Keesokan harinya, Steven datang ke rumah Tamara untuk menjemput Jeni dan mengantarnya pergi ke toko bunga, selain itu juga, Steven ingin tahu hasil menjebak Louis kemarin karena Steven sangat sibuk hingga ia sama sekali tidak ada waktu untuk bertanya soal itu.
“Jadi, bagaimana reaksi Om Aditya dan juga lainnya Jen?”
“Mereka sangat syok, dan keluarga Renata membatalkan pertunangan juga pernikahan Louis.”
Steven tersenyum puas dan dengan tidak sabar ia berkata, “Lalu apa hukuman yang Om Aditya berikan untuk Louis?”
Jeni tak langsung menjawab, ia melirik ke arah Steven dengan berbagai kekhawatiran yang tampak di matanya yang indah.
“Kenapa kamu diam Jen? Aku bahkan sudah tidak sabar untuk mendengarnya.”
“Steven, aku minta maaf, dari awal aku sebenarnya tidak menginginkan rencana ini, aku sudah melupakan Louis, tapi kalian selalu memaksaku.”
“Maksud kamu?”
Stev
“Apa yang membuatmu trauma?”Jeni menggeleng, ia tidak mungkin menceritakan semuanya pada Louis soal Renata yang berkali-kali ingin mencelakainya.“Jeni, aku calon suamimu,” ujar Louis meyakinkan Jeni agar berkata jujur.Ekspresi Jeni berubah, tidak menyangka Louis akan mengatakan itu padanya, maka ia memberitahukan yang sebenarnya tentang Renata yang berkali-kali ingin membuatnya keguguran.“Jadi semua ini karena Renata?”Jeni mengangguk.“Tapi aku tidak suka kamu tinggal di rumah Tamara, aku tahu mereka tidak suka padaku, aku janji akan menjagamu Jeni, kamu harus percaya padaku, kamu mau kan aku carikan kos?”Jeni menghela nafas, pada akhirnya ia pasrah dengan Louis dan mengangguk.Mereka kemudian tiba di sebuah kos ‘La Venna’, sebuah kos dengan bangunan minimalis modern, sepertinya kos ini baru saja dibangun beberapa bulan lalu karena semuanya masih terlihat baru.
“Jeni kamu kenapa?” terdengar suara panik Steven di seberang telepon.“Perutku sakit Stev.”“Kamu dimana sekarang?”“Kos La Venna kamar nomor 05, Stev tolong cep....”Jeni tidak bisa mengatakan apapun lagi, ia pingsan di depan kamarnya dengan kondisi pintu terbuka.Sementara di apartemennya, Steven semakin panik, ia berkali-kali meneriaki Jeni namun sia-sia, Steven kemudian mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke sana.***“Tolong... tolong! Ada yang pingsan.” Teriak seorang perempuan berusia sama dengan Jeni, ia baru pulang kerja hendak ke kamarnya, namun justru perempuan itu medapati Jeni tergeletak pingsan di tengah pintu.Menit berikutnya, beberapa penghuni kos lain berkumpul dan kemudian memanggil ibu kos.“Kenapa dia bisa pingsan?”“Saya tidak tahu Bu.”Ibu kos kemudian memanggil suaminya dan membawa Jeni ke rumah sak
“Jeni, kata dokter kamu baru boleh pulang besok, tapi maaf aku tidak bisa menunggumu di sini, aku harus pulang, mungkin aku akan menjemputmu besok pagi.”Jeni menatap Louis kecewa.Tapi Louis tidak peduli, ia pergi setelah mengatakannya.Jeni mencibir dalam hati, “Kenapa aku begitu bodoh? Bisa-bisanya aku tadi memarahi Steven dan berprasangka buruk padanya, padahal Steven selalu menolongku, bisa saja dia dijebak oleh seseorang atau Renata mungkin.”Jeni mendesah pelan, kemudian meraih ponselnya dan menghubungi Steven, Jeni deg-degan menunggu Steven menerima panggilannya.“Halo Jeni, ada apa?” suara bariton khas seorang Steven yang penyabar dan penyayang mencapai telinganya dan itu membuat Jeni menghela nafas lega.“Steven.”“Ya?”“Aku minta maaf.”“Aku sudah memaafkanmu.”“Benarkah?”“Tentu saja Jeni, aku p
Jeni benar-benar memikirkan ucapan Tania dan Tamara kemarin.“Menikah secepatnya? Apakah Louis akan bersedia?” batinnya.“Kamu kenapa Jen?” tanya Louis saat mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, periksa kehamilan.Jeni menggeleng dan ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Bicaralah! Kenapa kamu masih menganggap aku seperti orang asing? Kita pernah bersama selama tujuh tahun hingga membuahkan calon bayi yang ada dalam kandunganmu, meski sekarang masing-masing dari kita telah mencintai orang lain.”Jeni mengatupkan bibirnya dan tetap diam, perkataan Louis justru membuatnya sakit hati, mengingat ia mencintai Louis selama tujuh tahun dan berakhir dengan cara menyedihkan.“Baiklah, aku tidak akan memaksamu Jen.”Jeni menurunkan kelopak matanya dan akhirnya memutuskan untuk menceritakannya pada Louis, “Wisuda akan terjadi tiga bulan lagi, itu artinya perutku akan semakin mem
“Hidup itu pilihan Mi, dan Louis sudah berani memilih jalan seperti itu, jadi dia harus bertanggung jawab, bukan begitu Louis?”Louis yang sama sekali tidak berani membantah apapun perkataan Papinya, hanya memilih mengangguk.“Besok, undang dia ke sini, kita akan makan siang bersama, sekaligus membahas pernikahan kalian.”“Iya Pi.”Louis menyetujui dengan patuh, seolah-olah hatinya sama sekali tidak merasa keberatan sedikitpun.“Louis, kenapa kamu begitu pasrah?”Monica masih terlihat tidak terima.“Mi, tolong jangan mengajarkan hal yang buruk kepada Louis, atau aku akan mengurangi 70 persen uang bulananmu.”Monica membelalak tak percaya lalu mendengus marah dan memilih diam setelahnya.“Dan kamu Louis, kalau kamu selalu patuh dan nurut apapun perintah Papi, Papi tidak akan segan memberikan apapun yang kamu minta, termasuk menggeser Steven dan menjadikanmu
Jeni baru sadar ketika mendengar deru mobil Louis yang melaju pergi dari kos La Venna. Jeni menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk memastikan keadaan bahwa dirinya bukan berada di alam mimpi.Jeni tersenyum kemudian saat menyadari itu nyata, lalu menyelinap kembali ke kamarnya.***Keesokan harinya, seperti janjinya Louis menjemput Jeni ketika jam makan siang. Jeni sudah siap dengan dress terbaru dan terbaiknya yang dibelikan Louis hari ini.Pagi-pagi tadi Jeni menerima paket datang dan ternyata itu adalah paket baju yang dikirimkan Louis, dress squareneck ala korea warna broken white.Simpel but elegan, begitulah penggambaran dress itu, terlihat begitu cocok dipakai oleh Jeni, dan semakin menyempurnakan kecantikannya siang ini.“Kamu sangat cantik Jen,” puji Louis.Jeni hanya menyematkan senyum tipis di wajahnya, dan bersedia menerima tangan Louis untuk menggandengnya dan memasuki mobil.Sebenarnya Jeni sangat deg-deg
Jeni menyeringai puas, bersamaan dengan hal itu mualnya hilang. Ia mengelus perutnya yang sudah sedikit membuncit dengan perasaan senang.Mobil Louis kemudian melaju kembali menuju warung mie ayam depan kampus. Sesampainya di sana, Jeni merasa tidak sabar untuk segera memesan mie ayamnya, ia dengan penuh semangat turun dari mobil Louis dan langsung menghambur masuk ke warung.Memesan dua mie ayam juga dua es kelapa muda.Tak sabar, Jeni berkali-kali menelan salivanya begitu tercium bau mie ayam yang baru saja dihidangkan di mejanya, ia meraih mie ayam itu dan langsung menyambarnya.“Jeni, itu masih panas.”“Aku tiupin mienya,” kilah Jeni.“Jeni, sabar dong, nanti lidah kamu kepanasan.”Jeni menyeringai.“Bukan aku yang tidak sabar Louis, tapi anak kamu.”“Hmm. Bukannya tadi kamu juga sudah makan di rumahku?”Louis semakin muak dengan tingkah laku Jeni.
“Percayalah! Semua akan baik-baik aja, bagaimanapun kamu akan menikah, jadi kamu harus menghubungi mama dan papa kamu.”“Aku tidak tahu papa ada di mana sekarang Tam, Mama sudah lama bercerai dengan Papa.”“Siapa tahu Mama Livia masih punya nomor yang bisa dihubungi.”“Iya Tam, mudah-mudahan saja.”“Yasudah kalau begitu, bye Jeni. Semoga semuanya berjalan lancar.”“Iya Tamara, bye juga, aamiin.”Jeni mengakhiri panggilannya.Memikirkan perkataan Tamara untuk memberitahu mamanya, Jeni mendadak deg-degan, berbagai ketakutan menyerang pikirannya, tapi Tamara benar, terlepas pernikahannya dengan Louis itu bertahan lama atau tidak, ia tetap harus memberi tahu mama dan papanya.Dengan keringat dingin yang menjalar di seluruh tubuhnya, juga jantung yang bereaksi berdegup begitu kencang, Jeni memberanikan diri untuk memencet angka demi angka hingga terangkai satu n
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany