Pov Amar "Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk me-" ucapanku terhenti karena mendengar suara ketukan pintu. Lilis menoleh ke arah pintu, hanya beberapa detik, dia lalu kembali melihatku. Tak lama, dia pun berdiri untuk membuka pintu, ternyata ibu. Kini ibu melangkah masuk, menghampiriku. Lilis berjalan di belakangnya. Entah apa yang akan dikatakan ibu. Kini aku sangat deg-degan. Aku belum siap untuk jujur pada ibu. Tetapi, aku juga tak bisa mencegah Lilis untuk berkata. Dia pasti akan melakukan seperti ucapannya tadi, ingin memberitahu ibu jika aku mandul. Aku tak bisa membayangkan, yang akan terjadi sesudah ini. "Apa hasil pemeriksaan dari dokter? Kenapa kalian tidak mau cerita ke ibu? Minggu lalu, kamu cerita ke ibu jika Lilis baik- baik saja. Kenapa hari ini wajah kalian tidak seperti minggu lalu, pulang dengan keadaan ceria." Ibu berkata dengan tatapan sendu. Aku tak tega melihatnya. Lilis berdiri, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Ya benar, dia mengambil
***"Mbak Arumi, di luar ada yang cari," ujar Mbak Nurul. Karyawan yang baru saja aku suruh mengantar makanan di meja pelanggan."Siapa?" tanyaku singkat."Nggak tahu, Mbak. Katanya teman Mbak waktu sekolah," tutur Mbak Nurul yang masih berdiri di sampingku."Perempuan atau laki-laki?" tanyaku lagi dengan tangan yang masih menggiling bumbu saus gado-gado. Aku sekarang memiliki warung makan. Meskipun tidak terlalu besar, namun aku sudah mempunyai banyak tabungan dari mengelola warung ini. Padahal usahaku ini baru berdiri selama setahun. Ya, hari ini sudah genap setahun. Aku sangat berterimakasih pada Mas Riki dan Mas Arca. Mereka sudah patungan untuk memberikan modal usaha. Yang paling penting, semua itu atas persetujuan kedua iparku. Jujur, aku merasa sangat beruntung memiliki ipar seperti mereka."Perempuan, Mbak." Aku terdiam sesaat, setelah mendengar ucapan Mbak Nurul. Kira-kira siapa ya? Teman saat aku sekolah SMA? Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan satu pun teman sekola
"Heh, kenapa berpikiran begitu, kamu itu sahabatku, dari dulu sampai sekarang. Aku tidak mengundangmu karena dulu acara nikahan tidak ada resepsi. Hanya akad nikah saja," ujarku dengan pelan. Berharap Trisha tidak lagi mempertanyakan soal pernikahanku yang dulu. Sejujurnya aku tidak ingin lagi membahas itu. Rasanya semua kenangan pahit kembali membuat hati terluka."Meskipun hanya akad, aku pasti datang jika diberitahu. Terus mana suamimu. Kapan kamu mengenalkan aku padanya?" Aku termenung, wajah kini sendu. Aku menatap Trisha. Rasanya ingin mengeluarkan semua rasa sakit ini padanya. Selama ini aku selalu memendam. Berpura-pura tertawa, padahal hati gundah. Berpura-pura baik-baik saja, meskipun rasa sakit masih ada.Sejak pulang dari persidangan di hari itu, aku selalu berusaha untuk melupakan Mas Amar. Aku memang sudah tak cinta. Namun, rasa benci dan emosi masih terpendam. Sebenarnya aku butuh teman cerita, layaknya orang lain. Tetapi sejauh ini, aku belum menemukan teman yang bis
"Kamu perempuan hebat, Arumi. Kenapa Allah mengujimu seperti itu? Karena Allah tahu kamu mampu," ucap Trisha setelah melepas pelukan."Aku terlalu bucin, Tris. Mau saja di bodoh-bodohi. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatakan kalau Mas Amar sulit punya anak. Namun Mas Amar memintaku agar menyembunyikan kebenaran itu dari semua orang. Dan dia malah menuduhku yang mandul. Jahat sekali kan?" Aku melirik Trisha. Hanya sejenak, ingin mengetahui seperti apa responnya mendengar ceritaku. Dia kaget, mimik muka nya nampak marah."Kok bisa ada lelaki seperti itu di dunia ini? Ya Allah, kenapa kamu bisa menikah dengan orang seperti itu. Padahal kamu sangat baik, Arumi. Berarti perceraian kalian adalah nikmat dari Allah untuk kamu. Aku pernah mendengar dari ustad, kalau bercerai dengan orang alim itu musibah, sedangkan bercerai dengan orang dzolim itu nikmat. Percayalah, setelah ini kamu akan menemukan jodoh yang sangat baik." Ucapan Trisha sangat benar. Berpisah dengan Mas Amar adalah nikmat
"Ya Allah, Tris! Serius, kamu menunggu Yuda? Kamu tahu dari mana kalau dia belum menikah? Bisa saja kan dia sudah menikah, tetapi tidak mengundang teman-teman dan tidak pula di publish." Aku sangat kaget. Kok bisa? Padahal aku kira, itu hanya cinta-cintaan anak remaja. Ya, hanya sebuah rasa kagum pada seorang lagi. Bukan rasa ingin memiliki.Aku memang tahu, jika Trisha diam-diam sangat mengagumi Yuda. Dulu, hampir setiap hari Trisha selalu menceritakan Yuda. Bahkan aku sampai bosan mendengarnya. Tetapi aku tidak mungkin jujur ke Trisha jika aku bosan. Ya Allah, ternyata itu bukan hanya sekedar rasa kagum biasa. Trisha bahkan ingin menjadi istri Yuda. Sungguh, ini sangat mengagetkan."Aku selalu memantau media sosialnya. Aku juga punya kenalan di tempat kerjanya. Jadi tidak mungkin jika aku ketinggalan kabar. Tetapi gimana ya, Ar. Aku ini perempuan, tidak mungkin kan maju duluan. Jadi hanya bisa diam dan berdoa."Percakapan kami terhenti ketika seorang karyawan membawa makanan yang
Saat itu, aku langsung meninggalkan Yuda tanpa berkata apapun. Aku rasa tak perlu di gubris. Mungkin dia hanya iseng atau sedang taruhan bersama teman-temannya. Bukankah begitu? Lelaki populer yang naksir pada perempuan biasa, seringkali karena sedang taruhan. Aku cukup sadar diri untuk tidak terbuai dengan ucapan-ucapan Yuda. Apalagi tahu jika Trisha menyukainya. Tetapi aku rasa benar, jika Yuda hanya bermain-main dalam ucapan. Aku kembali teringat ucapan Yuda, "tunggu aku, Arumi. Ketika sudah sukses, aku akan datang melamar kamu. Tolong tunggu aku dan jika ada yang melamar kamu, tolong jangan pernah terima." Kalimat itu terucap ketika kami selesai mendengar pengumuman kelulusan sekolah. Lagi-lagi Yuda berkata saat keadaan sepi, dia menghampiriku yang sedang berjalan kaki menuju kos. Jika dia serius, pasti akan datang melamar. Nyatanya hingga sukses, dia bahkan hilang kabar.Yang membuatku heran, kenapa dulu Yuda selalu mendekatiku saat keadaan sekitar sedang sepi. Mungkin dia mal
Trisha hanya tersenyum tanpa berkata apapun. Sudah lima menit, Trisha hanya melamun. Entah, apa yang ada dalam pikirannya. Aku juga tidak bisa menebak. "Tris, kamu kenapa, kok diam." Aku pun berucap.Trisha pun ikut tersenyum, bibirnya lalu berkata, "nggak apa apa kok. Ada yang aku pikirkan soal kerjaan. Oh iya, kita belum bertukar nomor handphone.""Biar aku saja yang tulis nomor kamu. Nanti aku memanggil," ujarku lalu berdiri dan melangkah ke belakang.Tadi aku menemui Trisha tanpa memegang handphone. Setelah benda pipih yang dicari sudah dalam genggaman, aku kembali menemui Trisha. Aku menyimpan nomor Trisha. Dengan nama yang pernah dulu aku pakai. Si cantik — Itulah nama Trisha di handphoneku. Sesuai kok dengan orangnya. Aku tidak asal menulis nama."Aku masukin kamu di grup angkatan ya?" tutur Trisha sambil fokus pada benda pipih di tangannya."Nggak usah, Tris. Kayaknya tidak penting juga kalau aku bergabung. Aku kan tidak terkenal seperti kamu. Jadi tidak masalah kalau nggak
***[Kalau kerja, jangan pulang larut malam. Bahaya! Hati-hati di jalan]Aku melihat sekeliling. Tidak ada orang. Kenapa orang ini bisa tahu kalau aku pulang malam? Sungguh, akhir-akhir ini aku diliputi rasa takut. Bagaimana tidak, orang yang sering mengirimkan aku pesan, bisa mengetahui gerak gerikku. Berarti dia sebenarnya ada di dekatku.Sudah dua Minggu aku mendapatkan pesan seperti ini. Sebenarnya siapa orang kurang kerjaan yang sengaja mengerjaiku. Apa orang terdekatku? Tetapi siapa? Handphone di tanganku kembali bergetar. Pertanda ada pesan masuk. Aku langsung membukanya.[Besok jangan pulang larut lagi ya. Aku khawatir]"Ya Allah, sebenarnya siapa orang ini?" lirihku sambil balik ke belakang. "Tidak ada orang. Lalu orang ini siapa? Kenapa dia bisa tahu kalau aku pulang larut malam." Aku berkata sambil berjalan cepat. Malam ini memang aku sengaja pulang telat dari biasanya. Ada menu tambahan yang akan aku hidangkan besok di warung. Tadi aku terus berusaha membuat resep makan
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t