Aku sangat terkejut saat melihat Lilian tiba-tiba lemas dan duduk begitu saja. Tubuhnya juga sangat gemetaran.“Lilian!” panggilku sedikit panik.“Finn, m-maaf … m-maafkan aku,” ucap Lilian pelan.Aku mendekatkan telingaku dan mendengar kalau Lilian tidak berhenti meminta maaf.Ada apa ini? Apa Lilian mengalami trauma?Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Lilian, tetapi daripada terus menerus duduk di tepi jalan begini, aku memutuskan untuk menggendong Lilian ala bridal dan membawanya naik ke unit apartment. Mudah-mudahan saja Cheryl ada di unit.Setibanya di depan pintu unit apartment milik Lilian, aku mencoba menekan bel.Krek!Cheryl membukakan pintu dan raut wajahnya terlihat panik saat melihatku menggendong Lilian.“Keenan, Lilian kenapa?” tanya Cheryl.“Biar aku jelaskan di dalam,” ujarku.Cheryl membuka pintu lebih lebar dan membiarkan aku membawa Lilian masuk.Perlahan aku mendudukkan Lilian di atas sofa. Tubuhnya masih gemetaran dan berkeringat sangat banyak. Lalu aku ikut
“Li, kamu sudah bangun?” Itu suara Cheryl yang bertanya.Lilian bergegas berjalan mendekati aku dan berkata, “Keenan, apa kamu keberatan kalau tidur di sofa lagi?”“Li, apa kamu baik-baik saja?” tanya Cheryl.“Aku baru saja bermimpi buruk,” isak Lilian sambil menunduk.Aku dan Cheryl saling berpandangan, lalu kami pun kembali duduk di sofa.“Coba cerita, kamu mimpi apa?” tanya Cheryl.“Keenan mengalami hal yang sama dengan Finn,” jawab Lilian sambil menangis.Cheryl melihat ke arahku dengan pandangan seakan sedang meminta solusi.Aku bukan tidak mau menginap di sini, tetapi ini tempat tinggal para gadis dan aku merasa secara etika tidak baik kalau terlalu sering berada di sini.“Tadinya aku berencana untuk pulang dengan menggunakan taxi,” ujarku ingin tahu tanggapan Lilian.“Tidak boleh! Justru di mimpiku itu kamu sedang naik taxi dan ditabrak oleh sebuah mobil,” jawab Lilian tak bisa berhenti menangis.“Bagaimana kalau aku pergi mengantarkan Keenan?” Kini Cheryl ikut memberikan solus
Lilian POVBeberapa hari berlalu, akhir pekan pun tiba.Semenjak terakhir kali Keenan menginap di unit apartmentku, setiap hari Keenan menjemputku di kantor. Sepertinya Cheryl sengaja memberikan tugas pada Keenan agar aku tidak pulang sendirian.Aku bisa maklum karena Cheryl sedang sangat sibuk dan dia pasti mengkhawatirkan aku.Hari ini adalah hari libur. Namun, aku merasa sejak pagi sepertinya Cheryl sibuk di dapur. Aroma kopi dan roti bakar menyelinap masuk melalui sela-sela pintu seakan memanggilku untuk keluar dari kamar.Merasa tidak tahan lagi, aku memilih untuk keluar dari kamar dan melihat aktivitas Cheryl.“Kamu mau ke mana?” tanyaku.“Dokter sombong itu terus saja menyuruhku bekerja. Dia memberiku banyak pasien,” jawab Cheryl dengan raut wajah kesal.Mendengar jawaban Cheryl, aku praktis mengernyit keheranan. Pasalnya, akhir-akhir ini Cheryl tidak pernah cerita apa pun padaku. Aku jadi tidak mengerti cerita terbaru mengenai sahabatku itu.“Dokter sombong itu siapa?” tanyaku
“Kalau ada seseorang menekan bel pintu, kamu bisa memeriksanya terlebih dahulu di sini, dengan menekan ini,” jelas Keenan.“Oh,” sahutku sambil memperhatikan.“Kalau bukan orang yang kamu kenal, maka kamu tidak perlu membukakan pintu. Nah, yang di pintu ini pengait yang harus selalu kamu pasang agar orang yang tidak dikenal tidak langsung masuk begitu saja. Apa kamu mengerti?” tanya Keenan.“Iya, aku tahu alat seperti ini, tetapi tidak pernah berniat untuk memasangnya karena sejauh ini semua baik-baik saja,” jawabku.“Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari ini dan kalian harus memiliki alat ini untuk keamanan,” ujar Keenan.Perkataan Keenan praktis membuat hatiku menghangat. Bagaimana dia, seseorang yang baru kami kenal, bisa berpikir sampai sejauh ini? Sikapnya ini membuatku semakin merasa bersalah kalau ingat kami pernah mencurigainya sebagai pengirim hadiah misterius.“Terima kasih, Keenan. Berapa yang harus aku bayar untuk membeli dan memasang alat ini?” tanyaku.“Tidak perl
Cheryl terlihat salah tingkah ketika melihatku dan Keenan berjalan mendekat. Namun, di detik berikutnya Cheryl segera melambaikan tangan.“Kalian di sini?” tanya Cheryl.“Iya. Baru saja kami selesai melihat-lihat mainan,” jawabku sambil melirik ke arah seorang pria yang sedang duduk di sebelah Cheryl.“Oh, kenalkan … Dokter Raffa. Dokter Raffa, kenalkan ini Lilian dan Keenan. Mereka sahabat saya,” ujar Cheryl.Aku dan Keenan praktis mengulurkan tangan bergantian untuk berkenalan.Ah, dia ternyata Dokter Raffa. Perasaan baru tadi pagi Cheryl bercerita tentang Dokter Raffa, sekarang kami sudah bertemu.Benar kata Cheryl, Dokter Raffa tampan dan sangat berwibawa. Tapi … kenapa Cheryl makan siang bersamanya? Bukankah Cheryl tidak suka dengannya? Apa terjadi sesuatu yang belum aku ketahui?“Mari … kita makan siang bersama-sama!” ajak Dokter Raffa.“Eee, kami akan duduk di kursi yang lain saja,” tolakku sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Dan ternyata restoran sedang penuh sekarang.Ba
“Ini kartu nama saya.” Keenan mengulurkan kedua tangannya dan memberikan kartu nama pada Dokter Raffa.“Maaf, saya lupa tidak membawa kartu nama. Nanti saya akan mengirimkan pesan melalui nomor whatsapp,” ujar Dokter Raffa.“Tidak apa-apa,” sahut Keenan.“Saya akan bicara dengan Cheryl. Jika bisa, besok kita berjumpa kembali.” Kali ini Dokter Raffa menatapku dan Keenan bergantian.“Siap,” sahut Keenan.Aku sendiri hanya tersenyum untuk menanggapi.Sekilas aku bisa melihat raut wajah Cheryl yang sepertinya tidak berminat untuk pergi bersama. Namun, di sini aku merasa sepertinya Dokter Raffa menyukai Cheryl.Ah, mikir apa aku ini? Sebelumnya aku sempat menjodohkan Cheryl dengan Keenan dan sekarang aku berpikir untuk menggoda Cheryl dengan Dokter Raffa. Mungkin sebaiknya aku berhenti sebelum Cheryl marah. Aku rasa, sikapku juga terlalu kekanak-kanakan.Aku tidak mendengar perkataan Dokter Raffa yang terakhir, hanya saja saat ini Keenan sudah pamit.“Terima kasih, Dokter Raffa. Senang ber
Seingatku, ini pertama kalinya setelah Finn pergi, aku menghabiskan waktu bersama seorang pria. Perasaan … mencari ide untuk membuat mainan hanya sebentar, sisa waktu yang lain hanya untuk jalan-jalan dan menikmati makanan yang belum pernah aku makan.Kalau kalian bertanya bagaimana rasanya? Jawabanku, biasa saja.Hm, begini begini … aku merasa senang karena aku bisa tertawa dan mencicipi makanan yang belum pernah aku makan selama di Singapura. Akan tetapi, hanya sebatas itu saja.Hingga malam hari, Keenan mengantarku pulang, Cheryl ternyata sudah berada di unit apartment.“Hai, Ryl!” sapaku begitu membuka pintu.“Eh, Keenan antar kamu atau tidak?” Bukannya membalas sapaanku, Cheryl malah langsung menanyakan Keenan.“Ada, tapi dia langsung pulang. Mau aku panggil?” tanyaku.“Iya, boleh,” sahut Cheryl.Aku pun langsung membuka pintu dan sedikit berteriak memanggil Keenan. Untungnya, pintu lift masih belum tertutup rapat.“Ya?” sahut Keenan sambil menahan pintu lift.“Besok kita jadi pe
Sesudah membersihkan diri, aku bergegas naik ke atas tempat tidur dan dalam sekejab aku sudah terlelap.Benar, aku yakin kalau aku sudah terlelap. Akan tetapi, pikiranku tidak berhenti berkelana, seolah-olah aku masih sedang terjaga.Apa jangan-jangan aku memang belum tidur?Kini aku mulai berpikir untuk memperbaiki beberapa tugasku di kantor. Lalu, aku berpikir untuk segera menyelesaikan desain mainan untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Pun aku berpikir untuk meluangkan waktu membersihkan apartment. Astaga! Ternyata ada banyak hal yang harus aku selesaikan.Selagi aku memikirkan semuanya itu, tiba-tiba aku merasa sekelilingku berubah menjadi seperti sebuah ruang kerja, di mana aku duduk di dekat meja berukuran panjang. Di atas meja itu terdapat setumpuk pekerjaan. Ketika aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, dari jauh aku melihat seseorang yang mirip dengan Finn berjalan mendekat ke arahku.Tidak tidak … seseorang itu tidak mirip dengan Finn. Orang itu adalah Finn.“Fi
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera