Maria berjalan tergesa memasuki kelasnya, dia bahkan tak menghiraukan makian orang yang ditabraknya. Tujuannya saat ini adalah kelasnya. Dia harus cepat-cepat masuk sebelum Miss Claire berada di tempat.
Tapi langkahnya menjadi pelan tatkala dia melihat Miss Claire sudah di kelasnya. Dia menjadi ragu ingin masuk atau tidak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu.
Tok tok tok..
Seisi kelas menoleh kearahnya termasuk dosennya itu. Maria hanya bisa tersenyum meringis, sahabatnya yang duduk paling pojok tertawa karena melihat kelakuan Maria. Gadis yang biasanya bar-bar takut pada sosok dosen killer yang selalu menurunkan nilai jika terjadi sesuatu kesalahan di matanya.
Miss Claire, seorang wanita paruh baya dengan badan sedikit gempal. Rambut di atas bahu dan memakai kacamata itu menoleh ke arah pintu. Melihat salah satu mahasiswanya yang telat datang hampir setengah jam.
"Tidak sekalian membolos?" ucap Miss Claire ketus.
Maria berjalan masuk dengan kaki pincang, membuat Miss Claire menaikkan salah satu alisnya.
"Sorry Miss, ada kendala tadi di jalan. Saya mengalami kecelakaan," ucap Maria dengan wajah memelas.
Miss Claire menghela nafas pelan menatap Maria. "Obati saja terlebih dulu lukamu. Nanti minta salinan tugas temanmu agar kau tidak tertinggal nilai." ucapnya.
Maria bersorak senang dalam hati, sebenarnya yang lecet hanyalah di bagian tangannya. Kakinya tidak sakit, tapi celana yang dipakainya tadi robek akibat terseret di aspal jalan. Membuat Miss Claire menjadi iba padanya.
"Thankyou Miss," ucapnya lalu berbalik meninggalkan kelas masih dengan jalan yang pincang.
Tapi sesampainya di luar kelas, dia menutup mulutnya agar tawanya tidak terdengar, dia kembali berjalan normal dan menuju ke uks. Lukanya mulai terasa sakit.
Ternyata kelakuan Maria sempat dilihat oleh sahabatnya Ashley, dia menggelengkan kepala dan tersenyum.
Saat ini Maria berada di kantin, duduk sendirian di bawah pohon yang rindang. Dia melepaskan jaketnya yang sudah robek itu, melihat luka di tangannya yang memerah dan terasa perih. Pasti sebentar lagi akan terasa kaku, pikirnya.
Tiba-tiba seorang lelaki duduk di depannya membawa minuman dan menaruhnya di atas meja. Dia menyerngit ketika melihat luka Maria, dia kira tadi Maria hanya acting agar tidak dimarahi dosennya, tapi ternyata dia salah, Maria benar-benar terluka.
"Kau kenapa?" tanya lelaki yang bernama Ashley itu.
"Memangnya aku kenapa?" ucap Maria bertanya balik.
Ashley segera menyentil dahi Maria, selalu saja dia menutupi apa yang terjadi padanya.
"Kemarilah, ikut aku," ucap Ashley berdiri dan menarik tangan Maria.
"Hei, minumanku." rengek Maria
"Nanti akan aku belikan lagi," ucap Ashley tetap menarik Maria, dia menoleh dan tersenyum ketika melihat wajah cemberut Maria.
"Jangan ditarik-tarik gini dong, emang gak sakit apa?" ucap Maria mengerucutkan bibirnya.
"Benarkah? Ku kira kau tidak bisa merasakan sakit," ucap Ashley mengejek dan Maria semakin mengerucutkan bibirnya.
Selalu saja dia tidak bisa mengelak perkataan Ashley. Mereka sudah kenal sejak bersekolah di SMA. Tak disangka ternyata Ashley mengikuti dirinya di universitas ini padahal dirinya mendapat beasiswa dari universitas yang lebih terkenal. Tapi dia menolak dan lebih memilih bersama Maria.
Ternyata Ashley membawa dirinya ke uks, Maria mengerutkan dahinya, dia sudah dari sini tadi, kenapa Ashley membawanya kembali ke sini. Tapi dia menurut saja dan mengikuti Ashley yang mendudukannya di salah satu ranjang di sana.
Ashley bergerak mengambil perlengkapan P3K di lemari yang tergantung di atas ranjang itu. Setelahnya dia menarik kursi dan duduk di depan Maria. Mengambil kapas dan menuangkan sedikit alkohol di kapas itu, lalu mengarahkan ke luka yang ada di tangan Maria.
"Auw.. Ini perih. Gak bisa pelan-pelan apa?" tanya Maria bersungut kesal.
Tapi yang ditanya hanya diam, masih melakukan pembersihan pada luka Maria. Ashley menempelkan handsaplas pada luka yang kecil, saat dia akan menempelkan perban, Maria menolak.
"Kau ingin aku terlihat seperti orang cacat ya!" serunya menyipitkan mata menatap ke arah Ashley.
Ashley hanya tertawa melihat itu, dia bergerak membereskan kotak P3K itu, meletakkan kembali ke tempat semula. Dia berdiri di depan Maria dan mengacak-acak rambut Maria.
"Ish, kau ini," ucap Maria menampik tangan Ashley yang menurutnya membuat rambutnya berantakan.
"Kau ada kelas lain?" tanya Ashley
"Masih ada 1 mata kuliah lagi," ucap Maria turun dari ranjang. Berjalan keluar dan diikuti oleh sahabatnya itu.
"Baiklah, aku akan menunggumu. Setelahnya temani aku membeli buku ya," ucap Ashley yang berada di belakang Maria.
Maria ingin mengiyakan ajakan Ashley, tapi seketika dia ingat mempunyai janji dengan orang yang ditabrak dengannya pagi tadi.
"Aku tidak bisa, aku ada janji nanti," ucap Maria menggeleng.
"Dengan siapa?" tanya Ashley, dia berjalan mensejajari langkah Maria dan menoleh ke arahnya.
"Dengan orang yang aku tabrak tadi," ucap Maria lagi.
"Ingin ku antar?" tanya Ashley.
"Tidak usah, lagi-pula nanti aku tidak kerja. Ayah memintaku pulang lebih awal," ucap Maria, dia melihat jam di tanganya. Sudah waktunya dia masuk ke kelas selanjutnya.
"Apa dia kasar lagi padamu?" tanya Ashley, dia sangat tahu bahwa ayah tiri Maria selalu kasar pada Maria. Beberapa kali Maria datang ke kampus dengan wajah yang lebam, setiap ditanya dia selalu mengelak. Akhirnya Ashley yang penasaran saat itu datang ke rumah Maria dan menanyakan pada pembantu di rumah Maria saat rumah lenggang.
"Tidak Ashley, kenapa kau cerewet sekali hari ini," ucap Maria mengerutkan dahi.
"Sudahlah, aku akan masuk kelas dulu. Sampai jumpa besok," imbuhnya lalu berlari meninggalkan Ashley, terkadang dia berbalik dan mengejek sahabatnya itu.
Ashley berdecak, selalu saja Maria tidak pernah berbicara jika menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi inilah yang disukai Ashley dari Maria. Meskipun wanita itu terlihat rapuh, tapi dia berusaha tetap kuat dan menutupinya. Sudah dari lama Ashley menyukai Maria, tapi dia tidak ingin persahabatan mereka hancur karena perasaannya. Karena dia tahu, sampai kapanpun Maria hanya menganggapnya seorang sahabat.
**
Siang harinya, Maria pergi ke alamat kantor yang diberi lelaki tadi pagi itu. Berniat untuk tanggung jawab karena kejadian pagi tadi. Dia mengendarai montornya, melaju mengikuti gps di handphonenya yang terpasang di setang montor.
Saat dia sampai di tempat tujuannya, dia menganga lebar melihat gedung yang sangat tinggi itu. Dia meletakkan montornya dan membuka helm yang dipakainya. Bergerak masuk ke dalam, dan langsung menuju meja resepsionis.
"Selamat siang, saya ingin bertemu dengan pak.." ucap Maria terpotong, dia melihat kartu nama itu dan membacanya. "Maxime Jaccob Ainsley," lanjutnya menoleh ke arah wanita di depannya.
"Apa anda sudah membuat janji?" tanya wanita itu.
"Em, belum sih. Tapi katakan saja, saya yang menabraknya tadi pagi," ucap Maria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.
Dia sangat malu dengan penampilannya, celana jeans yang robek dengan kaos oblong yang sedikit kusam, tas ransel digendongannya, tak sepadan dengan para wanita di sini yang terlihat cantik dan berpenampilan rapi.
Terlihat wanita di depannya ini melakukan panggilan, setelahnya dia memberitahukan sesuai perkataan Maria lalu menutup panggilan itu.
"Mari ikut saya, anda sudah ditunggu oleh pak bos," ucap wanita itu sopan.
Wanita itu lalu mengajak Maria untuk mengikutinya, mereka masuk ke dalam lift dan lift pun bergerak naik ke atas. Sesampainya di atas, mereka langsung memasuki ruangan yang ada di depannya itu.
Maria mengagumi tempat ini, dindingnya terbuat dari kaca membuat pemandangan di luar tampak terlihat sangat indah. Dia bisa melihat gedung di sekitarnya yang sejajar dengan tempat ini. Sibuk dengan dunianya sendiri Maria sampai tidak sadar jika pintu yang ada di depannya itu sudah terbuka.
"Saya permisi dulu bos," ucap wanita yang mengantarkannya itu pergi meninggalkan Maria yang berada di depan ruangan.
Maria masuk ke dalam, melihat lelaki yang tadi pagi, duduk di meja kerjanya sedang menatapnya dari atas sampai bawah, membuatnya menjadi risih.
"Aku kira kau tidak akan datang," ucap lelaki itu yang ternyata adalah Jake.
"Maaf pak, saya tidak akan lari dari masalah. Saya minta maaf karena datang terlambat, saya masih ada urusan tadi di kampus," ucap Maria, dia masih berdiri di depan meja itu.
"Duduklah," ucap Jaccob.
Maria pun menuruti, dia langsung duduk di depan lelaki itu.
"Karena yang kau tabrak tadi adalah mobil terbaruku, kau harus mengganti rugi. Bayar semua perawatan mobilku." ucap Jaccob.
"Berapa yang harus saya ganti rugi pak?" tanya Maria.
Jake menyerahkan sebuah kertas rincian biaya perawatan mobilnya, Maria segera membacanya dan seketika mulutnya menganga lebar.
"600 juta?" ucapnya tercekat. Dia menatap tak percaya pada lelaki di depannya ini.
"Ini semua yang harus saya bayar?" ucap Maria lagi, dia benar-benar kaget dengan biaya yang tertulis di kertas itu.
"Ya, dan jika kau tidak bisa membayar aku akan melaporkanmu ke polisi," ucap Jaccob angkuh.
"Tapi... Tapi pak, bolehkah saya mencicilnya. Saya akan membayar semuanya tapi tolong beri saya waktu," ucap Maria.
"Tidak ada waktu, dan kau harus membayarnya sekarang." ucap Jaccob.
"Baiklah, silakan penjarakan saja saya," ucap Maria dengan lesu. Dia menyenderkan tubuhnya, sedikit membungkuk hingga Jake tidak bisa melihat wajahnya. Dari mana dia mendapat uang sebesar itu, biarlah di penjara saja, Maria pasrah.
Jaccob menatap wanita yang ada di depannya ini, bodynya oke juga. Bagaimana jika dia dibiarkan bekerja di sini sebagai sekretarisnya, toh dia juga bosan melihat wajah Kenzo terus-terusan. Dia butuh penyegaran dengan meletakkan wanita di sampingnya setiap bekerja.
"Baiklah, bagaimana jika kau bekerja sebagai sekretaris? Kau bisa membayar 3/4 gajimu untuk membayar hutang." ucap Jaccob.
Maria mendongakkan kepalanya, dia menatap lelaki di depannya. Dia sedikit memikirkan ucapannya. Jika dia bekerja di sini bagaimana dengan kuliahnya dan pekerjaan yang sebelumnya. Tapi jika dia menolak, apakah sanggup Maria hidup di penjara.
"Tapi, bolehkah saya meminta syarat?" ucap Maria.
Ucapan wanita itu membuat Jaccob menaikkan sedikit alisnya, dia ingin mendengar syarat apa yang diajukan oleh wanita itu.
"Saya hanya minta jadwal siang, karena pagi hari saya harus berkuliah terlebih dulu, saya tidak ingin putus kuliah," kata Maria pelan, dia takut permintaannya akan ditolak dan lelaki ini akan membatalkan tawaran itu.
"Hanya itu?" tanya Jaccob.
"Ya pak, hanya itu." ucap Maria bersemangat.
"Baiklah, besok datang lagi ke kantor di jam seperti ini." kata Jaccob.
Maria mengucapkan terimakasih pada lelaki itu, meskipun handphonenya dikembalikan, tapi kartu identitasnya masih ditahan. Tak apalah, yang penting Maria tidak jadi masuk penjara.
Maria berpamitan pada calon bos barunya itu, lalu keluar dari ruangan. Dia akan pulang, satu masalah selesai dan setelahnya dia akan menyelesaikan masalah dengan ayahnya.
**
Sinokmput
Setelah kepergian wanita itu Jaccob kembali mengerjakan beberapa dokumen yang harus dilihatnya. Dia terlihat fokus dengan lembaran-lembaran kertas di depannya itu.Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan dia mengira itu adalah staf karyawan, membuatnya menjadi kesal."Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dulu," ucap Jake tanpa mengalihkan pandangannya."Haruskah aku keluar kembali dan izin untuk memasuki ruanganmu," ucap seorang lelaki yang tak kalah tampan dari Jaccob. Tingginya hampir setara dengan Jake, mempunyai dada bidang dan tangan yang terlihat berotot. Rambutnya yang sedikit panjang dikuncir sebagian.Jake mengalihkan pandangannya ketika mengenali suara ini, dia menatap Sean, salah satu sahabatnya selain Kenzo. Mereka dulu berkuliah di universitas yang sama, mengambil satu jurusan membuat mereka bertiga menjadi dekat dan memutuskan untuk berteman.Tapi Sean termasuk anak orang kaya. Dia sekarang mengambil alih perusahaan ayahnya dan m
Jaccob juga kaget melihat wanita yang saat ini berdiri di samping Petra. Dia mengulum senyum, ternyata keberuntungan jatuh kepadanya. Dia memang tertarik pada Maria saat di kantor tadi, tak disangka dia adalah hadiah yang dimaksud oleh Petra."Selamat malam Tuan," ucap Petra sedikit menunduk ketika Jaccob duduk di sofa tunggal di depannya.Jaccob hanya menganggukan kepalanya. Dia masih melihat ke arah depan, bukan ke Petra, melainkan Maria.Maria menyipitkan mata tatkala melihat tatapan Jaccob yang baginya sangat mesum itu. Tapi dia akan diam, menilai situasi terlebih dahulu."Jadi ini hadiah yang kau maksud? Menarik juga," ucap Jaccob tersenyum sinis."Ya Tuan, dia akan menjadi milik anda." ucap Petra.Maria segera menoleh ke arah ayahnya. Apa maksud perkataannya itu."Mulai sekarang, kau akan menjadi wanita milik Tuan Jaccob," ucap Petra yang melihat tatapan bertanya dari Maria itu."Apa maksudmu, kau hanya bilang aku akan bekerja di
Maria terbangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia bangun perlahan, kapalanya masih terasa sakit. Meskipun dia minum sedikit tadi malam, tapi benturan saat Jake mendorongnya menambah rasa sakit di kepalanya.Dia membuka pintu yang terkunci itu, melihat Rose, pelayan rumah ini ada di depannya."Nona, segeralah turun. Tuan Jake sudah menunggu anda untuk sarapan." ucap Rose."Baiklah, aku akan bersiap-siap dahulu." ucap Maria.Dia menutup pintu lalu bergerak ke arah kamar mandi dan membersihkan dirinya. Dia masih ingat bagaimana semalam Jake menciumnya dan itu membuat dirinya risih.Tak ingin membuat sang bos barunya itu marah, Maria segera menyelesaikan mandinya, berjalan ke ruang ganti dan memakai pakaiannya sendiri, sebuah blouse putih panjang dengan tali di perut, dan sebuah celana jeans longgar. Dia tak selera memakai sebuah gaun. Bagaimana dia akan naik montornya nanti jika dia pakai rok?.Maria hanya memoles lipba
Wanita yang berada di pangkuan Jake itu panik, dia segera berdiri dan terlihat merapikan pakaiannya. Melihat wanita yang menatapnya tajam, wanita itu berpikir mungkin dia salah satu wanita bosnya itu. Dia tidak ingin mencari masalah, dia hanyalah karyawan kecil di perusahaan ini, akhirnya dia pamit dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.Jake terlihat santai, dia menyenderkan tubuhnya dan melihat ke arah Maria yang bersedekap tangan masih memandangnya. Jake mengangkat sebelah alisnya tanpa mengatakan apapun.Maria berjalan mendekat dan langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Jake, dia ikut menyenderkan badannya dan bersedekap."Kau menyuruhku kesini cepat-cepat hanya untuk melihatmu bercumbu?" tanya Maria ketus."Jika kau ingin dicumbu bilang saja, tidak usah berlagak cemburu seperti itu," kata Jake masih menatap Maria.Maria menganga mendengar ucapan bosnya itu, bagaimana bisa dia berpikir begitu."Cih, sudahlah. Itu tak penting, sekarang
Sudah satu minggu Maria tinggal di rumah Jake, setiap pagi dia selalu berkuliah, dan dilanjut dengan menjadi sekretaris Jake di kantor. Maria mulai terbiasa dengan kegiatannya itu. Dan sudah satu minggu setiap mereka bertemu hanya mengobrol secukupnya saja. Sampai saat ini pun Maria masih acuh kepada Jake, dia lebih diam dari biasanya yang suka membantah.Pagi ini mereka sedang sarapan seperti biasa, Jake sudah sibuk dengan handphonenya dan Maria sibuk memakan roti sarapannya. Setelah selesai Maria hendak berdiri pergi dari ruang makan, tapi tertahan karena omongan Jake."Aku sudah cukup sabar menghadapimu selama ini. Kau kira dengan diamnya aku, kau bisa seenaknya saja?" ucap Jake tanpa mengalihkan pandangannya.Maria kembali duduk, diam lagi tanpa menjawab. Hal itu membuat Jake bertambah kesal."Mulai malam nanti, kau harus siap melayaniku. Aku tidak menerima penolakan," ucap Jake, dia menggebrak meja dan meninggalkan Maria.Maria, meskipun di luar di
Maria sangat cantik malam ini, riasan di wajahnya yang natural membuat Maria yang memang cantik terlihat tambah cantik. Gaun hitam panjang belahan sampai lutut, dengan bagian belakang yang terbuka. Rambutnya digelung ke atas, menampakkan punggung Maria yang begitu putih dan halus.Jake terpana dengan penampilan Maria, dia terdiam beberapa saat tanpa mengalihkan pandangannya dari Maria."Ehem," suara Sisi merusak lamunan Jake."Bagaimana? Cantik kan? Karyaku tak pernah mengecewakan." ucap Sisi.Jake sekali lagi melihat dengan detail, menatap Maria dari atas sampai bawah, bahkan menyuruh Maria untuk berputar. Matanya terhenti ketika melihat punggung Maria yang terekspose itu, dia mengerutkan dahi dan menatap ke arah Sisi."Gerai saja rambutnya, aku tidak ingin wanitaku menjadi tontonan orang lain," ucap Jake bersedekap.Sisi mengerutkan dahinya, apa dia tidak salah dengar? Biasanya Jake yang paling membuat heboh soal wanita. Tapi apa kali ini, Sisi
Ashley membawa Maria keluar dari gedung itu. Dia mendudukan tubuh Maria di bangku yang tersedia di sana. Dia mengeluarkan sapu tangan yang ada di sakunya, lalu mengusap wajah Maria yang basah itu. Melihat Maria yang hanya diam, dia pun ikutan diam dan memandang kosong ke arah depan."Kau membohongiku?" tanya Ashley, nada suaranya tercekat. Dia seperti kecewa pada Maria.Maria yang mendengar itu langsung menoleh ke arah Ashley, tapi yang ditatap tak mengalihkan pandangannya dari depan."Kau berkata sedang mengerjakan pekerjaan yang diberikan ayahmu, tapi kenapa aku melihat kau ada di sini? Bersama orang-orang yang terkenal suka mempermainkan wanita," ucap Ashley lagi.Maria kaget mendengar ucapan Ashley. "Kau mengenal mereka?" tanyanya."Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku," ucap Ashley menoleh ke arah Maria."Aku belum bisa menceritakannya padamu," ucap Maria menatap Ashley sekilas lalu kembali menoleh ke arah depan."Selama ini kau angga
Pagi-pagi sekali Jake sudah berangkat ke kantornya, dia sedang tidak ingin melihat Maria. Jake bahkan melewatkan sarapannya, dia juga berpesan pada pelayannya agar Maria jangan diganggu, biarkan dia bangun dengan sendirinya.Jake masih menyimpan rasa sesak di hati jika mengingat wanitanya berpelukan dengan lelaki lain. Amarahnya tak bisa dibendung yang mengakibatkan kejadian semalam terjadi. Padahal di bayangan Jake, dia bisa memiliki Maria dengan sangat lembut karena dia adalah gadis pertamanya.Entahlah, kejadian semalam di luar dugaannya. Tapi Jake masih mengingat dengan jelas kejadian itu. Dia juga menikmati setiap tangisan yang bercampur desahan dari Maria. Putihnya tubuh Maria dan betapa mulus kulit Maria masih bisa dia rasakan.Jake segera mengusir pikiran itu dengan menyibukkan dirinya bekerja. Tapi setiap kali Jake berpaling, maka bayangan itu semakin terlihat jelas. Hal itu malah membuat libidonya menjadi naik dan ingin segera pulang untuk menikmati Maria
*5 tahun kemudian. "Xavier, jangan berlari nak. Kau bisa terjatuh nanti." Illene berteriak panik melihat cucunya berlari ke sana-sini di taman. Dia sampai kewalahan mengejar Xavier. Maria yang baru saja keluar dari arah dapur itu tersenyum. Dia meletakkan nampan berisi teh hangat dan beberapa cemilan di meja. "Sudahlah Bu, nanti juga dia berhenti sendiri. Tak udah dikejar atau Ibu yang akan kelelahan nanti." ucap Maria. Illene menghela nafas lalu duduk menyusul Maria. Wanita yang rambutnya sudah beruban itu tampak ngos-ngosan. Dia mencoba menarik nafas perlahan lalu mengambil secangkir teh hangat dan meminumnya. Dia menyesapnya sebentar sebelum menatap ke arah Maria. "Ya, kau benar Maria. Astaga, dia sangat aktif sekali." keluhnya. Maria hanya terkekeh, dia melirik ke arah anak lelakinya yang sekarang berumur 4 tahun. Dia lalu mengusap perutnya, kali ini Maria hamil lagi dan usia kandungannya sudah menginjak 7 bulan
