Pov Amar "Biaya ke dokter mahal. Kita tidak punya tabungan," ujarku mengelak. Pasti Lilis akan mengurungkan niatnya jika sudah membahas tentang uang. "Minta ke ibumu. Dia kan punya banyak uang. Masa semua uang yang kamu kasih setiap bulan, sudah habis. Dia kan tidak pernah belanja." Apa-apaan ini! Kenapa meminta uang ke ibu. Semakin tidak beres saja otak Lilis. Permintaannya semakin aneh. "Dulu aku dan Arumi ke dokter dari hasil tabungan Arumi. Bukan pakai uang dari ibu. Masa dari uang yang aku berikan setiap bulan, kamu tidak bisa menabung," ujarku sambil sedikit menjauhkan wajah. Rasanya tak Sudi terlalu lama berdekatan dengan perempuan ini. Jujur hingga kini, setiap melakukan hubungan suami istri dengan Lilis, aku selalu membayangkan wajah Arumi. Ya, aku hanya bisa menikmati jika dalam pikiranku terbayang wajah Arumi. Bagaimana tidak, Lilis selalu saja membuatku muak. Bagaimana bisa aku bernafsu dengannya? Aku dan Lilis tidak berhubungan suami istri setiap saat. Hanya pada m
Pov Amar Aku lalu ikut berdiri, ingin menyusul ibu ke kamarnya. Jika aku tak bisa merayu Lilis karena terlalu keras kepala, berarti aku harus bisa merayu ibu. "Ya Allah, Bu. Lilis itu bukan Arumi. Aku tidak bisa merayunya. Coba ibu yang bicara ke Lilis. Dia kan menantu pilihan ibu." Aku berkata setelah duduk di ranjang tidur. Ibu sudah berbaring. Aku merasa jenuh dengan keinginan ibu. Jika Lilis memiliki sifat seperti Arumi, sangat mudah untuk aku merayunya. Tetapi dia perempuan yang sangat keras kepala. Sekali katakan tidak, akan tetap tidak. "Kamu kan suaminya, Amar. Masa tidak bisa membujuknya." "Lilis menantu pilihan ibu. Aku tidak tahu cara untuk mengambil hati Lilis. Jika ibu ingin dia ke dukun, ibu saja yang katakan padanya, aku tidak bisa …. Nanti saja kita bicarakan lagi, Bu. Aku mau keluar dulu," ujarku langsung berdiri, sebelum ibu kembali mengeluarkan kalimat yang membuat aku ingin berteriak. Memang sebaiknya aku keluar mencari udara segar. Kalau terus berada di rum
Pov Amar Kok Ibu bisa berubah secepat ini. Padahal tadi aku meninggalkannya di rumah dalam keadaan risau dan kesal. Apa yang sudah Lilis katakan pada Ibu? Sehingga ibu bisa berubah dalam waktu yang sangat cepat seperti ini. Entah mengapa kini aku deg-degan. Aku takut mengetahui hasil laboratorium. Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi. Ah, tidak usah aku berpikir buruk. Bisa jadi firasatku benar, hasil pemeriksaan laboratorium yang dulu itu salah. Ada campur tangan Arumi saat itu. "Mana baiknya saja menurut ibu. Aku mengikut keputusan ibu," ujarku lembut. Lilis tersenyum sinis. Namun saat ibu melihatnya, senyuman itu berubah menjadi anggun. Sebenarnya ada apa dengan perempuan ini? "Tetapi tunggu! Kalian punya uang kan untuk ke dokter? Biaya ke dokter pasti mahal." Ibu berkata sambil melihatku dan Lilis bergantian. Lilis melirikku sejenak, dia lalu berkata, "tidak ada, Bu. Aku harap nya pada ibu yang bisa membantu kami." Lilis berkata dengan pelan. Sangat berbeda ketika b
Pov Amar *** Aku dan Lilis sedang di perjalanan menuju Rumah Sakit. Kami sudah janjian dengan dokter, aku akan melakukan tes kesuburan. Begitu pun dengan Lilis, hari ini dia akan menjalani pemeriksaan HSG. Aku memilih rumah sakit yang berbeda dengan saat melakukan pemeriksaan bersama Arumi. Aku tak ingin ke Rumah Sakit yang dulu lagi. Di Rumah Sakit itu data riwayat kesehatanku sudah ada. Jangan sampai Lilis tahu tentang ini. "Ibu Lilis silahkan masuk!" Terdengar suara seorang perawat yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Lilis menarik tanganku untuk ikut masuk. Kenapa aku juga harus ikut masuk? Padahal kan dia yang akan menjalani pemeriksaan. "Dengan Ibu Lilis?" tanya dokter spesialis radiologi. "Iya, Dok?" jawab Lilis dengan anggun. Perempuan ini, jika berhadapan dengan orang lain terlihat sangat anggun. Tetapi jika denganku, berubah menjadi monster. "Ibu dan bapak sudah berapa tahun menikah?" tanya dokter pada kami sambil tersenyum ramah. "Setahun lebih sebulan, dok.
