***
Apartemen Elite City
“Aku sudah menemukannya Louis,” ujar Steven saat ia mendatangi Louis di kediamannya.
“Thank you Stev, kamu memang selalu bisa diandalkan,” balas Louis senang.
“Dia sebenarnya cantik, apa dia kekasihmu selain Renata?” pancing Steven.
Louis diam, dalam hati ia sangat cemburu Steven memuji kecantikan Jeni di depannya. Sementara Steven yang melihat ekspresi Louis yang seperti itu langsung tertawa sambil melempar bantal sofa ke arah sepupunya itu, ia tahu kalau Louis tidak rela kekasihnya dipuji oleh laki-laki lain.
“Aku tidak mungkin menyukainya Louis, penampilannya sangat biasa. Mamaku pasti naik pitam jika aku memiliki kekasih yang tidak layak seperti dia,” goda Steven yang sebenarnya ingin menyadarkan Louis agar lebih memperhatikan kehidupan Jeni.
“Tidak layak? Apa maksudmu?” tanya Louis kesal.
“Kutemukan dia di jalan seperti gembel, wajahnya kusam, dan penampilannya bahkan lebih buruk daripada para pelayan di rumahmu,” cela Steven.
“Jaga bicaramu Stev!” bentak Louis tak terima.
“But, aku bicara kenyataan Louis Stanley Saloka, harusnya kamu lebih memperhatikannya, apa kamu tidak malu memiliki kekasih seperti itu? Pantas saja Tante Monica lebih merestui hubunganmu dengan Renata, dia dan Renata bagaikan bumi dan langit, apalagi kulihat tadi tempat tinggalnya berada di gedung tua yang seperti hendak roboh,” papar Steven dengan gaya santainya.
“Dia sudah bukan kekasihku!” teriak Louis.
Steven terkejut sampai mengangkat kedua alisnya, entah kenapa ia ingin sekali memukuli Louis tanpa ampun, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya.
“Oh ya? Lalu kenapa kamu tadi sampai repot menyuruhku mencarinya?” tanya Steven kesal.
“Bukan urusan kamu, lebih baik kamu pergi dari sini Stev, atau aku akan menghajarmu. Ayah sambungmu sudah berkali-kali menelfonku menyuruhmu ke sana,” balas Louis tak kalah kesalnya.
Mendengar hal itu, Steven sebenarnya sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, entah kenapa hatinya sakit sekali mendengar Louis justru sudah tidak mengakui Jeni sebagai kekasihnya, padahal Jeni sedang mengandung anaknya. Steven pun kemudian keluar begitu saja tanpa pamit dari apartemen Louis, ia benar-benar kecewa terhadap sepupunya itu.
Pikiran Steven jadi terpenuhi oleh bayang-bayang Jeni sekarang, diliriknya jam tangan Rolex yang melingkar di tangan kirinya baru saja menunjukkan pukul 20.30, bukan jam yang terlalu malam untuk sekedar mengantarkan makanan ke kos Jeni, pikirnya.
Steven lalu melajukan mobil sport mewahnya menuju mini market terdekat, selain makanan ringan ia juga ingin membelikan susu ibu hamil untuk Jeni. Ya, Steven terlalu peduli pada Jeni, bahkan sebelum ke mini market saat ia melihat tukang martabak manis, ia sampai repot berhenti dan membelikannya untuk Jeni.
***
“Keluarlah sebentar Jen, aku ada di depan gerbang kosmu,” ujar Steven melalui sambungan telepon.
Saat di mobil mengantarkan Jeni pulang tadi, Steven sempat meminta nomor telepon Jeni agar bisa dengan mudah menghubunginya.
“Ada apa Stev?” tanya Jeni kaget.
“Aku hanya ingin mengantarkan makanan untukmu, keluarlah sebentar saja. Di sini mendung gelap, aku takut kehujanan,” balas Steven beralasan agar Jeni segera keluar menemuinya.
“Baiklah, tunggu sebentar aku akan ke sana.”
Sambungan telepon kemudian terputus, dalam hati Jeni tersenyum bahagia bisa mendapatkan teman baru yang baik seperti Steven, setidaknya ia bisa menjadi pelipur lara di saat Louis menyakitinya.
“Banyak sekali Stev, apa saja yang kamu bawa ini? kenapa aku jadi merepotkan kamu seperti ini?” ujar Jeni terkejut melihat Steven dengan barang belanjaan yang begitu banyak, dua kantong kresek putih berukuran tanggung dengan logo mini marketnya dan satu lagi kresek putih polos berisi satu kotak martabak.
“Tidak apa-apa, terima saja! Aku senang bisa membelikannya untukmu.”
“Baiklah, terimakasih banyak Stev.”
“Oke sama-sama. Aku pulang dulu Jen, jangan lupa dimakan ya!” seru Steven dengan senyumannya yang menawan.
Jeni hanya mengangguk dan tersenyum, lalu melambaikan tangannya pada Steven yang hendak melajukan mobilnya.
Mendapat kiriman belanjaan dari Steven, tentu saja membuat hati Jeni begitu senang, bagaimana tidak uang di dompetnya sudah sangat menipis, sementara masih dua minggu lagi ia mendapat gaji yang tak seberapa dari cafe tempatnya bekerja.
Dengan girangnya ia mengecek satu persatu kiriman dari Steven di kamar kosnya, banyak sekali makanan ringan, roti, air mineral dan juga satu hal yang membuat Jeni terharu adalah susu ibu hamil. Jeni sampai langsung berderai air mata saat melihatnya, segitu pedulinya Steven padanya. Sementara Louis sampai detik ini menghubunginya saja tidak.
“Ya Allah, terimakasih telah mengirimkan teman baik seperti Steven padaku.” Isak Jeni sambil mengelus lembut perutnya yang masih rata.
Jeni kemudian menghapus air matanya pelan sambil membuka satu bungkus kresek polos lainnya yang isinya martabak manis, sebenarnya ia sama sekali tidak ingin makan. Perasaannya masih tidak karuan, sedari tadi hanya air putih saja yang masuk dalam kerongkongannya, namun Jeni ingin menghargai Steven yang sudah begitu baik mengirimkan semua itu padanya.
***
Tok... tok... tok...
Pagi-pagi sekali, Tania dan Tamara sudah mengetuk pintu kamar kos Jeni untuk menjemputnya ke kampus, kegiatan rutin mereka berdua setiap pagi saat ada jam kuliah, mereka tahu uang kiriman Jeni dari mamanya yang menjadi TKW di Malaysia sangatlah sedikit, jadi sekesal apapun mereka berdua pada Jeni, mereka tidak akan pernah membiarkan Jeni naik angkutan umum untuk soal urusan pergi ke kampus, dan pagi ini kebetulan ada jadwal setor bab 3 dan 4 untuk skripsi mereka.
“Jeni lama sekali, apa dia belum bangun?” tanya Tamara pada Tania.
Tania hanya mengangkat kedua bahunya, ia masih sangat kesal dengan Jeni, apalagi saat di mobil tadi Tamara menceritakan bahwa Jeni telah melihat sendiri Louis dan Renata di kamar apartemen Louis.
“Jangan kesal gitu Tan, kasihan Jeni. Aku telfon dia sebentar,” ujar Tamara lagi.
Baru saja Tamara hendak mengambil smartphonenya di dalam tas, Jeni sudah muncul dari balik pintu kamar kosnya dengan wajah yang berbunga-bunga. Hal itu membuat Tania dan Tamara mengerutkan keningnya dan bertanya-tanya.
“Bukannya kamu baru saja patah hati? Tapi sekarang...” ujar Tamara menggantungkan kalimatnya karena benar-benar heran.
“Nanti kalian pasti juga tahu, ayo kita berangkat.” Ajak Jeni yang sambil menggandeng lengan kedua sahabatnya menuju parkiran kosnya, Jeni ingin memperkenalkan Steven pada mereka.
“Jen, aku tidak pernah melihat kamu sebahagia ini meskipun bersama Louis, orang yang katamu sempurna dan begitu kamu cintai selama ini, ada apa?” Tanya Tania angkat bicara karena heran.Jeni hanya tersenyum dan ikut masuk ke mobil Tamara tanpa jawaban, membuat Tania dan Tamara semakin penasaran hingga saling berpandangan satu sama lain, heran dengan sikap Jeni yang tidak seperti biasanya.“Tolong jelaskan pada kami Jen,” desak Tamara.“Aku memiliki teman baru, dia sangat baik padaku. Aku sedang berusaha membuat janji padanya hari ini, akan kukenalkan dia pada kalian,”“Apa maksudmu memiliki teman baru? Apa kami berdua kurang bagimu?” protes Tania kesal.“Tidak Tania, dia seorang laki-laki yang telah menyelamatkanku saat aku berusaha bunuh diri kemarin,” jelas Jeni.Tamara dan Tania justru mengomel tidak karuan saat mendengar pengakuan Jeni bahwa ia sampai hendak bunuh diri hanya gar
Jeni melongo bingung melihat Tania dan Tamara yang bercipika-cipiki ria dengan Steven secara bergantian.“Kalian sudah saling kenal?”Steven mengangguk dengan senyumannya yang begitu mengoyakkan hati siapapun yang memandangannya.“Kita dulu satu geng saat SD, geng penyelamatan, dan kali ini kita kembali dipersatukan untuk misi yang sama,” sahut Tamara diiringi gelak tawanya yang disusul oleh Tania dan Steven.Jeni tersenyum dingin, kemudian duduk di kursi di samping Steven karena Steven dengan sigap menarik mundur kursi itu untuk Jeni.“Ehem,” goda Tania.Jeni hanya bisa mendelik marah pada salah satu sahabatnya itu, ia tidak suka, dalam hatinya ia masih menginginkan Louis kembali karena janin yang ada dalam perutnya. Jeni tidak ingin buru-buru mencari pengganti Louis, sifat keras kepalanya harus ia pertahankan untuk menarik Louis kembali dari tangan Renata, ia yakin bisa.Tania dan Tamara justru ce
Tania dan Tamara sampai melongo terkejut dan saling berpandangan satu sama lain, mereka tidak menyangka Steven akan sepeduli itu pada Jeni, sementara Jeni langsung menggeleng cepat.Steven justru meraih tangan Jeni dan memegangnya dengan lembut sambil berkata lirih, “aku tidak keberatan, tolong jangan menolakku.”Jeni memandang Steven dengan tatapan yang sangat dalam, ia justru membayangkan Steven adalah Louis.Melihat Jeni dan Steven seperti ingin berbicara empat mata, Tania dan Tamara pun tiba-tiba pamit dan beralasan ada suatu hal mendadak yang mengharuskan sepasang sepupu kompak itu harus segera pulang ke rumah.Ibu Tania dan Tamara seorang kembar identik, sementara ibunya Tania sudah meninggal dua tahun yang lalu dan ayahnya bekerja di luar negeri, sehingga Tania dipaksa keluarga Tamara untuk tinggal bersama mereka.“Kenapa kalian buru-buru?” tanya Jeni merasa tidak enak hati.“Aku ingat kalau Mama ha
Jeni sampai mengucek kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia memang tidak salah melihat.Batinnya mulai berkecamuk, ia sebenarnya sangat merindukan Louis, tapi sisi lain hati Jeni sudah remuk tak bersisa lagi.Jeni menarik nafas dalam-dalam, lalu melempar handphonenya sesuka hati. Apa yang ingin dibicarakannya dengan Louis? Sudah tidak ada, yang ada justru ia akan bertengkar lagi dengan Louis.Jeni terlalu malas untuk berdebat kesekian kalinya dengan ayah biologis janin yang dikandungnya saat ini. Maka Jeni memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya, ia sangat lelah. Terlebih ia baru saja muntah-muntah yang membuat hampir seluruh tenaganya habis terkuras. Mungkin lain waktu saja ia akan menghubungi Louis, pikirnya.Baru saja ia akan memejamkan matanya, deringan handphone bernada khusus kembali mengusiknya. Lagi-lagi itu Louis, Jeni baru saja memeriksanya karena handphonenya terlempar tak begitu jauh darinya. Jeni la
Louis tertegun sesaat, mana mungkin ia akan segera memberi tanda pada hubungannya dengan Renata, semantara ia masih belum memikirkan jalan keluar hubungannya dengan Jeni.“Kenapa kamu diam Louis, apa kamu tidak ingin segera bertunangan dan menikah denganku?”Lagi-lagi Louis hanya menampilkan seulas senyuman manis di wajah bulenya yang sangat tampan.“Aku akan memikirkannya, lagipula aku juga harus membicarakan hal ini terlebih dulu pada orangtuaku,” kilahnya.“Baik, aku akan menunggunya.” Ujar Renata senang sambil mengalungkan tangannya pada leher jenjang Louis.“Apa kamu tidak ingin memasak sesuatu untukku? Aku sangat lapar.”Renata terkekeh pelan, lalu menggandeng lengan Louis dan mengajaknya ke dapur. Louis hanya menurut, padahal itu hanya alasannya saja agar Renata tidak terus-terusan membuatnya terpojok.Meskipun begitu, Louis memang sangat menyukai masakan Renata, apapun yang dimasak oleh tangannya selalu lezat dan sangat diterima oleh
Diam-diam Jeni jadi semakin mengagumi Steven yang cerdas, mandiri juga romantis. Tapi entah kenapa ia sulit mengganti Louis dengan laki-laki menyerupai malaikat seperti dia. Bodoh, Jeni terus mengumpat dirinya sendiri.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?”Jeni menggeleng, tentu saja ia tidak akan mengaku bahwa ia mulai mengagumi Steven.“Mata kamu sembab, apa kamu menangis lagi?” Selidik Steven.Jeni mengangguk pelan.“Tapi, aku menangis karena aku lelah muntah terus,” kilahnya.“Sabar ya, jangan mengeluh. Kasihan dia.”Jeni berkaca-kaca saat Steven menyebut kata 'dia' dengan nada yang begitu lembut. Terlihat sekali bahwa Steven orang yang sangat penyayang. Jeni lalu mengangguk dan mengusap air matanya.“Kenapa menangis lagi?”“Andai aku bisa, aku ingin sekali mencintaimu Stev, tapi...”Jeni semakin terisak, ia tahu andai ia mencintai Steven
Jeni terpaksa mengatakan itu, padahal ia hanya ingin tahu reaksi Louis. Kalaupun Louis justru memang mendukungnya, ia pun tidak akan tega membunuhnya, tentu saja Steven pasti akan membencinya.“Apa yang terjadi denganmu Jeni, bukankah kamu masih sangat mencintaiku?”“Tidak penting, apa kamu menginginkannya?” cecar Jeni.Louis masih terdiam.“Ya, aku menginginkannya. Tolong jangan membunuhnya,” tegas Louis.Entah kenapa Jeni seperti mendapat kiriman hawa segar dari balik handphonenya, ia tersenyum haru. Jeni tidak menyangka Louis menginginkannya.“Lalu kenapa kamu tidak datang menemuiku Louis? aku... aku sangat merindukanmu.”Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari mulut Jeni, seharian ini ia begitu tersiksa menahan rasa rindunya kepada Louis.“Aku pasti akan datang menemuimu.”“Kapan?”“Besok, di hari ulang tahunmu. Aku tidak pernah melu
“Grande Apartemen?” Tanya Jeni heran sambil melirik ke arah Steven dengan murung.Steven tak peduli, ia segera turun dari mobilnya, berbeda dengan Jeni yang masih duduk diam di mobil, ia enggan turun. Jeni berpikir negatif tentang Steven.Steven mengernyitkan dahi saat beberapa menit menunggu Jeni yang masih anteng di dalam mobilnya hingga ia mengetuk jendela mobilnya sendiri agar Jeni segera turun, tapi pikiran Jeni sudah mengembara kemana-mana, berpikir negatif, ia trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu saat Louis tiba-tiba mengajaknya ke apartemen, hingga membuahkan janin sekarang.“Kenapa kamu tidak turun?” tanya Steven sedikit kesal karena ia harus kembali ke mobil dan menengok Jeni.Jeni menggeleng, wajahnya merah dan murung, ia ingin sekali menangis.Steven menghela nafas, melalui sorot mata Jeni yang seperti orang ketakutan, Steven segera tahu isi pikiran Jeni.“Kamu tahu? Aku sanga
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany