristirahatannya sudah ada di depan mata. Langkahnya dia bawa lebih cepat, punggungnya menunduk seraya mencopot sepatu dan kaus kakinya. Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada siapapun disana. Ah, ini sudah jam setengah 8 mungkin mereka sudah ada yang tidur atau sedang beristirahat di dalam kamar. Karina tidak mau berpikir tentang alasan lainnya, dia lelah. Dia terus berjalan sampai di depan kamarnya dan Floe untuk satu bulan ke depan, pintu dia buka dan segera masuk. Ransel di pundaknya dia tempatkan di samping ranjangnya, kemeja soft blue miliknya dia lepas hingga menyisakan tanktop putih miliknya.Tangan kanannya menyambar handuk, dia akan mandi setelah itu baru tidur. Kaos putih lengan pendek dan celana training hitam, menjadi pilihannya untuk malam ini. Saat dia akan membuka pintu kamar, dari arah luar pintu itu terbuka terlebih dahulu. Floe yang datang masuk, gadis pirang bermata bir
Hembusan napasnya terlihat berantakan, peluh di dahi dan memar di sudut bibirnya ia usap kasar. Kakinya melangkah maju dengan tangan yang kembali memukul keras perut lawannya, juga menangkis kasar lengan yang mencoba menangkapnya. Gerakannya gesit dengan membanting tubuh salah satu lawannya ke atas lantai.Satu pukulan lagi-lagi melayang ke depan wajahnya, dia cekal lengan itu dan memutarnya hingga menimbulkan bunyi.Krak!“Ahh!”“Dengar, aku akan membiarkan kalian mengejek tentang diriku. Tapi, tidak untuk adik maupun keluargaku. Dan inilah yang kalian dapatkan dari apa yang kalian lakukan.”“Hey! Sopanlah pada pada Kakak kelasmu, akh!”Tubuh tinggi di genggamannya dia dorong hingga menghantamkan tubuh lawan yang telah ia kalahkan sebelumnya. Senyuman licik dan sinis, dia keluarkan. “Masa bodoh, jika kalian adalah kakak kelas ataupun guru sekalipun. Ayo, masih mau bertarung?”Salah satu pemuda bangkit dari lentangnya, kemudian mencoba bangkit lagi. “Seharusnya kamu itu sadar diri, te
“Terimakasih, Bu Anim,” ucapnya pendek seraya berjalan menjauhi area kantin yang ramai oleh anak-anak. Matanya mengedar ke seluruh penjuru area kantin, melihat-lihat adakah tempat yang cocok untuk memakan makan siangnya.Tiba-tiba dia teringat dengan taman di belakang sekolah. Apa dia ke sana saja ya? Tapi, bagaimana kalau si kembar masih ada di sana? Saat ini Karina benar-benar masih tidak mau melihat mereka berdua. Entahlah, dia juga tidak mengerti dengan hatinya sendiri.Kemarin-kemarin dia masih semangat untuk membuat analisanya sekaligus menjadi guru yang baik. Namun, setelah mengetahui keadaan Astra dan Sastra membuatnya sedikit enggan, semangatnya surut. Di mulai saat dia memberitahu guru BK,bahwa dia telah menghukum dua kembar nakal itu. Kemudian ia meminta data diri dan map merah tentang dua anak itu.Karina menggenggam erat kantong kresek yang berisi dua roti selai isi daging dan dua kotak susu putih. Gadis itu memutuskan untuk pergi
“Kamu tuh kenapa, sih? Ngomong dong kalau ada masalah, jangan diam kayak nggak punya mulut gitu!”Sastra menyembunyikan telinganya rapat-rapat, dia lebih memilih membereskan daun-daun yang berguguran di taman sekolah. Kemudian akan berlanjut di lapangan voli, sepak bola dan yang lainnya, yang perting ada daunnya. Itulah yang dikatakan oleh Karina sebagai hukuman mereka, sejujurnya ini adalah hukuman pertama yang mereka dapatkan meskipun sudah berulang kali terlambat.Astra membanting sapu taman yang ada di tangannya, dia berjalan cepat ke arah adiknya yang sedang berpura-pura tidak mendengar apa yang dia katakan sejak tadi. “Sastra, kamu kenapa? Jangan diam aja. Kamu buat aku kesal tahu nggak!”Sastra berjongkok, tangan kirrinya memegang kantong sampah yang dia pegangi agar tetap terbuka. Sedangkan tangan kanannya meraup daun-daun yang teelah kakaknya kumpulkan dengan sapu. Remaja itu menundukkan kepalanya, enggan bertatapan dengan Sastra yang telah berdiri di depannya. Menghalangi si
Karina menatap dirinya di depan kaca, pagi ini dia sudah siap dengan kemeja soft blue dan celana hitam panjang. Dia harus bisa memulai pagi ini dengan baik, kelas pertamanya harus berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sesuatu membuatnya mengerutkan kening, perutnya kembali terasa mulas.Gadis cantik itu membuang napas kesal, namun tetap berjalan menuju kamar mandi. Saat dia berlari dari kamar pertama ke belakang, seluruh teman-temannya menatapnya kasihan.“Aku menyesal merekomendasikan sambal untuk makan malam kemarin,” desah Anhe melas. Gadis itu telah siap dengan pakaian olahraga nya dengan ransel di pundak. Sebagai guru olahraga, entah kenapa dia menetapkan harus berangkat sangat pagi untuk sedikit pemanasan sebelum mengajar. Namun saat melihat Karina yang sudah bolak-balik ke kamar mandi, membuat dia enggan untuk segera berangkat. Selain kasihan, dia juga merasa bersalah.Flora ke luar dengan setelan manisnya, kemeja putih dengan ro
Karina melemaskan punggungnya pada pohon besar di belakangnya, dia tatap dua anak manusia yang saling nyuap-menyuapi itu. Dirinya dilupakan begitu saja, bahkan tidak ditawari sedikitpun. Kan, dia juga ingin mencobanya, entah apa itu namanya.Hembusan napas kasar di keluarkan, matanya terpejam erat. Mengusap perutnya yang terasa nyeri kembali, ini sudah terlalu sore. Namun, dia masih tetap di sini. Tidak jelas, dan tidak jelas pokonya. Biasanya sore-sore seperti ini, perutnya akan di kompres dengan kain hangat yang di celupkan dari air hangat. Saat dia kembali mungkin Floe akan marah-marah tidak jelas.Tidak ada yang bisa Karina lakukan selain menikmati angin hangat sore hari ini, tiba-tiba pundak sempitnya terasa ada yang menjawil kecil. Matanya terbuka, menoleh ke kanan pada wajah tampan remaja laki-laki itu. “Apa?” Sastra, dia memajukan duduknya menjadi di samping Karina. Berdempet dengan gadis itu dengan sebungkus batagor yang tinggal setengah, yang diacungkan di depan wajah canti