Pov Amar Waktu terus berputar, di tanganku sudah ada hasil pemeriksaan tes kesuburan. Aku memegang sendiri hasil tes, begitupun dengan Lilis. Sengaja, tidak ingin dibaca oleh Lilis. Lebih baik langsung di baca oleh dokter. Aku dan Lilis sedang menunggu di kursi tunggu depan ruang praktek dokter. Kami mendapat nomor urut tujuh, sedangkan sekarang masih nomor urut tiga. Aku rasa akan lama kami berada di sini. Entahlah, apa saja yang dilakukan oleh dokter hingga waktu pasien berada di ruangannya sangat lama. "Ibu Lilis," panggil seorang perawat. Akhirnya tiba juga nama Lilis dipanggil. Aku dan Lilis pun berdiri, melangkah menuju ruang dokter. Lilis tersenyum lembut pada dokter, begitupun denganku. Kami berdua langsung duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan dokter, ada meja yang menjadi perantara kami dan dokter. "Ini hasil HSG, dok,"ujar Lilis lembut. Saat melihat Lilis menaruh hasil HSG di atas meja, aku juga langsung menaruh hasil pemeriksaan kesuburanku. "Dan ini
Pov Amar Kini aku dan Lilis sedang dijalan menuju Rumah. Dokter yang dulu aku datangi bersama Lilis tidak menjelaskan seperti dokter tadi. Dulu aku mengira jika azoospermia hanya masalah biasa yang juga dialami oleh kebanyakan lelaki diluar sana. Dokter yang dulu memang mengatakan jika aku akan sulit untuk memiliki anak. Tetapi aku tidak percaya. Bisa saja dia bohong. Dokter yang baru saja kami datangi tadi, menjelaskan dengan sangat sempurna. Hingga tidak ada lagi keraguan dalam pikiranku. Ya, aku benar mandul. Lilis berada di belakangku, sedari tadi dia hanya diam saja. Tidak seperti saat menuju rumah sakit, dia terus mengadu mulut denganku. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang? Mungkin senang karena ternyata dia sehat dan aku tidak. Tiga puluh menit perjalanan, aku dan Lilis pun tiba di Rumah. "Waalaikumsalam, kalian sudah pulang. Gimana hasilnya tadi." Ibu tersenyum saat membuka pintu. Aku langsung masuk ke dalam kamar, tidak menyapa ibu terlebih dahulu. Biarkan Li
Pov Amar "Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk me-" ucapanku terhenti karena mendengar suara ketukan pintu. Lilis menoleh ke arah pintu, hanya beberapa detik, dia lalu kembali melihatku. Tak lama, dia pun berdiri untuk membuka pintu, ternyata ibu. Kini ibu melangkah masuk, menghampiriku. Lilis berjalan di belakangnya. Entah apa yang akan dikatakan ibu. Kini aku sangat deg-degan. Aku belum siap untuk jujur pada ibu. Tetapi, aku juga tak bisa mencegah Lilis untuk berkata. Dia pasti akan melakukan seperti ucapannya tadi, ingin memberitahu ibu jika aku mandul. Aku tak bisa membayangkan, yang akan terjadi sesudah ini. "Apa hasil pemeriksaan dari dokter? Kenapa kalian tidak mau cerita ke ibu? Minggu lalu, kamu cerita ke ibu jika Lilis baik- baik saja. Kenapa hari ini wajah kalian tidak seperti minggu lalu, pulang dengan keadaan ceria." Ibu berkata dengan tatapan sendu. Aku tak tega melihatnya. Lilis berdiri, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Ya benar, dia mengambil
***"Mbak Arumi, di luar ada yang cari," ujar Mbak Nurul. Karyawan yang baru saja aku suruh mengantar makanan di meja pelanggan."Siapa?" tanyaku singkat."Nggak tahu, Mbak. Katanya teman Mbak waktu sekolah," tutur Mbak Nurul yang masih berdiri di sampingku."Perempuan atau laki-laki?" tanyaku lagi dengan tangan yang masih menggiling bumbu saus gado-gado. Aku sekarang memiliki warung makan. Meskipun tidak terlalu besar, namun aku sudah mempunyai banyak tabungan dari mengelola warung ini. Padahal usahaku ini baru berdiri selama setahun. Ya, hari ini sudah genap setahun. Aku sangat berterimakasih pada Mas Riki dan Mas Arca. Mereka sudah patungan untuk memberikan modal usaha. Yang paling penting, semua itu atas persetujuan kedua iparku. Jujur, aku merasa sangat beruntung memiliki ipar seperti mereka."Perempuan, Mbak." Aku terdiam sesaat, setelah mendengar ucapan Mbak Nurul. Kira-kira siapa ya? Teman saat aku sekolah SMA? Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan satu pun teman sekola
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t