Kandungan Maria sudah memasuki minggu ke-35, artinya tinggal menghitung hari Maria akan melahirkan. Hari ini Jake memutuskan untuk libur dan menemani Maria untuk mendekorasi kamar calon anak mereka. Karena sampai saat ini mereka belum tahu jenis kelamin anak mereka, jadi mereka mengisi kamar itu dengan warna netral.Kamar yang dulu dipakai oleh Maria sekarang menjadi kamar calon anak mereka. Jaccob memutuskan merenovasi untuk memberikan pintu penghubung ke kamarnya."Kau tak boleh kelelahan Mary, biarkan aku saja yang membersihkan kamar ini. Kau duduk saja dan lihatlah!" perintah Jaccob.Tapi ucapan itu tak dihiraukan Maria. Dia bahkan dengan senang hati merapikan satu-persatu baju kecil yang terlihat lucu baginya. Dia memisahkan di antara perlengkapan lainnya."Benar yang dikatakan Jaccob, Maria, lebih baik kau istirahat saja," ucap Illene yang ada di sana membantu mereka."Kalian tak bisa melarangku. Aku juga ingin menyiapkan keperluan anakku," u
"Kau terlihat sangat cantik Sera," ucap Maria yang baru saja masuk ke dalam kamar hotel.Sera yang mendengar itu langsung menoleh, menatap Maria yang juga sangat cantik dengan perutnya yang sudah membesar. Wanita itu bahkan berjalan tertatih sambil memegangi perutnya."Maria," seru Sera dengan senang. "Kau sendirian?" tanya Sera."Tidak, Jaccob ada di sini, tapi dia pergi untuk melihat Lucas." Maria mendekat ke arah Sera, menyerahkan sebuket bunga mawar putih kepada Sera. "Khusus permintaan ibu," ucapnya sambil tersenyum.Sera menerimanya, dia meletakkan bunga itu di meja. Dia tidak bisa banyak bergerak sekarang karena Sisi masih merias wajahnya.Hari ini adalah hari pernikahan Sera dan Lucas. Sudah sejak setengah tahun lalu hubungan mereka dengan Maria dan Jaccob membaik. Sera bahkan sering menginap di rumah Jaccob untuk menemani ibu hamil yang banyak maunya itu."Bagaimana, apa semua sudah siap?" Illene
Lagi-lagi rumah sakit dibuat kalang kabut ketika mendengar pemilik rumah sakit, Jaccob akan datang ke sini. Para senior dan junior dokter terlihat gugup menanti orang yang diisukan dengan sikap yang kejam itu. Mereka bahkan sudah menunggu di depan pintu masuk rumah sakit tersebut.Mobil yang ditumpangi Jake berhenti, Aciel segera membuka pintu untuk Jake dan Maria. Jake masuk ke dalam sambil menggandeng tangan Maria."Apa kabar Maria?" sapa dokter Nathan yang mendekat ke arah mereka."Aku baik Paman," balas Maria dengan senyuman."Kenapa semua orang ada di sini?" tanya Jaccob heran melihat semua orang menyambutnya.Kening dokter Nathan mengerut, dia menatap Jaccob dengan heran. "Bukannya kau datang untuk memeriksa kepentingan rumah sakit?" tanyanya."Aciel," panggil Jaccob sambil menoleh ke belakang. Sedangkan Aciel hanya meringis sambil menggaruk tengkuknya."Aku lupa tak memberitahu dokter Nathan."Jake menghela nafas kasar,
"Kenapa kau membawa wanita ini ke sini?" tanya Jake menatap tajam Lucas."Jake," lirih Illene, mencoba melerai tak ingin ada pertengkaran."Kau tak tahu Bu, mereka yang menyebabkan Maria kehilangan bayinya dulu," ucap Jake masih dengan nada yang dingin."Semua sudah berlalu Jake, bahkan kau pun sudah membalasnya pada Sera," jawab Lucas dengan tenang."Ya, tapi aku belum membunuhmu!" sengit Jake."Jake, Lucas, kemarilah!" perintah Illene dengan nada tegas.Mereka mendekat, duduk saling berhadapan. Jake masih menatap Lucas dengan tajam, sedangkan Lucas tak menhiraukannya, dia bersikap dengan tenang. Karena memang, dia ke sini hanya ingin perdamaian, tak ingin permusuhan mereka terus berlanjut. Lucas ingin memperbaiki semuanya."Kalian adalah anak-anak Ibu. Jika kalian terus bertengkar seperti itu, Ibu akan merasa sedih." Rikard sudah berdiri di belakang Illene, dia mengusap pundak Illene lembut ketika wanita itu mulai menangis.
Maria terbangun karena aroma dari masakan yang tercium di hidungnya. Dia membuka matanya perlahan, menoleh ke sampingnya tapi tak menemukan keberadaan suaminya.Akhirnya Maria bangun, dia menutupi tubuh polosnya masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya. Dia menikmati guyuran air shower yang membuat tubuhnya menjadi segar. Setelah selesai dia segera keluar.Maria memeriksa koper yang masih ada di sebelah sofa. Karena kegiatan semalam, dia sampai lupa belum membereskan barang-barang yang dibawanya.Maria mengeluarkan satu-persatu baju yang ada di sana. Tapi dia menyerngit heran, semua bajunya hanyalah sebuah gaun tipis, baju tanktop, celana pendek dan....lingerie. Apa-apaan ini? Siapa yang menyiapkan baju-baju laknat seperti ini?Maria mendesah, dia segera memakai salah satu gaun yang ada di sana. Ini terlalu pendek, pikir Maria ketika melihat tampilannya di cermin. Tapi dia mengabaikannya dan segera keluar dalam keadaan rambut setengah basah.
*HARAP BIJAK MEMILAH BACAAN!*Malam semakin larut, tapi kebahagian orang-orang yang ada di sana masih terpancar dengan jelas. Beberapa orang ada yang sudah berpamitan untuk pulang, sebagian lagi masih ada di sana.Jake menyuapi Maria makanan kecil, dari tadi dia tak beranjak meninggalkan Maria sedikitpun. Membuat teman-teman wanita Maria di agency menjadi iri melihatnya."Kau lelah?" tanya Jake."Tidak, aku hanya ingin ganti baju. Gaun ini membuatku kedinginan," ucap Maria menatap memelas pada Jake.Jake membuka jasnya dan menyampirkan di pundak Maria. "Kalau begitu kau harus segera ganti baju." ucap Jake.Maria mengangguk, dia berpamitan pada Illene, Rikard dan yang lainnya. Tapi bukannya membawa Maria masuk ke dalam Mansion, Jake malah menuntun Maria masuk ke dalam mobil."Kita akan ke mana Jake?" tanya Maria heran."Pergi ke suatu tempat," balas Jake dengan tersenyum.Maria tak bertanya lagi, dia yang le
Saat sampai di tempat, Maria segera masuk ke dalam. Di sana terlihat sepi, hanya ada para pelayan toko yang berlalu lalang. Aciel menyuruh Maria untuk berjalan duluan, dia mengikutinya dari belakang.Senyum Maria merekah ketika melihat Jake berdiri di depan sana bersama seorang lelaki yang tak dikenalnya."Jake," panggil Maria sambil melambaikan tangannya.Jake tersenyum, dia menyuruh Maria untuk mendekat. Saat Maria ada di sampingnya, dia langsung memeluk pinggul Maria."Ricky, perkenalkan calon istriku, Maria," ucap Jaccob tersenyum bangga.Ricky tersenyum, dia menjabat tangan Maria yang dibalas oleh Maria."Baiklah, akan aku tunjukan koleksi berlianku," ajak Ricky setelah perkenalan singkat itu. Dia berjalan ke tempat lebih dalam dari tokonya ini, sesampainya di sana, ada anak buahnya yang menunggunya dengan 3 buah kotak berisikan berlian berwarna-warni."Ini koleksi terbaruku, yang ini salah satu paling sulit ditemukan. Hanya ada
"Bagaimana kabar Ayah hari ini?" tanya Maria begitu dia masuk ke dalam kamar rawat ayahnya. Di tangannya terdapat sebuah parcel buah, dia meletakkannya di meja dan duduk di dekat ayahnya.Petra tersenyum, dan menatap Maria. "Ayah lebih sehat dari kemarin, trimakasih Maria." ucapnya."Tak ada trimakasih di antara kita Ayah. Kita memang harus saling membantu," ucap Maria diselingi dengan tawa. "Ayah mau jeruk? Akan aku kupas untuk Ayah."Petra hanya mengangguk, dia mengamati anak tirinya itu yang mengupas kulit jeruk. Maria sangat telaten, dia bahkan mencucinya terlebih dulu sebelum diserahkan pada ayahnya."Bantu aku duduk Maria," pinta Petra.Maria dengan segera menaikan sisi ranjang rumah sakit ini. Dia membantu ayahnya untuk duduk bersender di sana.Maria menyuapi satu-persatu jeruk itu ke mulut ayahnya. Mereka saling bercanda sampai Jake masuk ke dalam ruangan itu. Sikap Petra langsung sedikit diam, dia masih takut dengan perlakuan