Jeni menyeringai puas, bersamaan dengan hal itu mualnya hilang. Ia mengelus perutnya yang sudah sedikit membuncit dengan perasaan senang.
Mobil Louis kemudian melaju kembali menuju warung mie ayam depan kampus. Sesampainya di sana, Jeni merasa tidak sabar untuk segera memesan mie ayamnya, ia dengan penuh semangat turun dari mobil Louis dan langsung menghambur masuk ke warung.
Memesan dua mie ayam juga dua es kelapa muda.
Tak sabar, Jeni berkali-kali menelan salivanya begitu tercium bau mie ayam yang baru saja dihidangkan di mejanya, ia meraih mie ayam itu dan langsung menyambarnya.
“Jeni, itu masih panas.”
“Aku tiupin mienya,” kilah Jeni.
“Jeni, sabar dong, nanti lidah kamu kepanasan.”
Jeni menyeringai.
“Bukan aku yang tidak sabar Louis, tapi anak kamu.”
“Hmm. Bukannya tadi kamu juga sudah makan di rumahku?”
Louis semakin muak dengan tingkah laku Jeni.
“Percayalah! Semua akan baik-baik aja, bagaimanapun kamu akan menikah, jadi kamu harus menghubungi mama dan papa kamu.”“Aku tidak tahu papa ada di mana sekarang Tam, Mama sudah lama bercerai dengan Papa.”“Siapa tahu Mama Livia masih punya nomor yang bisa dihubungi.”“Iya Tam, mudah-mudahan saja.”“Yasudah kalau begitu, bye Jeni. Semoga semuanya berjalan lancar.”“Iya Tamara, bye juga, aamiin.”Jeni mengakhiri panggilannya.Memikirkan perkataan Tamara untuk memberitahu mamanya, Jeni mendadak deg-degan, berbagai ketakutan menyerang pikirannya, tapi Tamara benar, terlepas pernikahannya dengan Louis itu bertahan lama atau tidak, ia tetap harus memberi tahu mama dan papanya.Dengan keringat dingin yang menjalar di seluruh tubuhnya, juga jantung yang bereaksi berdegup begitu kencang, Jeni memberanikan diri untuk memencet angka demi angka hingga terangkai satu n
Louis kemudian melepas ciumannya dan membuang mukanya.“Maafkan aku Jeni.”Jeni juga sama, tak berani memandang Louis, ia malu juga jantungnya berdegup begitu kencang, sudah lama sekali ia tidak bersentuhan apapun dengan Louis kecuali tangan, namun sore ini Louis justru menciumnya. Namun karena ciuman Louis itulah membuat Jeni justru ingin sekali memiliki Louis kembali seutuhnya.Jeni menghela nafas berat, mengingat di hati Louis sekarang lebih terisi oleh Renata. Memikirkannya membuat hati Jeni sangat sakit hingga matanya begitu perih dan menitihkan air mata.Jeni tersenyum mengejek mencibir dirinya sendiri sembari menghapus kasar air matanya.Melihat Jeni kembali menangis, entah kenapa dalam hat kecil Louis ia merasa sangat bersalah, menjadikan pelampiasan hatinya saat Renata sedang marah dengannya saat ini.“Jeni, aku benar-benar minta maaf.”Jeni hanya diam, hanya matanya saja yang berkedip dan sama sekali
“Jeni, apa Papa bisa bicara sebentar sama kamu?”Jeni memalingkan wajahnya, ia tidak tahu harus senang atau apa sekarang, pasalnya Rengga atau papa Jeni sering kali menyakiti dirinya dan mamanya dulu, bahkan terakhir Jeni bertemu denganny adalah saat kelulusan sekolah menengah pertama.Setelah itu orang tuanya bercerai dan ia tidak pernah bertemu dengannya lagi, meski Jeni tahu mamanya masih berhubungan baik kembali dengan papanya saat dirinya kuliah semester awal-awal, tapi tetap saja laki-laki yang berdiri di depannya sekarang tidak pernah ingin menemuinya lagi.“Untu apa?” tanya balik Jeni dengan gayanya yang acuh tak acuh.“Papa disuruh oleh Mama kamu.”Jeni membelalak tak percaya, kemudian ia mengangguk dengan terpaksa.“Baiklah, kita bicara di luar saja.”Rengga mengangguk, laki-laki keturunan Rusia yang sudah menjadi warga negara Indonesia itu pun kemudian mengikuti putrinya kelua
“Percayalah! Mama tidak marah sama kamu, mama kamu mungkin hanya terkejut kenapa kisahnya sama persis dengan kehidupan kami dulu.”Jeni terdiam, ia menghapus air matanya dan berusaha tenang kembali karena si kecil di dalam perutnya kembali berulah, perutnya kram, Jeni mengelus perutnya pelan-pelan.“Iya Pa, terimakasih.”“Sama-sama. Ayo habiskan makanannya.”“Enggak Pa, aku sudah kenyang. Aku sebenarnya tadi mau ke kampus, ada janji dengan dosen pembimbing.”“Tidak
Jeni memalingkan wajahnya pura-pura tidak tahu dan dia menatap ke luar jendela, Louis juga memperhatikan ekspresi Jeni yang berubah juga teringat ancaman ayah Jeni.“Sial, bisa-bisanya aku terperangkap oleh Jeni, sepertinya aku harus menjauhi Renata sampai keaadan membaik, aku tidak mau mati konyol di tangan ayah Jeni,” batin Louis.Setelah memikirkannya, Louis kemudian mematikan ponselnya dan tidak menerima panggilan Renata.“Jen, apa ada yang ingin kamu beli? Kita mampir ke supermarket sekalian, aku harus ke kantor setelah ini.”“Tidak, makanan di kos masih penuh,” balas Jeni acuh tak acuh tanpa memandang Louis.“Baiklah, aku akan langsung mengantarmu ke kos.”Jeni tak menjawab, ia masih tidak ingin melihat Louis.“Aku janji akan menjauhi Renata juga mengganti namanya di ponselku, aku minta maaf.”“Ya, itu terserah kamu.”Jeni tidak bicara apapun l
“Sudahlah, turuti saja permintaanku, jangan sampai kamu menyakiti Jeni atau mengecewakannya,” tegas Aditya Saloka.Monica melengos, dalam hati ia begitu muak dengan sikap suaminya, maka ia memilih untuk meninggalkan semuanya dan pergi ke kamarnya.Sementara Jeni tampak murung saat Tania dan Tamara juga berpamitan padanya, ada perasaan takut yang segera menyerang dirinya, juga ia teringat Steven.“Apakah Steven di sana tahu kalau hari ini aku dan Louis menikah?” batin Jeni.Jeni termenung sesaat, sampai suara khas Aditya Saloka yang tegas dan berwibawa mencapai telinganya.“Jeni, apa yang kamu lakukan di sini?”Jeni terkejut, ia memaksakan senyum dan kemudian menggeleng.“Ayo masuk! Anggap saja rumah ini juga rumah kamu.”Jeni mengangguk dan ia melangkah berat masuk ke rumah Louis, untung saja Louis segera datang dan menggandengnya ke kamar.Tiba di kamar, Jeni melongo tak p
“Tentu saja Louis akan berpihak padaku,” timpal Renata dengan seringai jahat di wajahnya.Jeni memucat, apalagi tangan Louis perlahan melepas dari tangannya dan ekspresinya berubah menakutkan, Jeni ditarik dengan kasar oleh Louis masuk ke apartemennya dan tubuhnya dihempaskan begitu saja di tempat tidur, hingga Jeni meringis kesakitan dan memegangi perutnya.“Apa yang akan kalian lakukan padaku?” Tanya Jeni ketakutan.“Tentu saja menyingkirkanmu, Louis tetaplah milikku Jeni.”Jeni menangis dan ia memohon pada Tuhan agar diberikan pertolongan detik itu juga.“Louis, aku mohon, tolong jangan seperti ini, ada anak kamu di dalam perutku Louis,” pinta Jeni memohon.“Aku tidak peduli Jeni, aku tidak mau menanggung beban terlalu berat dengan kehadiran anak itu, aku sudah cukup tertekan dengan pernikahan kita kemarin.”Ucapan Louis sukses membuat Jeni menangis tersedu-sedu, ia jadi t
Steven syok mendapati Jeni yag tidak sadarkan diri dengan tangan dan kaki yang terikat.Ia dengan panik melepaskan ikatan itu dan ia memeluk Jeni dengan erat.“Jeni bertahanlah!”Steven menggendong Jeni dan membawanya ke rumah sakit.Karena panik, Steven melajukan mobilnya dengan kecepatan yang begitu tinggi, agar Jeni segera mendapat pertolongan.“Bagaimana keadaan teman saya dan janinnya Dok?”“Beruntung semuanya baik-baik saja, hanya saja teman anda kelaparan sehingga kehilangan kesadarannya.”Steven meraup wajahnya frustasi, entah kenapa ia tak habis pikir dengan Louis. Dimana letak pikirannya sehingga membiarkan istrinya yang sedang hamil sampai kelaparan dan pingsan.“Kalau begitu terimakasih Dok.”Dokter mengangguk dan pergi setelah memberi suntikan pada Jeni.Steven menyuruh suster untuk menjaga Jeni, sementara dirinya mencarikan makanan juga cemilan sambil m
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany