Tanpa terasa, aku dan Keenan tiba di Marina Bay Sands. Di sini rencananya kita akan menikmati salah satu hidangan di restoran yang sudah dipilih oleh Dokter Raffa. Mungkin setelah itu kita bisa jalan-jalan sebentar.“Apa Dokter Raffa dan Cheryl sudah tiba?” tanya Keenan.“Seharusnya sudah,” jawabku.“Mau langsung ke restoran atau jalan sebentar?” Keenan menawarkan.“Kita bisa jalan dengan santai sambil menuju ke restoran,” jawabku.Keenan mengangguk dan berjalan di samping kananku.“Tempo hari aku sempat ingin mengajakmu mengunjungi ArtScience Museum,” ujar Keenan.“Mau! Kapan-kapan kita ke sini lagi ya? Sudah lama aku ingin mengunjungi ArtScience Museum, hanya saja sulit mendapat tiketnya,” jawabku bersemangat.“Kita harus berangkat lebih awal untuk mendapatkan tiket masuknya,” sahut Keenan sambil tersenyum. Dia pasti sedang menertawakan tingkahku.Aku hanya mengangguk untuk menanggapi.“Mau naik escalator atau lift?” tanyaku.“Escalator saja,” jawab Keenan.Lagi-lagi aku hanya menga
Setelah membicarakan semua hal serius hingga bercanda, bahkan sampai kami pindah ke cafe sekadar untuk duduk dan minum, tanpa terasa senja pun menyapa. Itu artinya sebentar lagi malam dan pertunjukan air menari akan segera dimulai.“Kita harus ke tempat pertunjukan agar bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman,” ujar Keenan.“Ayo! Kita jalan ke sana saja sekarang,” ajak Dokter Raffa.Aku dan Keenan berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Cheryl dan Dokter Raffa.“Wah, masih panas, Kee,” ujarku. Aku praktis menyipit begitu cahaya matahari menerpa wajah saat langkah kami sudah tiba di sisi bagian luar.“Tidak apa-apa, ini hanya sebentar,” jawab Keenan. Matanya ikut menyipit, tetapi dia tetap melangkah menuju ke anak tangga paling depan. Itu tempat yang paling strategis untuk menonton.Saat ini memang tempat ini sangat sepi. Tapi, lihat saja nanti … semakin malam pasti tempat ini akan semakin ramai dengan pengunjung.“Masih panas, Li!” Itu suara Cheryl yang mengajukan protes. Posisinya m
Aku menutup ponsel dalam keadaan kesal. Akhir minggu depan Papa dan Mama mau datang ke Singapura.Ah, kenapa ini membuat hatiku seketika mencelos?Anggaplah aku ini anak yang aneh. Saat orang lain merasa senang mendengar keluarganya mau datang mengunjungi, aku justru merasa kesal dan tidak suka. Akan tetapi, hubunganku dengan keluarga tidak cukup dekat.Seperti yang pernah aku ceritakan pada Keenan, kedatangan Mama justru membuatku mendadak tidak memiliki apa-apa dan merasa diri ini tidak berguna. Semua tabungan dan perhiasan yang aku beli dari hasil kerja pasti diambil dengan alasan agar tidak hilang. Ujung-ujungnya, saat aku perlu atau ingin pakai, Mama pasti menyuruhku minta Papa.“Orang tuamu mau datang ke Singapura, Li?” tanya Keenan membuatku terkesiap.“Iya,” jawabku singkat.“Kamu terlihat tidak senang mendengar kabar kalau orang tuamu akan datang,” ujar Keenan.“Begitulah,” sahutku malas.“Tidak boleh begitu, Li. Bagaimanapun mereka adalah orang tua. Kita harus menghormati me
Seandainya bisa, ingin rasanya aku membuat waktu berjalan lebih lambat dari biasanya agar waktu kedatangan Papa dan Mama tidak terlalu cepat. Akan tetapi, siapa yang bisa menghentikan waktu?Saat ini, aku dan Cheryl sudah berada di bandara untuk menjemput Papa dan Mama. Menurut jadwal, seharusnya mereka sudah tiba. Mungkin mereka masih mengambil barang-barang.“Apa kita akan langsung mengantar orang tuamu ke hotel?” tanya Cheryl.“Entahlah. Mungkin saja,” jawabku malas.“Hei, apa kamu semalam tidak tidur dengan baik?” tanya Cheryl sambil mengamati kedua mataku.“Iya … semalam aku tidak bisa tidur dengan baik,” jawabku mengulangi pertanyaan Cheryl. Aku mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar para penumpang pesawat.“Seharusnya kamu tidur dengan baik, Nona. Kita pasti akan sangat sibuk dengan kedatangan orang tuamu,” ujar Cheryl.“Seharusnya kamu tidak perlu mengambil hari libur. Aku dan orang tuaku bisa naik transportasi umum.” Aku berkata.“Setelah aku pikir-pikir … besok aku meman
“Bagaimana pekerjaanmu, Li?” Kini Mama menoleh ke arahku.“Baik, Ma. Semua berjalan seperti biasa,” jawabku singkat.“Apa Tante tidak berniat bertanya padaku?” canda Cheryl.“Apa kamu sudah punya kekasih?” tanya Mama dengan senyum menggoda.“Pertanyaan Tante menyinggung saya,” jawab Chery sambil mengerucutkan bibirnya. Tentu saja dia hanya pura-pura marah.Bukannya kesal, Mama justru tertawa terbahak-bahak.“Tante tidak perlu bertanya mengenai pekerjaan karena kamu itu sudah memiliki kehidupan yang sangat baik. Tante hanya penasaran dengan kekasihmu,” ujar Mama.“Tidak lama lagi Cheryl akan memiliki kekasih,” celetuk Keenan.“Benarkah? Kamu harus mengenalkannya pada Tante,” sahut Mama.Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan sikap Mama yang terlihat begitu menyayangi Cheryl. Namun, sejujurnya aku malu dengan Keenan dan Cheryl. Aku ini anaknya, tetapi Mama bersikap seolah-olah begitu membenciku.Apa aku ini anak yang tidak diharapkan?Kalau benar Mama tidak mengharapkan aku, apa aku boleh
Kali ini Papa dan Mama pergi bersama Cheryl dengan menggunakan mobilnya. Sedangkan aku pergi bersama Keenan di mobilnya.Suasana agak sedikit canggung mengingat Keenan baru saja menyatakan cintanya. Aku hanya heran, kenapa aku tidak merasa sedih seperti biasanya? Apa karena suasana hati sudah didominasi oleh kedatangan Papa dan Mama?“Apa kamu sedih karena Papa dan Mama ikut mobil Cheryl?” tanya Keenan membuatku terkesiap.“Tidak. Sikap Mama sudah seperti itu sejak beliau mengenal Cheryl,” jawabku.“Pasti ada sesuatu yang membuat mamamu bersikap seperti itu,” ujar Keenan.“Iya dan aku tidak mengerti masalah yang sudah aku lakukan yang membuat Mama bersikap demikian,” sahutku lirih.Keenan meraih tanganku, mungkin sekadar ingin menyalurkan ketenangan.“Setidaknya papamu masih bisa bersikap netral,” ujar Keenan.“Iya,” jawabku.“Li, sekarang kamu resmi menjadi kekasihku, ‘kan?” tanya Keenan.“Katanya, kita selesaikan dulu masa lalu, baru menjalani hubungan yang lebih serius,” jawabku de
Aku hanya tersenyum dengan tulus pada Cheryl. Aku ikhlas … sungguh aku ikhlas. Cheryl juga sudah melakukan banyak hal untukku. Dia berhak mendapatkan banyak hadiah dari Mama.Sebenarnya aku tidak pernah peduli dengan materi. Aku juga tidak pernah iri dengan milik orang lain. Aku menjalani kehidupan dengan apa yang diberikan Tuhan padaku.Apa aku terlalu pasrah?Aku hanya tidak ingin ribet dengan urusan materi. Seandainya pun aku tidak mendapat warisan, aku tidak akan menuntut macam-macam. Apa ini yang dinamakan sudah mati rasa?Di dalam hidup ini, aku hanya ingin merasa dicintai oleh orang-orang yang aku sayangi. Aku hanya ingin Mama menyayangiku. Mungkin selama ini Mama menyayangiku, tetapi caranya tidak sampai menyentuh hatiku sehingga membuatku tidak merasa kalau Mama menyayangiku.Ah, sudahlah … aku tidak ingin membahasnya lagi. Papa sudah memberikan penjelasan dan aku akan menurunkan ekspektasi untuk mendapatkan hati Mama.Benar! Mungkin ini satu-satunya cara agar aku tidak kecew
BRAK!“Aaaaa! Tolong!” seruku sambil menutup wajah dengan kedua tangan.Tin! Tin! Tin!Aku mendengar suara bel mobil yang saling bersahutan, membuat debaran di dada tiba-tiba meningkat berkali-kali lipat. Ini membuatku tidak berani membuka mata.Apa kami baik-baik saja? Apa yang terjadi di luar sana? “Hah! Hah! Hah!”Aku dapat mendengar suara napas Keenan yang terengah-engah.Setelah agak lama aku dan Keenan hanya diam. Akhirnya Keenan bersuara, “Apa kamu baik-baik saja, Li?”Aku baru sadar kalau tidak merasakan apa pun. Maksudku, aku tidak merasa mobil Keenan ditabrak. Lalu, suara tabrakan tadi … apa itu?Perlahan aku menurunkan kedua tanganku sambil melihat ke sekitar. Benar … tidak terjadi apa-apa. Hanya posisi mobil kami saja yang berada di tengah-tengah perempatan jalan. Untuk saat ini, Keenan tidak bisa melajukan kendaraannya karena di sekitar kami sudah ramai dengan kendaraan yang lain.“A-apa k-kamu ditabrak?” Bukannya menjawab, aku justru balik bertanya.“Tidak. Aku berhasil
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera