"Woy! Ponsel gue geter!" seru Bara dengan susah payah karena lehernya begitu kuat tercekik. "Pasti Bokap gue nelpon!" lanjutnya terputus. "Lepasin!"
Setelah mendengar kata 'bokap' Rico langsung melepaskan kungkungannya. Siapa yang akan berani dengan seorang tentara bertubuh tegap dengan lengan, punggung, dada, dan perut yang hampir berisi otot semua. Lain dengannya yang seluruh badan hanya berisi lemak dan daging.
Sambil mengambil ponsel di sakunya, Bara mengelus-elus lehernya. Tatapan tajam tak tinggal diam ia berikan pada Rico yang malah nyengir tak ingat dosa memberikan dua jarinya hingga terbentuk huruf 'V'.
"Gue bilangin bokap gue, tau rasa lo!" ancam Bara sebelum melihat nama siapa yang tertera di ponselnya.
"Dasar anak mami!" sarkas Rico dan lagi-lagi mendapat tatapan tajam.
Benar saja, nama 'Bapak Tentara' tertera di sana, nama yang diberikan untuk kontak papanya. Bara memberikan isyarat pada Rico untuk diam, setelahnya ia berdehem sebentar dan menggeser panel hijau ke atas sebagai tanda ia menerima telepon itu.
"Hallo, assalamu'alaikum, Pa."
" .... "
Rico mencari tempat duduk karena merasa kakinya pegal menahan bobot tubuhnya yang kelewat berat. Untungnya ia di dekat tangga depan kampus, jadi bisa ia manfaatkan untuk duduk. Sesekali ia memperhatikan Bara yang tengah berbincang dengan orang di sebrang sana.
Sehabis menyelesaikan pembicaraan, Bara berjalan menghampiri Rico. "Gue lupa kalo sekarang pindahan ke rumah lama Kakek," kata Bara, memungut tas ransel berwarna hitam di samping Rico.
"Dih pikun."
***
Berkisar tujuh orang membantu keluarga Bara menurunkan dan memindahkan barang ke dalam rumah bergaya klasik jawa yang indah dan sejuk bila mata memandang. Tujuh orang itu sudah termasuk papa dan mama Bara, serta Rico dan Bara sendiri.
"Eh, Ganteng! Yang cepetan mindahinnya, masa cuma bawa barang segitu aja keberatan, apalagi gendong istri nanti, bisa-bisa nyusruk berdua." Bisma--papa Bara--menginterupsi langkah Bara yang tengah membawa kardus coklat berisi barang-barangnya, dengan ejekan.
Ekspresi wajah Bara terlihat tenang, menganggap hal tersebut sebatas gurauan yang sudah rutin didengar. "Nggak usah ngeremehin, ya, Bro," balasnya dengan santai.
Kembali berjalan ia melewati tangga yang menjadi bagian utama untuk menuju pintu depan, sekali lagi ia berbelok melewati tangga kedua dan barulah memasuki area dalam rumah.
"Eh, Ganteng." Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun keluar dari salah satu kamar. Bara sedikit terkejut sebab asik memperhatikan bagian dalam rumah yang ternyata begitu memikat.
Bara yang sangat percaya diri, saat pertama kali panggilan sayang itu tercetus dari bibir Bisma, ia tidak merasa keberatan bahkan merasa bangga, karena dengan begitu dirinya yakin sudah tampan sejak lahir.
"Nanti bantu Mama angkat meja di kamar, ya, itu letaknya kurang pas soalnya."
"Papa aja, ya, Ma," tolak Bara seperti biasa jika sudah berkaitan dengan yang berat-berat. Tampang boleh tampan, tapi untuk masalah otot Bara tak akan kuat, 'biar yang lain saja' seperti itu kebiasaannya.
"Kok, Papa? Papa kasian, capek ngangkat-ngangkat yang berat dari luar ke dalam. Kamu aja, ya," pinta Bella sekali lagi.
Bara menghela nafas sedikit berat. "Oke, deh," jawabnya tak ikhlas. Mau tak mau Bara mengiyakan permintaan Mamanya.
"Kok, keliatan nggak ikhlas, sih." Bella mengernyit.
"Ikhlas, kok, Ma."
"Benar?"
"Iya ...."
"Sip, deh."
Setelah Mamanya berlalu ke depan rumah Bara langsung masuk ke salah satu kamar yang akan menjadi kamarnya. Tepatnya bekas kamar kakeknya. Hampir seluruh isi kamar bergaya klasik, kontras dengan rumahnya, dari ranjang, lemari sampai pintu, belum lagi pajangan dan hiasan dinding juga bergaya klasik.
Sebenarnya, Bara tidak suka, tapi mama dan papanya melarang Bara untuk menukar barang yang berada di dalam kamar kakeknya dengan barang-barang baru, hal ini dikatakan berdasarkan wasiat dari sang kakek sebelum meninggal dan diperburuk dengan ia yang diminta untuk menempati kamar tersebut.
Sebelumnya Bara menolak, hingga uring-uringan berhari-hari sampai sifat kekanakannya muncul dengan berikrar mogok makan. Jika sang mama tidak membujuk dengan kelembutan dan emeng-emeng akan dibelikan mobil baru, karena sebelumnya Bara meminta dan berdalih motor miliknya sering mogok tapi Bella abaikan, sudah jelas Bara tetap kukuh dengan pendirinya.
Rasa merinding langsung menyentuh tengkuk dan lengannya yang tak tertutup kain, mengingat ia akan menempati kamar kakeknya yang sudah meninggal.
"Dosa apa gue, disuruh nempatin kamar ini. Gila aja kalo ditambah ada tikus di sini," ucapnya takut-takut seraya menatap horor seluruh sisi ruangan bergantian.
Kedua tangannya meletakkan kardus di atas tempat tidur. "Tenang, Bara. Lo harus berani," ucapnya mencoba menyemangati diri sambil menghirup nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan.
Untuk mengurangi suasana horor bekas kamar kakeknya dan untuk meminimalisir rasa takutnya Bara memilih membuka tirai dan jendela dekat ranjang berukuran king size dengan seprai dan kelambu serba putih.
"Hah! Adem juga." Ia mulai merasa tenang kala menghirup udara segar setelah membuka lebar jendela itu. "Seenggaknya ada pemandangan asri buat nyuci mata di sini."
Dirasa sudah cukup untuk menikmati pemandangan asri, Bara merasa punggungnya harus dimanja. Ia berbalik kemudian mendekati tempat tidur, dalam satu hentakkan tubuhnya mendarat mulus di atas tempat tidur.
"Aaaaakh!" Sayang tidak dengan kepalanya yang justru menyelip di antara bantal dan terbentur benda keras.
Bara bangun kembali. "Sakit parah ini, mah!" keluhnya kesal bersama ringisan, tangannya mengusap-usap kepala yang sepertinya akan timbul benjolan. Tak lama ia membalikkan badan sedikit menghentakkan, menyingkirkan semua bantal dengan brutal, dan menemukan benda yang menjadi penyebab kepalanya sakit. Rupanya sebuah cermin. "Cih! Cermin aja banyak tingkah, segala bikin gue hampir benjol, eh bakal benjol." Ia memungut cermin berbentuk oval dengan hiasan berwarna emas di pinggirnya. "Bentukannya jadul gini pasti cermin kakek, nih," gumamnya. "Yang bener aja, masa kakek ngaca dulu sebelum tidur." Ia tertawa terkikik, membayangkan apa yang diucapkannya benar terjadi, pasti akan sangat menggemaskan. Puas tertawa, ia berdehem. "Maaf, ya, Kek." Ia mendongak takut kakeknya memperhatikan tingkah konyolnya. "Coba gue liat." Ia kembali fokus pada cermin itu, membolak-balikannya secara perlahan, mengamati secara terperinci bentuk cermin itu.
Detik dalam jam terasa begitu lambat, pun langkah Rose yang menurut Bara seperti keong, menambah sensasi panas dingin dalam dirinya. "Jangan mendekat!" Dengan sigap, saat Rose sudah berada tepat satu langkah dari tempatnya tersungkur, Bara menarik dirinya agar mundur dengan menggunakan satu siku, satu tangannya yang lain memberi gestur untuk Rose agar berhenti. Tapi, Rose tak mau menurut, ia tetap melangkah mengikis jarak di antara dirinya dan Bara, bahkan tak sungkan ia berjongkok tepat di samping Bara tanpa perduli perasaannya yang kini tengah berkecamuk. Bibir Bara gemetar, terlebih ia tak kuat menggerakkan badannya agar dapat bangkit dan kabur secepat mungkin dari hadapan gadis asing itu. Tak henti di dalam hatinya, Bara merapalkan do'a pada Tuhan untuk memberikannya kesempatan hidup, setidaknya sampai ia mendapatkan cinta dari Lily. Ayolah, Bara tidak mau mati muda! Apalagi mati dalam keadaan konyol seperti ini, ketakutan karena sosok
Memiringkan kepala terlebih dahulu, barulah Rose menjawab, "Kenapa tidak menanyakan sosok manusia padaku?" Ia malah balik bertanya, membuat Bara semakin bingung. "Mana ada manusia keluar dari cermin?" timpal Bara, sambil menyenderkan tubuh pada ranjang yang kebetulan tepat berada di belakangnya. "Ada," balas si gadis berbulu mata lentik itu yang tengah diinterogasi oleh Bara. "Siapa?" "Aku," jawabnya cepat penuh keyakinan. Mata Bara terbelalak sempurna diikuti tubuhnya yang kembali bangkit sampai duduk tegap, terkejut dengan jawaban yang sama sekali tidak ia pertanyakan bahkan tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya.
Setelah berhasil dengan mudah membujuk Rose, Bara gegas menutup lemari dan berjalan cepat ke arah pintu yang terus digedor. "Bentar, Ma!" lontarnya seraya berjalan mendekati pintu. Tangannya sengaja mengacak surai hitam miliknya untuk bahan beralibi pada sang mama. Ia membuka kuncinya terlebih dahulu sambil berusaha menetralkan perasaannya agar tak gugup, barulah setelah itu tangannya memutar knop dan menariknya hingga muncullah sosok yang selalu memanjakannya. "Iya, Ma?" Bara berpura-pura menggaruk kepalanya dengan mulut yang menguap sehingga terlihat khas orang yang baru bangun tidur. "Astaghfirullah, si Ganteng!" Bella meringis melihat anaknya baru bangun tidur, yang pada kenyataannya tidak benar. "Tadi, kan, Mama minta dibantuin angkat meja, kenapa malah tidur." "Hehehe. Maaf, Ma. Abisnya udara dari luar sejuk banget, tadi niatnya cuma rebahan bentar, eh malah tergoda sama buaian angin. Jadi tidur, deh," ucapnya berbohong dengan cengiran y
Di dalam kamar Rose merasa kecewa, karena pangerannya tidak mengijinkan ia bertemu mama, Rose pikir mama yang disebut Bara ada mamanya sehingga ia begitu antusias ingin bertemu. "Aku merindukan Mama, mengapa Pangeran tidak memperbolehkanku untuk bertemu? Jika aku memaksa, sama saja aku melanggar perintah dari Pangeran, aku tidak ingin melakukan itu," lirihnya, ada satu tetes air mata yang jatuh dari matanya. Rose masih saja menganggap Bara sebagai pangeran putra mahkota. "Baiklah, mungkin belum waktunya." Rose menghapus jejak air mata itu dan mencoba memahami serta menghibur diri. Ia melirik ke belakang melihat kunci yang tergelatak di sana. Bibirnya kembali tersenyum, penuh semangat tangannya meraih kunci itu, menatapnya sebentar dengan binar, setidaknya ada sesuatu yang membuat kesepiannya hilang. "Mari kita bebaskan Paman Tikus!" *** Berjalan sambil terus berpikir mengenai kejadian hari ini dan Rose, ingatannya ter
Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu. "Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong. Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi. "Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi. "Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico. Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara. "Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam
Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya. Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang. Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan. "Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya. Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi. "Rose?" Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. I
Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah? Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara? Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa. Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya. Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap. Gi
Suara mesin mobil dihidupkan menghentikan Bara dari aktivitasnya menarik rambut. Rambut yang memang sudah acak-acakan, bertambah mengenaskan sekarang. Terlihat wajahnya memerah, lelaki itu benar-benar menangis, kesal dengan kusutnya jalan hidup seperti benang tak terurus.Tidak mungkin 'kan ia berdiam diri saja kala telah mengetahui dirinya terancam dirukiah?Menyebalkan! Sudah pasti ia harus bangkit untuk menghentikannya.Bara meninggalkan lantai dan beranjak menuju jendela yang tirainya baru sebelah di buka. Dengan sekali tarik ia menyibak tirai sebelahnya lalu membuka jendela cepat-cepat.Terlihat si Merah melaju meninggalkan bagasi dan keluar dari halaman rumahnya.Mulut Bara terbuka. "Ma!" panggilnya berharap terdengar."Mama!""Mama!""Ma!"Tidak ada tanda-tanda Bella menyadari panggilannya, mobil BMW itu terus melaju hingga wujudnya terputus dari jangkauan pandang.
Bella keluar kamar tergesa-gesa, gamis cokelat susu melekat pas di tubuhnya, lengkap bersama kerudung yang berwarna serasi. Wajah ibu kandung Bara itu terlihat gelisah, nafasnya memburu seraya mengunci pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar."Ma." Bara datang menghampiri Bella untuk melihat kondisi sang mama yang sebelumnya ia duga tidak sedang baik-baik saja, dan dugaannya itu dibenarkan saat tangan dingin Bella menarik Bara untuk mendekat padanya."Ganteng!" sambut Bella sedikit berteriak namun tertahan, kini tangan memucatnya itu menggenggam erat telapak tangan milik Bara."Ada apa, Ma? Mama tadi kenapa teriak? Terus ini Mama kenapa jadi dingin dan pucat? Mama sakit?" tanya Bara beruntut, berlagak tidak tahu dan tidak mengerti padahal hatinya tengah berdetak kencang mencemaskan posisi Rose yang terancam.Bella menggeleng. "Mama baru aja dapet musibah.""M
Bara bersingut mundur dengan cepat, matanya membola saat Rose tiba-tiba melempar sihirnya dan sengaja dipantulkan ke lantai tak jauh dari posisinya. Mata gadis itu menajam, berubah gelap dan menampilkan wajah yang tidak menyenangkan melainkan menyeramkan. Matanya berkaca-kaca, memancarkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja terjadi. Bara menelan salivanya kuat-kuat, untuk kedua kalinya ia merasakan seluruh persendiannya mati rasa setelah bertemu Rose. Begitupun ketakutannya akan kematian selayaknya tempo hari. "Ro-Rose ... ma-maafin gue," pintanya memohon masih dengan posisi terlentang ditahan siku sama seperti saat pertama kali dirinya melihat keajaiban dunia di mana Rose keluar dari cermin. "Ja-jangan Rose." Tangan kanan Rose kembali bergerak memutar, dari gerakan tersebut dengan mudahnya asap hitam yang bercahaya penuh glitter muncul di atas
"Ngung! Ngung!" Bibir kecil dan tipis Rose maju mengikuti ucapannya. Tampak lucu seperti anak kecil yang senang melihat sesuatu yang baru dan langsung ia sukai, sehingga menarik imajinasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Menggemaskan. Tapi tidak untuk Bara, ia memutar bola matanya kesal, menarik bahunya untuk bangkit dan terduduk. Ia mengharapkan ketenangan seperti sebelum gadis itu datang, serta harapannya yang utuh terhadap Lily untuk menjadi kekasihnya. Tatapan sendunya penuh menatap Rose, bibirnya tertekuk ke bawah, sedih. "Bisakah?" tanyanya mengalihkan pandangan pada langit-langit kelambu, mungkin saja Tuhan mau mengasihaninya. "Hiks!" Bara membanting tubuhnya ke belakang kembali berbaring, menutup telinganya dengan bantal tak memberi kesempatan suara untuk masuk sedikitpun. Paman Tikus di sampingnya, sudah lebih dulu tenggelam di alam bawah sadarnya. Sedangkan Rose, gadis itu masih asik menikmati imajinas
Wah apa lagi ini? Karakter tersembunyi yang baru saja Rose tunjukkan membuat Bara takjub dalam hitungan detik. Gadis unik itu bukan hanya berotak cerdas dan peka, tapi juga suka melucu rupanya.Bara menahan senyumnya agar tidak mengembang, meski terbilang gurauan Rose garing, melihat tingkah lucunya cukup menjadi pengganti dorongan untuk membuat orang yang menyaksikannya tersenyum.Terlepas dari itu, terserah sajalah Bara tidak ingin terbawa perasaan. Jika ia tersenyum, takutnya sama saja membuka peluang tabir harapan Rose.Esok harinya Minggu datang, hari di mana Bara bebas dari mata kuliah dan dapat bersantai dengan ketenangan pikiran.Ah, berbicara tentang ketenangan pikiran sepertinya Bara sudah kehilangan hal tersebut semenjak Rose hadir dalam hidupnya dan Lily yang tidak pernah mau menjadi kekasihnya hingga meninggalkan ia memilih lelaki lain.Bara keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggosok rambutnya yang basah me
"Sini biar gue aja." Tanpa permisi lelaki yang tengah mengalami patah hati itu merebut tissue dari tangan Paman Tikus membuat sang empu menyipit tak terima. "Lambat!" ejek Bara kepada Paman tikus, dan tanpa meminta izin kepada Rose, Bara langsung mengelap pipi Rose dengan tissue tersebut menggantikan Paman Tikus. Rose mengerjapkan mata bulatnya, memperhatikan wajah Bara dari dekat ada sensasi tersendiri. Sedangkan Bara tak mempedulikan itu, ia lebih memilih fokus mengelap wajah Rose yang masih tersisa bercak cokelat separuh. "Ngapain liat-liat?" tegur Bara tiba-tiba. Rose yang tertangkap basah anehnya tidak gugup sama sekali, ia menggeleng calm dengan tatapan polos yang tidak hilang. "Nggak usah heran, gue emang udah ganteng dari lahir, makanya dapet julukan si Ganteng," cetus Bara percaya diri menarik sudut bibir membentuk senyum miring. Mendengar kalimat itu Rose tak bereaksi, masih betah menyapu tatapannya di s
"Rose.""Hum?""Hari ini lagi-lagi lo hampir ngebuat otak gue mau meledak," ucapnya memulai aksi"Hah?" Tentu saja kalimat Bara barusan terdengar ambigu di telinga Rose.Lelaki itu masih betah menatap piring kosong belum mau berpindah pandang dari sana. Dengan mimik wajah sok serius, ia memindahkan tangan yang jarinya saling bertaut ke atas meja mini berwarna cokelat itu tepat di hadapan Paman Tikus, sedikit kasar! Tujuannya adalah sekalian mencoba menggertak tikus tersebut tanpa disadari Rose.Bara mencoba mengambil peran sebagai hakim yang tengah bertugas, menciptakan atmosfer menegangkan di tengah persidangan."Lo--." Bara menoleh sengaja menggunakan gerakan slow motion hanya untuk menatap Rose.Bertepatan dengan itu Rose menurunkan tangannya membuat seluruh wajahnya dapat dilihat utuh.
"Ha-hantu?" Bella mengangguk mantap, jelas sekali terdapat keseriusan di matanya. Bukannya terbawa serius pula, Bara malah membentuk ekspresi menjengkelkan. "Pffttt." "Hahahaha!" Tawa meledak seketika. Bara memegangi perutnya akibat terlalu kuatnya tertawa. "Kok malah ketawa?" dengus Bella merasa kesal. Ayolah, sudah pasti Bara bahagia, sebab pikiran buruknya tidak terjadi. Ia merasa lega seketika, apalagi setelah menyemburkan tawa, seperti separuh beban yang bermuatan ton hengkang begitu saja. "Ekhem." Bara menyudahi kelakuan menyebalkannya, tidak enak juga rasanya melihat mamanya menatap kesal pada dirinya. "Maaf, Ma. Habisnya Mama lucu, mana ada hantu di siang bolong gini, mungkin Mama salah denger." "Haishh ... kamu ini nggak percayaan. Tadi 'kan Mama mau ngecek kamar kamu, pas mau dibuka ternyata pintunya dikunc
Nalarnya bekerja mencari kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi, bagaimana jika mamanya mengetahui keberadaan Rose?Memang sih, sudah dikunci pintu kamarnya, tapi tetap saja ia mengkhawatirkan Rose akan bersuara dan dapat memancing rasa penasaran Bella, asal tahu saja mamanya itu tentu memiliki kunci duplikat yang akan memudahkannya masuk kapan saja ke kamar Bara.Kaki panjang milik Bara yang biasanya menggunakan kelembutan saat menaiki tangga dengan melewatinya satu persatu, telah mengesampingkan kelembutan itu dan kini melompatinya tanpa perhitungan.Untungnya ada secercah nasib baik saat ia mengambil keputusan itu, tubuh Bara selamat dari mencium lantai kayu, meskipun sempat oleng ke depan dan hampir nyusruk memeluk pintu tapi ia bisa menahan keseimbangan."Huft!" Ia mengelus dadanya dan bersyukur dalam hati.Knop pintu su