Karina menurunkan wajah kesalnya, “Ditampar?” tanyanya mengulang peryataan Floe.
Yang ditanyai mengangguk dengan cepat. Nasi bungkusnya telah ia buka di atas piring yang dia ambil tadi, juga botol mineral yang telah terbuka dan meminumnya setengah sebelum menjawab pertanyaan dari Karina. “Aku mendengarnya dari Anhe tadi, karena kemarin saat Sarah menggendongmu ke UKS, hanya aku dengan dia. Sedangkan Anhe dan Kate dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk penyambutan. Dan kamu tahu, ternyata guru yang mengetahui kejadian dan siswa yang melukaimu langsung memanggil ayah dua anak itu dan menggabungkan kedua acara berbeda itu sekaligus!”
Tangannya terulur mengambil piring lain yang disorkan oleh Floe, “Kok kamu nggak bilang sama aku soal ini dari semalem?”
Floe mengerutkan bibir, “Kan aku tahunya dari Anhe saat kita sama-sama di ruang olahraga pagi tadi. Asalnya Kate bilang nggak usah bicaraain ini sama kamu, takutnya nanti kamu tambah pikiran. Sarah juga setuju yang keberulan dengar hal inipun setuju untuk nggak usah bilang sama kamu.”
“Kalau nggak dibolehin, kenapa kamu bilang sama aku?”
“Gimana, ya. Sebagai seseorang yang cukup tahu kamu gimana, mending bicarain ini. Dari pada nanti kamu tahu dari orang dan buat semuanya tambah rumit. Benar, kan aku?” Floe melahab satu suapan pertamanya setelah memberikan pertayaan pada Karina.
“Iya, kalau kamu memberitahu aku kayak gini. Aku bisa mempertimbangkan sikapku kepada mereka nanti, kamu benar.”
Karina menatap nasi bungkus yang telah ia buka. Ada nasi sebesar kepalan tangannya, ayam suwir dengan sambal yang membuat perutnya bergemuruh tidak karuan. Dia pikir, masalah yang terjadi sama dia adalah masalah simple. Tidak dia sangka kalau masalah ini sampai mendapat tamparan segala. Karina menghembuskan napas lelah, hampir saja dia berfikiran akan menghukum kedua anak-anak itu habis-habisan setelah dia sembuh dan masuk nanti.
Meskipun dia tidak tahu rasanya dimarahin sampai ditampar oleh orang tua, yang sejatinya sudah tidak ia miliki sejak ia menginjak sekolah kelas 3. Tapi, mendengar kata tampar apalagi dihadapan orang lain, bukankah itu tidak baik. Bukan Karina ingin menghakimi ayah dari kembar yang telah membuatnya seperti ini, namun terasa menyakitkan saja jika hal itu terjadi pada dirinya.
Karina menyerngitkan dahinya saat mengingat sesuatu, dia menoleh pada Floe yang telah menikmati makannya, “Kamu bilang tadi, Sarah yang membawa aku ke ruang kesehatan saat itu?”
“Iya, memangnya kamu nggak tahu? Yang bawa kamu ke sini juga dia, kuat banget tahu dia. Tapi, kalau lihat kamu gini, wajar sih kan kamu kecil.”
Lupakan tentang Floe yang mengejek dia kecil atau ringan, sejak kapan Sarah anak kehutanan itu mau membantu dia? Sejak pertemuan pertama mereka di depan ruangan khusus milik Ucup, gadis tinggi itu sama sekali tidak menyukai dirinya. Melihat Karina seolah dia adalah musuh bebuyutan yang telah mengenal lama, padahal saat itu adalah kali pertama mereka bertemu. “Aneh nggak sih, Sarah mau bantuin aku? Susah payah gendong pula. Apa dia punya dua kepribadian?”
“Jangan ngaco, Karina. Sarah emang baik kok orangnya, sayangnya dia tuh judes, terus suka lirik-lirik nggak jelas. Udah, jangan mikir yang aneh-aneh. Habiskan dulu itu makannya, nanti kalau semakin dingin malah nggak enak.”
Anggukan malas Karina berikan, dia mencoba tidak terlalu memikirkan masalah tentang Sarah. Meskipun dia masih kesal dengan tingkah anak itu kemarin-kemarin, tapi dia harus berterima kasih atas bantuan yang dia berikan waktu itu. Dan, Karina kini harus memfokuskan perhatiannya pada nasi di depannya, satu suap sendokk masuk dan dia langsung merasakan gemuruh pada perutnya.
...
“Mau makan apa? Mau sate? Soto? Kebab? Atau kamu mau makanan prancis kayak biasanya? Apa, apa kamu mau apa?”
Karina menutup matanya rapat-rapat mendengar ocehan Chelsy yang tidak ada habisnya, “Kak, kakak belum tanya keadaanku gimana?”
Chelsy mendudukkan dirinya di samping Karina, gadis itu baru saja datang dan langsung mencerca Karina dengan pertayaan. Dia menghembuskan napas pelan, kemudian menarik kedua tangan Karina untuk ia genggam. “Maaf, aku benar-benar khawatir dengan keadaan kamu. Aku juga minta maaf baru menjengukmu hari ini, kemarin-kemarin kita sangat sibuk hingga tidak punya waktu untuk hal lain.”
“Kenapa harus meminta maaf, aku hanya sakit bukan sekarat. Kalian nggak perlu jauh-jauh hanya untuk menjenguk aku, lagi pula aku sudah baik-baik saja kok,” ucap Karina dengan tambahan jawaban dari pertayaan yang ia ajukan sendiri. “Yang lain mana? Kakak tidak datang sendiri, kan?”
“Tidak, aku datang dengan Ucup, hanya dia dan aku yang tidak punya jadwal hari ini. Jadi, aku berinisiatif untuk menjenguk kamu. Mereka hanya titip salam buat kamu, maaf ya,” Chelsy tiba-tiba memajukan badannya, memeluk erat Karina dengan perasaan legah yang begitu membuncah. Saat ucup mendapatkan kabar bahwa Karina sedang sakit karena suatu insiden, dia tidak dapat berpikir jernih dan ingin langsung mengunjungi Karina. Namun, dia tidak bisa. Karena hari itu juga mereka sudah setengah dari perjalanan.
Karina memang pernah sakit, bahkan lebih dari ini. Tapi, Chelsy tidak pernah bertingkah tiba-tiba seperti ini. Terlihat sangat menghawatirkan dirinya dan seolah membuat dia telah melakukan sesuatu yang fatal. “Kak, aku sungguh baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir, besok aku sudah bisa beraktifitas kok. Lagi pula jadwalku banyak yang kosong dan terbengkalai. Jadi, aku harus segera mengisinya dan menggantinya.”
“Beneran sudah tidak apa-apa? Sudah tidak keram?”
Karina melepaskan pelukannya, “Perutku sudah baik-baik saja, selama dua hari ini Floe rajin memberikan aku minuman air hangat dan mengompres perutku dnegan air hangat juga.”
“Hai, Karina. Sudah merasa lebih baik?” Ucup menyembulkan kepalanya pada pintu yang terbuka dan masuk perlahan ke dalam kamar.
Karina mengangguk, mendadak wajahnya menjadi masam. “Iya, aku sudah baik-baik saja. Dna katakan pada mereka semua, kalau aku sudha baik-baik saja. Dan besok aku sudah bisa memulai kegiatan ku mengajar. Aku sungguh tidak bisa terus berdiam seperti orang bodoh, sednagkan mereka semua sudah menjalankan tugas.”
Ucup tertawa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Chelsy, “Aku sudah bilang pada mereka kok, tenang aja. Akujuga tahu, kamu tidak akan sakit terlalu lama, kan?”
“Tentu saja,” sahut Karina dengan cepat.
“Lalu, bagaimana dengan anak yang telah membuatmu seperti ini, Karina? Apakah mereka sudah mendapatkan hukuman?” tanya Chelsy penasaran.
“Kak Ucup pasti sudah tahu, kakak tanya saja ada dia. Aku sedang malas menjelaskan.”
Chelsy mengangkat sudut bibirnya ke atas tanpa senyum, kemudian melirik Ucup yang menyeringgai ke arahnya. “Iya, iya. Aku akan mendengarkannya bersama anak-anak nanti.”
Ucup kembali bertanya mengenai progam yang sudah dibagi sama rata menjadi tugas tersebut pada Karina, dan Karina akan dengan senang hati membicarakan panjang lebar dan meminta nasihat atau saran. Chelsy yang merupakan anak hemat garis keras terus masih bertanya apakah Karina menginginkan sesuatu, namun Karina menolaknya dan berakhir Chelsy yang kesal karena diabaikan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar, kepala hitam panjang menyembul dari sana dengan suara datar, “Kak Jehan, aku mau bicara.”
Karina mengangkat alisnya, “Kak Jehan, siapa?”
Kerutan di sepanjang dahi Karina membuat Chelsy yang ada di hadapannya hanya bisa tersenyum tipis. Dia menoleh ke samping pada pintu yang tertutup, meninggalkan dia dan Karina yang terus melihatnya penuh pertayaan. Ucup telah pergi dengan seseorang yang memanggilnya tadi, Chelsy kembali menatap Karina. “Kamu jadi mau makan apa? Sebelum ke mari tadi, aku sempat melihat restoran Prancis yang ada di pertigaan depan sebelum pom bensin. Mau makan itu? Aku belikan sekarang-“ “Jangan mengalihkan pembicaraan Kak, itu kenapa Sarah panggil Kak Ucup dengan nama Jehan? Ada yang tidak aku ketahui?” tanya Karina sekali lagi, punggungnya dia sandarka penuh pada dinding dengan tangan yang mengelus perutnya dengan tepukan lembut. Saat Sarah tiba-tiba menyembul dari balik pintu, dan memanggil Ucup dengan nama Jehan. Karina merasa tidak tahu apapun, bahkan tadi Chelsy tersenyum ramah pada gadis kehutanan itu. Tentu saja dia penasaran, karena selama hampir 3 tahun bersama tidak pernah ada yang memangg
Dua anak manusia dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh itu saling melirik satu sama lain, sudah hampir lima menit mereka seperti ini. Terlihat seperti sama-sama menyukai ketenangan, sebagai refleksi diri mereka. Walau kenyataannya cukup meragukan, yang sama sekali tidak terbukti.Saat menemukan siapa sumber suara ngoip itu, Karina langsung berdiri dari duduknya dan berganti tempat. Dia susah payah menundudukkan dirinya di atas tanah, kemudian menatap anak laki-laki itu secara saksama dalam diam. Gadis itu mengusap wajahnya, “Hey, kenapa kamu diam saja. Ayo, minta maaf sekali lagi, aku tadi tidak begitu memperhatikannya. Sekarang coba ulangi, dan aku akan memperhatikannya sekali lagi.”Karina akhirnya membuka suara, setelah anak laki-laki yang tidak ia ketahui namanya itu belum berani membuka mulut. Jadi, dia berinisiatif untuk memulainya. Anggap saja sebagai permulaan dia menjadi seorang guru besok, yang sekaligus pemegang kelas anak ini. Sebenarnya dari segi manapun, Karina ingin
Karina melemaskan punggungnya pada pohon besar di belakangnya, dia tatap dua anak manusia yang saling nyuap-menyuapi itu. Dirinya dilupakan begitu saja, bahkan tidak ditawari sedikitpun. Kan, dia juga ingin mencobanya, entah apa itu namanya.Hembusan napas kasar di keluarkan, matanya terpejam erat. Mengusap perutnya yang terasa nyeri kembali, ini sudah terlalu sore. Namun, dia masih tetap di sini. Tidak jelas, dan tidak jelas pokonya. Biasanya sore-sore seperti ini, perutnya akan di kompres dengan kain hangat yang di celupkan dari air hangat. Saat dia kembali mungkin Floe akan marah-marah tidak jelas.Tidak ada yang bisa Karina lakukan selain menikmati angin hangat sore hari ini, tiba-tiba pundak sempitnya terasa ada yang menjawil kecil. Matanya terbuka, menoleh ke kanan pada wajah tampan remaja laki-laki itu. “Apa?” Sastra, dia memajukan duduknya menjadi di samping Karina. Berdempet dengan gadis itu dengan sebungkus batagor yang tinggal setengah, yang diacungkan di depan wajah canti
Karina menatap dirinya di depan kaca, pagi ini dia sudah siap dengan kemeja soft blue dan celana hitam panjang. Dia harus bisa memulai pagi ini dengan baik, kelas pertamanya harus berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sesuatu membuatnya mengerutkan kening, perutnya kembali terasa mulas.Gadis cantik itu membuang napas kesal, namun tetap berjalan menuju kamar mandi. Saat dia berlari dari kamar pertama ke belakang, seluruh teman-temannya menatapnya kasihan.“Aku menyesal merekomendasikan sambal untuk makan malam kemarin,” desah Anhe melas. Gadis itu telah siap dengan pakaian olahraga nya dengan ransel di pundak. Sebagai guru olahraga, entah kenapa dia menetapkan harus berangkat sangat pagi untuk sedikit pemanasan sebelum mengajar. Namun saat melihat Karina yang sudah bolak-balik ke kamar mandi, membuat dia enggan untuk segera berangkat. Selain kasihan, dia juga merasa bersalah.Flora ke luar dengan setelan manisnya, kemeja putih dengan ro
“Kamu tuh kenapa, sih? Ngomong dong kalau ada masalah, jangan diam kayak nggak punya mulut gitu!”Sastra menyembunyikan telinganya rapat-rapat, dia lebih memilih membereskan daun-daun yang berguguran di taman sekolah. Kemudian akan berlanjut di lapangan voli, sepak bola dan yang lainnya, yang perting ada daunnya. Itulah yang dikatakan oleh Karina sebagai hukuman mereka, sejujurnya ini adalah hukuman pertama yang mereka dapatkan meskipun sudah berulang kali terlambat.Astra membanting sapu taman yang ada di tangannya, dia berjalan cepat ke arah adiknya yang sedang berpura-pura tidak mendengar apa yang dia katakan sejak tadi. “Sastra, kamu kenapa? Jangan diam aja. Kamu buat aku kesal tahu nggak!”Sastra berjongkok, tangan kirrinya memegang kantong sampah yang dia pegangi agar tetap terbuka. Sedangkan tangan kanannya meraup daun-daun yang teelah kakaknya kumpulkan dengan sapu. Remaja itu menundukkan kepalanya, enggan bertatapan dengan Sastra yang telah berdiri di depannya. Menghalangi si
“Terimakasih, Bu Anim,” ucapnya pendek seraya berjalan menjauhi area kantin yang ramai oleh anak-anak. Matanya mengedar ke seluruh penjuru area kantin, melihat-lihat adakah tempat yang cocok untuk memakan makan siangnya.Tiba-tiba dia teringat dengan taman di belakang sekolah. Apa dia ke sana saja ya? Tapi, bagaimana kalau si kembar masih ada di sana? Saat ini Karina benar-benar masih tidak mau melihat mereka berdua. Entahlah, dia juga tidak mengerti dengan hatinya sendiri.Kemarin-kemarin dia masih semangat untuk membuat analisanya sekaligus menjadi guru yang baik. Namun, setelah mengetahui keadaan Astra dan Sastra membuatnya sedikit enggan, semangatnya surut. Di mulai saat dia memberitahu guru BK,bahwa dia telah menghukum dua kembar nakal itu. Kemudian ia meminta data diri dan map merah tentang dua anak itu.Karina menggenggam erat kantong kresek yang berisi dua roti selai isi daging dan dua kotak susu putih. Gadis itu memutuskan untuk pergi
Hembusan napasnya terlihat berantakan, peluh di dahi dan memar di sudut bibirnya ia usap kasar. Kakinya melangkah maju dengan tangan yang kembali memukul keras perut lawannya, juga menangkis kasar lengan yang mencoba menangkapnya. Gerakannya gesit dengan membanting tubuh salah satu lawannya ke atas lantai.Satu pukulan lagi-lagi melayang ke depan wajahnya, dia cekal lengan itu dan memutarnya hingga menimbulkan bunyi.Krak!“Ahh!”“Dengar, aku akan membiarkan kalian mengejek tentang diriku. Tapi, tidak untuk adik maupun keluargaku. Dan inilah yang kalian dapatkan dari apa yang kalian lakukan.”“Hey! Sopanlah pada pada Kakak kelasmu, akh!”Tubuh tinggi di genggamannya dia dorong hingga menghantamkan tubuh lawan yang telah ia kalahkan sebelumnya. Senyuman licik dan sinis, dia keluarkan. “Masa bodoh, jika kalian adalah kakak kelas ataupun guru sekalipun. Ayo, masih mau bertarung?”Salah satu pemuda bangkit dari lentangnya, kemudian mencoba bangkit lagi. “Seharusnya kamu itu sadar diri, te
Jalannya yang lunglai sangat mencerminkan rasa lelahnya, kepalanya mendongak saat melihat rumah peristirahatannya sudah ada di depan mata. Langkahnya dia bawa lebih cepat, punggungnya menunduk seraya mencopot sepatu dan kaus kakinya. Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada siapapun disana. Ah, ini sudah jam setengah 8 mungkin mereka sudah ada yang tidur atau sedang beristirahat di dalam kamar. Karina tidak mau berpikir tentang alasan lainnya, dia lelah. Dia terus berjalan sampai di depan kamarnya dan Floe untuk satu bulan ke depan, pintu dia buka dan segera masuk. Ransel di pundaknya dia tempatkan di samping ranjangnya, kemeja soft blue miliknya dia lepas hingga menyisakan tanktop putih miliknya.Tangan kanannya menyambar handuk, dia akan mandi setelah itu baru tidur. Kaos putih lengan pendek dan celana training hitam, menjadi pilihannya untuk malam ini. Saat dia akan membuka pintu kamar, dari arah luar pintu itu terbuka terlebih dahulu. Floe yang datang masuk, gadis pirang bermata bir
“Bu Karina? Tidak sekalian masuk?”Karina menoleh mendengar panggilan itu, senyum tipis dia berikan pada salah satu guru yang menegurnya. “Ah, tidak Bu. Saya akan ikut mobil anak-anak olimpiade saja.”“Kalau begitu saya dulu, ya.”Anggukan singkat dia berikan, Karina baru saja kembali dari ruangan kepala sekolah dan hal itu membuatnya atnya pusing, apa maksud dari laki-laki paruh baya itu tentang-“Bu Karina? Semobil dengan kita, kan?”-menjaga si kembar. “Sastra? Kenapa?” Itu Sastra yang datang dan langsung bertanya kepadanya, berdiri dengan senyum tampan yang merayu. Sedangkan di belakang anak remaja itu ada kakaknya yang berjalan gontai sepeti tidak berminat. “Tidak kenapa-kenapa sih, cuma kan kita harus bertiga duduknya. Jadi, aku menawarkan kepada Bu Karina buat sebangku sama kita.”“Kursi yang dua bisa kali, nggak usah ngajak orang lagi.”Sastra menoleh dan menggeleng pada Astra yang memasang wajah jengah. “Baiklah, kebetulan mobil guru yang mengantarkan juga tidak muat. Jadi,
Ini hari ketiga mereka belajar dan saling berdiskusi meskipun dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Terkadang Sastra akan menjawab dengan lancar soal yang tidak dipahami oleh Milay di bidang Kimia."Kenapa jadi lebih paham kamu dari pada aku?""Tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang aku ketahui. Itu saja.""Tapi, tetap saja. Itu tidak menyenangkan. Seharusnya kamu fokus pada bidangmu, bukan malah menguasai bidang milikku.""Aku benar-benar tidak mengerti , Milay. Kenapa kamu jadi marah?""Aku nggak marah.""Nggak marah, tapi kamu iri kan dengan Sastra? yang bisa menjawab soal yang sedari tadi membuat mulut lemesmu itu terus berkicau." Astra mengangkat penanya menunjuk pada Miley yang duduk di depannya. "Diam atau pena ini melayang padamu."Gadis cantik itu mendengus, mendengar kalimat ancaman dari Astra. Dia yang akan kembali melayangkan bantahan jadi menahan diri. Lenggang, ke-empat anak itu mulai fokus pada soal-soal yang diberikan Karina. Memang benar bukan Karina yang sepen
“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan, Bu Karina?”Karina menggeleng dengan senyum tipis, “Tidak ada, Pak Bam. Tapi, jika nanti saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah boleh?”“Tentu saja boleh, kapanpun anda ingin bertanya saya siap sedia.” Pak Bam menutup laptop miliknya, “Semua file tentang kelas 10A 1 sudah saya kirimkan kepada anda lewat E-mail, jika anda merasa ada file yang terlewat yang belum saya kirimkan, silahkan kabari saya juga.”Ini sudah waktunya jam akan pulang sekolah akan tiba, sedari istirahat pertama Karina dan Pak Bam sudah ada di ruang rapat tadi untuk membicarakan secara keseluruhan apa yang harus Karina lakukan. Di mulai dari menyusun biodata lengkap sekaligus mengisinya di forum olimpiade dan menyiapkan para pesertanya.“Saya sangat berterima kasih, karena Bapak sudah scara sukarela untuk membantu saya. Saya yang awam ini tidak cukup mempunyai ilmu yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan, saya sangat memerlukan bantuan kalian.”Pak Bam tersenyu
Jalannya yang lunglai sangat mencerminkan rasa lelahnya, kepalanya mendongak saat melihat rumah peristirahatannya sudah ada di depan mata. Langkahnya dia bawa lebih cepat, punggungnya menunduk seraya mencopot sepatu dan kaus kakinya. Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada siapapun disana. Ah, ini sudah jam setengah 8 mungkin mereka sudah ada yang tidur atau sedang beristirahat di dalam kamar. Karina tidak mau berpikir tentang alasan lainnya, dia lelah. Dia terus berjalan sampai di depan kamarnya dan Floe untuk satu bulan ke depan, pintu dia buka dan segera masuk. Ransel di pundaknya dia tempatkan di samping ranjangnya, kemeja soft blue miliknya dia lepas hingga menyisakan tanktop putih miliknya.Tangan kanannya menyambar handuk, dia akan mandi setelah itu baru tidur. Kaos putih lengan pendek dan celana training hitam, menjadi pilihannya untuk malam ini. Saat dia akan membuka pintu kamar, dari arah luar pintu itu terbuka terlebih dahulu. Floe yang datang masuk, gadis pirang bermata bir
Hembusan napasnya terlihat berantakan, peluh di dahi dan memar di sudut bibirnya ia usap kasar. Kakinya melangkah maju dengan tangan yang kembali memukul keras perut lawannya, juga menangkis kasar lengan yang mencoba menangkapnya. Gerakannya gesit dengan membanting tubuh salah satu lawannya ke atas lantai.Satu pukulan lagi-lagi melayang ke depan wajahnya, dia cekal lengan itu dan memutarnya hingga menimbulkan bunyi.Krak!“Ahh!”“Dengar, aku akan membiarkan kalian mengejek tentang diriku. Tapi, tidak untuk adik maupun keluargaku. Dan inilah yang kalian dapatkan dari apa yang kalian lakukan.”“Hey! Sopanlah pada pada Kakak kelasmu, akh!”Tubuh tinggi di genggamannya dia dorong hingga menghantamkan tubuh lawan yang telah ia kalahkan sebelumnya. Senyuman licik dan sinis, dia keluarkan. “Masa bodoh, jika kalian adalah kakak kelas ataupun guru sekalipun. Ayo, masih mau bertarung?”Salah satu pemuda bangkit dari lentangnya, kemudian mencoba bangkit lagi. “Seharusnya kamu itu sadar diri, te
“Terimakasih, Bu Anim,” ucapnya pendek seraya berjalan menjauhi area kantin yang ramai oleh anak-anak. Matanya mengedar ke seluruh penjuru area kantin, melihat-lihat adakah tempat yang cocok untuk memakan makan siangnya.Tiba-tiba dia teringat dengan taman di belakang sekolah. Apa dia ke sana saja ya? Tapi, bagaimana kalau si kembar masih ada di sana? Saat ini Karina benar-benar masih tidak mau melihat mereka berdua. Entahlah, dia juga tidak mengerti dengan hatinya sendiri.Kemarin-kemarin dia masih semangat untuk membuat analisanya sekaligus menjadi guru yang baik. Namun, setelah mengetahui keadaan Astra dan Sastra membuatnya sedikit enggan, semangatnya surut. Di mulai saat dia memberitahu guru BK,bahwa dia telah menghukum dua kembar nakal itu. Kemudian ia meminta data diri dan map merah tentang dua anak itu.Karina menggenggam erat kantong kresek yang berisi dua roti selai isi daging dan dua kotak susu putih. Gadis itu memutuskan untuk pergi
“Kamu tuh kenapa, sih? Ngomong dong kalau ada masalah, jangan diam kayak nggak punya mulut gitu!”Sastra menyembunyikan telinganya rapat-rapat, dia lebih memilih membereskan daun-daun yang berguguran di taman sekolah. Kemudian akan berlanjut di lapangan voli, sepak bola dan yang lainnya, yang perting ada daunnya. Itulah yang dikatakan oleh Karina sebagai hukuman mereka, sejujurnya ini adalah hukuman pertama yang mereka dapatkan meskipun sudah berulang kali terlambat.Astra membanting sapu taman yang ada di tangannya, dia berjalan cepat ke arah adiknya yang sedang berpura-pura tidak mendengar apa yang dia katakan sejak tadi. “Sastra, kamu kenapa? Jangan diam aja. Kamu buat aku kesal tahu nggak!”Sastra berjongkok, tangan kirrinya memegang kantong sampah yang dia pegangi agar tetap terbuka. Sedangkan tangan kanannya meraup daun-daun yang teelah kakaknya kumpulkan dengan sapu. Remaja itu menundukkan kepalanya, enggan bertatapan dengan Sastra yang telah berdiri di depannya. Menghalangi si
Karina menatap dirinya di depan kaca, pagi ini dia sudah siap dengan kemeja soft blue dan celana hitam panjang. Dia harus bisa memulai pagi ini dengan baik, kelas pertamanya harus berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sesuatu membuatnya mengerutkan kening, perutnya kembali terasa mulas.Gadis cantik itu membuang napas kesal, namun tetap berjalan menuju kamar mandi. Saat dia berlari dari kamar pertama ke belakang, seluruh teman-temannya menatapnya kasihan.“Aku menyesal merekomendasikan sambal untuk makan malam kemarin,” desah Anhe melas. Gadis itu telah siap dengan pakaian olahraga nya dengan ransel di pundak. Sebagai guru olahraga, entah kenapa dia menetapkan harus berangkat sangat pagi untuk sedikit pemanasan sebelum mengajar. Namun saat melihat Karina yang sudah bolak-balik ke kamar mandi, membuat dia enggan untuk segera berangkat. Selain kasihan, dia juga merasa bersalah.Flora ke luar dengan setelan manisnya, kemeja putih dengan ro
Karina melemaskan punggungnya pada pohon besar di belakangnya, dia tatap dua anak manusia yang saling nyuap-menyuapi itu. Dirinya dilupakan begitu saja, bahkan tidak ditawari sedikitpun. Kan, dia juga ingin mencobanya, entah apa itu namanya.Hembusan napas kasar di keluarkan, matanya terpejam erat. Mengusap perutnya yang terasa nyeri kembali, ini sudah terlalu sore. Namun, dia masih tetap di sini. Tidak jelas, dan tidak jelas pokonya. Biasanya sore-sore seperti ini, perutnya akan di kompres dengan kain hangat yang di celupkan dari air hangat. Saat dia kembali mungkin Floe akan marah-marah tidak jelas.Tidak ada yang bisa Karina lakukan selain menikmati angin hangat sore hari ini, tiba-tiba pundak sempitnya terasa ada yang menjawil kecil. Matanya terbuka, menoleh ke kanan pada wajah tampan remaja laki-laki itu. “Apa?” Sastra, dia memajukan duduknya menjadi di samping Karina. Berdempet dengan gadis itu dengan sebungkus batagor yang tinggal setengah, yang diacungkan di depan wajah canti