Axton dan Gin terlihat kebingungan saat mencari tempat untuk bersembunyi. Axton melihat sebuah patung mannequin dan mengajak Gin untuk melakukan apa yang ia perintahkan.
BRAKK!!
Sekelompok pria terlihat begitu siap dengan pistol dan senapan laras panjang dalam genggaman. Mereka mengarahkan moncong senjata ke segala sudut ruangan untuk mencari keberadaan orang yang menyusup ke Markas Big Daddy.
Gin dan Axton menyamar menjadi patung dengan pakaian militer yang sama, seperti para penyerang di kediaman Mister beberapa waktu yang lalu.
Axton bergaya begitu meyakinkan. Tak bergerak, memakai kacamata hitam dan senapan laras panjang dalam genggaman. Gin ikut melakukan pose yang sama meski tubuhnya lebih tinggi dari Axton.
Seorang pria mendekati patung tipuan itu dengan kening berkerut. Ia mengulurkan tangannya dan memegang punggung tangan Gin dengan gugup.
DUAKK!!
"Argh!"
BRUKK!
"Now!"
Axton terkejut saat Gin mendorongnya kasar hingga ia hampir jatuh. Gin menunjukkan wajah bengis dan Axton langsung menjaga sikap.Gin berjalan pincang menuju ke pintu dengan senapan laras panjang dalam genggaman. Axton mengikuti Gin dengan posisi siap untuk melakukan aksi balas jika ada yang menyerangnya.Mata keduanya memindai sekitar saat menyadari jika pasukan Snow mulai menggempur markas milik Big Daddy. Axton melihat Gin kesulitan berjalan dan berusaha menolongnya, tapi Gin selalu menampik bantuannya hingga emosi Axton tersulut."Dengar, Gin. Aku tahu kau kesal padaku. Namun, aku tak mau membawamu pulang dalam keadaan cacat apalagi tewas. Sudah cukup orang-orang terluka di sekitarku, jangan memperpanjang daftar kesedihanku. Kau mengerti?!" pekiknya kesal dan Gin terdiam karena Axton melotot tajam padanya.Gin akhirnya mengalungkan tangannya di pundak Axton. Mereka mengendap dan menjauh dari pertempuran di mana suara tembakan serta ledakan terdengar b
Axton menonton tayangan dari layar dengan gambar hitam putih di hadapannya sembari menikmati biskuit dari sebuah toples yang ia temukan dekat meja pengendali."Oh! Sepertinya mereka mencariku," ucap Axton sembari mengunyah biskuit dengan senyum terkembang.Terlihat dari kamera pengawas tersembunyi saat Bardi dan anak buah Snow mencari keberadaan Axton. Namun, pemuda itu bukannya menunjukkan diri, ia malah menikmati tayangan dari layar-layar cembung di hadapannya dengan gembira saat Bardi dan lainnya terkejut melihat banyak mayat bergelimpangan di koridor."Hahaha, wajahmu lucu sekali, Bardi! Oh, di mana ya tombol untuk merekam? Ini harus diabadikan," ucapnya sibuk mengamati satu persatu tombol dari papan di hadapannya."Axton!" teriak Bardi yang akhirnya menemukan dirinya karena pintu terbuka."Bardi, my friend!" sambut Axton riang dan langsung berdiri mendatangi putera Snow lalu memeluknya.Bardi terlihat bingung, tapi menyambut pe
Gin dan Axton terlihat biasa saja saat berada di ruang makan, tak bersikap romantis layaknya sepasang kekasih. Beberapa orang yang sudah mengetahui aksi mereka di kamar, saling melirik dalam diam meski terlihat wajah keheranan karena sikap dua orang tersebut."Ayah! Apakah sudah diketahui, apa kandungan dari cairan aneh itu?" tanya Axton mendekati Leighton yang masuk ke ruang makan bersama Snow dan Bardi."Ya. Zat dalam cairan itu sangat berbahaya, Axton. Kakekmu memerintahkan untuk memusnahkan semua hal yang berhubungan dengan serum ganas itu," jawab Leighton serius."Ha? Dimusnahkan? Kenapa?" tanya Axton terlihat tidak sependapat."Terlalu beresiko. Tak ada penangkalnya. Bisa menjadi boomerang bagi kita jika sampai serum tersebut malah berbalik menyerang kita," sahut Snow berpihak pada keputusan Giamoco."Oh, ya sudah," jawab Axton lesu.Bardi mendekati Axton yang cemberut. "Axton. Kau diminta kakekmu untuk kembali ke Boston. Saya
Bardi dan Gin bisa melihat hati Axton yang terbakar amarah. Sorot matanya tajam bahkan seperti tak berkedip dan terus menghadap ke depan dengan kedua tangan melipat di depan dada. Gin dan Bardi menjadi canggung karena sikap Axton. "Sudahlah, Axton. Banyak gadis cantik seperti Serena di luar sana. Hem, aku suka caramu mencampakkannya saat di Cafe tadi. Setidaknya, kau yang meninggalkannya, bukan dia yang meninggalkanmu," ucap Gin santai dari bangku kemudinya, menyetir dengan tenang menyusuri jalanan padat Boston. Axton tak menjawab. Bardi hanya bisa diam tak tahu cara memberikan nasehat karena ia sendiri tak memiliki pacar. "Hah! Bukan itu masalahnya! Bardi jadi tak memiliki kekasih karena aku juga kembali lajang. Menyebalkan!" gerutu Axton yang akhirnya membuka mulut. "Oh, wow. Aku salah duga," jawab Gin heran sampai melebarkan mata. "Ah, aku juga tak masalah jika tak memiliki pacar. Aku baik-baik saja, Axton," ucap Bardi kaku. "Tidak
"Hei, hei, focus, Guys!" ucap seorang pria yang memakai bulu berwarna ungu seraya bertepuk tangan untuk memperingatkan dua orang yang asyik bercumbu. Gin dan pria berbulu biru langsung melepaskan ciuman tersipu malu. Axton dan Bardi ikut terkesiap. "Kalian tak ingin tahu, bagaimana proses seleksi?" tanya pria dengan bulu warna kuning. "Seleksi? Maksudnya? Saat kita memilih para wanita itu?" tanya Bardi menebak, tapi orang-orang dewasa di depannya malah terkekeh. "Sebaliknya. Seleksi saat mereka memilih kita," jawab si Kuning menegaskan. "What? Kita yang dipilih? Bagaimana jika dapat yang jelek?" tanya Axton menyahut. "Ya, itulah resikonya. Di sini kita tak bisa menolak pelanggan, kecuali, dia memiliki penyakit yang berbahaya," terang pria berbulu hijau. Axton dan Bardi menelan ludah terlihat pucat. "Jadi, bersiaplah. Giliran kalian mencoba," sambung pria berbulu ungu menatap dua remaja yang malah melotot menatapnya.
Axton panik. Ia merasa tak memiliki keahlian apapun untuk ditunjukkan. Gin dan para pria berbulu menatapnya tajam karena ia membuang waktu hampir 2 menit lamanya untuk berpikir. "Pikirkan saat sudah di panggung," gerutu Gin seraya mendorong cucu Giamoco tersebut dengan kasar. Axton terkejut karena tiba-tiba, lampu sorot di atas panggung menyilaukan pandangannya. Mata Axton langsung terpejam berikut tangan kanannya yang menghalau cahaya terang itu. "Hahaha, sepertinya ada yang takut dengan cahaya lampu. Apa kau vampir?" tanya Pembawa acara dan diikuti oleh tawa ringan para pelanggan yang sosoknya kembali tak terlihat karena lampu di area tersebut di matikan. Axton yang panik malah tampak bodoh di depan para wanita yang kini terfokus padanya. Axton salah tingkah dan sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan. Tawa para pelanggan makin riuh terdengar. Axton pucat seketika. "Hei, apa kau tersesat?" tanya pria Pembawa acara dan Axton menggeleng dengan waja
Axton dan pelanggan cantiknya diantarkan ke sebuah ruangan yang memiliki warna dominasi merah. Axton menyadari ruangan tersebut. Ia pun menoleh ke arah wanita yang kini menjadi pelanggan istimewanya."Selamat menikmati malam di Light Angel. Jika membutuhkan sesuatu, silakan tekan tombol merah ini," ucap pria pendamping seraya menunjuk sebuah tombol di dinding. "Saya permisi."Pria itu menutup pintu. Axton mendongak ke atas dan terlihat sebuah atap berwarna gelap terbuat dari kaca. Namun, Axton tahu jika kaca itu bisa dilihat dari sisi lain ketika ia berada di lantai dua dan tiga mengawasi para pelanggan yang berada di lantai dasar.'Hem. Pantas saja para pelanggan tak risih karena mereka mengira tempat ini tertutup dan privasi, padahal sangat jelas terlihat. Dasar bodoh,' guman Axton dalam hati dan kembali bersikap wajar."Jadi, Tony? Benar itu namamu, Tampan?" tanya wanita cantik itu seraya melepaskan asesoris yang membelenggu tubuh indahnya.
Nafas Axton menderu. Ia terlihat begitu marah dalam setiap langkah kaki yang ia pijakkan di lantai Light Angel. Tangan kanannya berlumuran darah korban pertama dari 13 target wanita incarannya. "Tu-Tuan Axton," panggil seorang Angel saat bertemu dengannya di koridor ketakutan. "Jangan halangi aku, minggir!" jawabnya gusar dengan pecahan kaca sebagai ancaman ia arahkan ke tubuh pria berbulu kuning tersebut. Para Angel yang bertemu dengan Axton sepanjang koridor dan tangga langsung menghindar, tak berani mendekatinya. BRAKK!! "GIN!" Teriaknya saat membuka pintu dengan kasar. Namun, mata Axton terbelalak ketika banyak moncong pistol di arahkan ke tubuhnya yang hanya berlapis celana dalam, sepasang sayap, sepasang sepatu boots yang melapisi kaki serta lilitan bulu seperti selendang di tubuhnya. Tak terlihat Gin berada di sana. Mata Axton memindai sekitar. Ia langsung berbalik dan kembali menuruni tangga, tapi tiba
Axton terlihat begitu bersemangat untuk menyelesaikan misinya. Raganya terasanya panas dengan keinginan membunuh begitu tinggi. Ia mengendarai bus untuk membawanya ke target berikutnya. Sayangnya, tempat tinggal Clara sedikit jauh, begitupula para wanita Leighton lainnya. Tujuan Axton kini ke Connecticut. Clara anak seorang pengusaha penangkapan dan pengalengan ikan di kota tersebut. Hanya saja, kabar menyebutkan jika keluarga Clara mengalami kebangkrutan. Axton memanfaatkan keterpurukan wanita itu yang sedang berjuang agar bisa menguasai pangsa pasar ikan di Amerika, dengan menikahi seorang duda beranak dua yang kaya raya. Sore itu, Axton tiba di kota New Heaven. Pemuda itu mencari kediaman Clara yang disinyalir memiliki sebuah mansion dekat pantai di mana keluarganya mulai merintis usaha baru berupa Resort. Dengan mudah, Axton menemukan Resort tersebut karena papan iklannya memenuhi beberapa jalanan besar yang ia lewati. Seringai A
Keesokan harinya, Giamoco berhasil menyulut emosi Axton karena permintaannya tak diindahkan. Axton kembali ke kamarnya dengan nafas menderu, ia mengunci dirinya di dalam sana. Giamoco meminta kepada seluruh penjaga agar mengawasi pergerakan Axton selama di rumah jika ia tak ada. Gerry, Jeff, dan Paul dibuat kerepotan karena ancaman pemuda itu. Ternyata diam-diam, Axton menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela. Ia mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sengaja menyalakan musik untuk mengelabui para penjaga. Usaha Axton berhasil. Ia menggendong sebuah tas ransel, memakai pakaian serba hitam, topi, kacamata, masker wajah, dan sarung tangan karet. Axton yang sudah mempelajari strategi bertarung, bertahan, menyelinap, dan menggunakan senjata berkat ajaran di Camp Militer serta mendiang Mister, membuatnya tak kesulitan melakukan hal mudah ini. SYUUT! TAP! Axton berhasil memanjat pohon cemara yang memiliki jarak paling dekat d
Mata Paul terbelalak. Ia shock melihat Axton menembak mati Mister tepat di keningnya. Axton meneteskan air mata tanpa isak tangis keluar dari mulutnya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol tersebut dengan pandangan kosong. "Axton!" panggil Paul berusaha bangun dengan susah payah. Ia langsung mendatangi Axton dengan tergopoh. "Kau gila?! Apa kau sadar yang kaulakukan?" tanyanya dengan nafas tersengal. "Mister bilang, dia tak bisa disembuhkan. Tak perlu kutembak, suatu saat nanti ia pasti akan mati. Aku ... hanya mempercepat kematiannya. Ia pasti bisa menerima kematiannya di alam sana," jawabnya dengan pandangan tertunduk. Mulut Paul menganga lebar. Ia merasa jika yang bicara barusan seperti bukan Axton yang ia kenal. Pemuda itu berbalik dan kembali masuk ke kamar lalu menutup pintu. Semua penjaga yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka ikut terkejut, tapi mereka tak bisa melakukan apapun. Semua sudah berakhir.
Selama di Swiss, Axton dan Mister menjadi pengusaha legal yang bergerak dibidang perkebunan. Awalnya, mereka menikmati rutinitas tersebut, termasuk Axton yang bersekolah di sana. Namun, sudah 8 bulan berlalu, Axton mulai bosan, begitupula dengan Mister. "Mister. Ini tidak menyenangkan. Sekolah tidak seru. Sudah tak ada lagi gadis di kelasku yang bisa kuajak kencan," ucapnya kesal yang berbaring di atas rumput samping peternakan sapi milik Giamoco. "Aku juga merasa demikian, Axton. Aku seperti tukang kebun dan peternak hewan. Kakekmu benar-benar tahu bagaimana menyingkirkan kita. Yah, kabar baiknya, aku tak mengamuk selama di sini bersamamu," sahutnya seraya duduk sembari memegang ranting kayu yang ia dapat dekat pohon tempat ia menggembala sapi. "Apa kau tahu, perkembangan para mafia di luar sana?" tanya Axton menoleh, tapi Mister menggeleng. Saat keduanya semakin merasa bosan, tiba-tiba .... "Axton! Mister! Segera masuk ke dalam! Di luar tidak aman.
Hati Axton sedih begitu mendengar pengakuan dari Mister. Axton mendekati pria malang itu dan duduk di samping ranjang, tak terlihat takut lagi. "Kau akan baik-baik saja, Mister. Kau pria kuat, tangguh, dan tampan. Tak perlu obat, kau pasti bisa bertahan. Aku akan selalu di sampingmu," ucap Axton mantap. Mister tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Axton erat. "Jadi ... bagaimana Camp Militer? Kau dipulangkan, pasti kau berbuat nakal," tanya Mister masih memegang tangan Axton erat. Axton meringis. Ia pun menceritakan pengalamannya di tempat pelatihan ala militer khusus para mafia itu. Mister terbengong setelah mengetahui kenapa Axton sampai dimarahi Zeno dan diusir. Mister menghela nafas. "Hem, kali ini aku sependapat dengan Zeno. Kau memang nakal," ucapnya menatap Axton tajam, tapi pemuda itu terlihat tak peduli. "Lalu ... aku mendengar kau membuat keributan di Light Angel. Memang, apa yang kaulakukan? Aku lebih percaya mulutmu yang bicara."
Keesokan harinya, Erik terbangun karena mendengar suara ribut di luar pondok tempatnya beristirahat. Ia duduk perlahan, dan tak mendapati Axton berada di ranjangnya. Erik diam senjenak untuk mengumpulkan nyawanya, hingga ia menyadari suara pertengkaran di luar adalah orang yang ia kenal. CEKLEK! "Kau sungguh memalukan! Kau tak diterima lagi di sini. Kau akan dikirim pulang hari ini juga!" teriak Komandan Zeno melotot tajam pada Axton di lapangan dengan para prajurit mengelilingi mereka. "Kau pikir aku suka di sini, hah?! Baguslah, aku tak perlu lulus untuk bisa keluar dari sini. Tahu seperti ini, aku lakukan sejak lama agar bisa pergi!" jawabnya balas berteriak. PLAK!! "Oh!" pekik orang-orang terkejut saat Komandan Zeno menampar Axton kuat. Axton sampai terhuyung dan jatuh di atas rumput. Tamparan Komandan Zeno sungguh kuat hingga ia merasakan seperti hilang kesadaran dalam sepersekian detik. "Aku bisa
Axton terlihat sigap. Ia termotivasi dari Erik yang lebih muda darinya, dan sudah lebih dulu berada di sana. Hari itu, latihan berat ala militer ia jalani. Tepat pukul 7 pagi, latihan dimulai dengan lari keliling kawasan di pedalaman sepanjang 10 km. Jika mereka haus, satu-satunya air minum adalah dari aliran sungai. Axton awalnya jijik, tapi melihat ia sudah tak sanggup dan akan pingsan, ia nekat meminumnya, bahkan sangat banyak. Orang-orang terkekeh geli melihat kelakuan Axton saat mulut dan sikapnya bertolak belakang. "Hoah, rasanya dunia berputar, Erik. Aku mau pingsan," ucap Axton yang larinya sudah seperti bebek di jalanan tanah tengah hutan. "Kau sudah mengatakan hal itu sejak 30 menit yang lalu, tapi buktinya kau masih bisa berlari. Sidikit lagi," jawab Erik yang berlari di belakangnya dengan keringat bercucuran, termasuk anggota di regunya. Akhirnya, mereka tiba di lapangan titik kumpul menjelang makan siang. Axton langsung terkapar d
Mata Axton terbelalak lebar, mulutnya menganga, dan tubuhnya mematung melihat pemandangan di sekitarnya. Seketika, Axton tersentak saat seorang pria berwajah garang mendorong punggungnya dan memintanya untuk masuk ke sebuah rumah yang terbuat dari kombinasi bambu, kayu, dan beratap rumbia. Axton memeluk koper yang dibawanya dan tak bisa memberontak, saat pintu rumah pondok itu ditutup rapat dari luar. Axton shock melihat ruangan itu sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Bercahaya redup dari sebuah lampu baterai. Memiliki dua buah kasur busa ukuran kecil yang hanya muat untuk satu orang dengan kerangka terbuat dari kayu. CEKLEK! "Eh?" kejut seorang remaja yang baru saja keluar dari kamar mandi di dalam Pondok itu. "Erik?!" pekik Axton dengan mata melebar karena mengenali kawan mafia-nya saat di Rusia dulu. "Kau Axton 'kan?" tanya Erik memastikan dengan menunjuknya. Axton memangguk cepat. Ia merasa Erik sep
Perlahan, Axton membuka mata saat ia mulai bisa merasakan tangannya menyentuh benda halus di sampingnya. Axton menyadari, jika ia terbaring di kasur berselimut tebal. Axton diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia duduk perlahan. Rona keceriaan yang biasa ia pancarkan tak terlihat lagi. Axton perlahan turun dari ranjang dengan wajah datar. Langkahnya mendatangi ruangan tempat ia menyimpan koleksi pakaiannya. Namun setibanya di sana, pemuda itu terdiam. Axton mengambil sebuah koper kecil dan memasukkan beberapa benda ke dalam tas hitam tersebut. Ia keluar dari ruangan dengan mengenakan sebuah jaket berwarna merah maroon sepanjang lutut, sepatu boots cokelat, dan topi rajutan warna hitam yang senada dengan kaos panjang yang ia kenakan. Axton menenteng tas itu keluar dari kamar. Ia berjalan dengan wajah datar saat menyusuri koridor hingga bertemu anak tangga dan menuruninya satu persatu. Para pelayan yang melihat sosok Axton