Pov Amar *** "Belum pulang, Pak?" tanya sekuriti kantor dengan ramah. Mungkin dia ingin mengunci semua ruangan. "Iya, Pak. Ini sudah mau pulang," jawabku lalu bergegas untuk pulang. Aku sebenarnya belum ingin meninggalkan kantor. Sekarang lebih betah berada di tempat kerja. Jam kerja telah berakhir. Namun aku merasa enggan untuk pulang. Bagaimana tidak, aku sekarang merasa jika rumah bukan lagi menjadi tempat untuk beristirahat. Ada saja masalah yang membuat penat. Aku pun melajukan motor menuju kafe yang tidak terlalu jauh dari kantor. Nanti saja aku pulang. Aku pikir selesai sholat isya waktu lebih baik. Agar setelah tiba bisa langsung istirahat. "Aku sangat rindu kamu, Arumi. Lilis memang cantik. Tetapi dia tidak sebaik kamu. Dia bukan istri penurut seperti kamu," lirihku sambil minum kopi dan memandangi sawah yang ada di depan mata. Pemandangan di luar kafe ini memang sangat indah. Sebenarnya dulu dalam hati kecil, aku ragu menceraikan Arumi. Namun ibu terus saja men
Pov Amar "Dasar istri yang tidak tahu diuntung! Sudah di beri uang bulanan tetapi masih perhitungan dan tidak bersyukur. Harusnya sebagai rasa terimakasih, kamu bisa membantu pekerjaan rumah. Ibuku masih tanggung jawabku. Sebelum aku menikah dengan kamu, aku telah sukses, semua karena doa ibuku. Jadi ibu yang berhak mendapatkan gajiku lebih banyak. Selama menikah dengan Arumi, dia tidak pernah protes dengan besaran gaji yang aku berikan. Dia selalu bersyukur karena aku memberikannya nafkah. Dia juga selalu memasak dan membersihkan rumah. Kenapa karaktermu sangat berbeda jauh dengan Arumi?" Aku membentak perempuan yang saat ini terlihat berbaring dengan santai. Tak mengapa aku mengeraskan suara. Ibu juga sedang tidak berada di rumah. Jadi tak akan ada yang mendengar suaraku. "Aku bukan Mbak Arumi! Aku bukan perempuan bodoh seperti Mbak Arumi! Mau saja di peralat oleh suaminya, tetapi ujung-ujungnya dihinakan. Aku tidak akan pernah mau menjadi Mbak Arumi! Di paksa cukup dengan uang s
Pov Amar "Jaga bicaramu, Lilis. Jangan pernah sekalipun kamu menjelekan ibu. Kamu pikir aku juga mau menikah dengan kamu? Dulu aku menikah karena menuruti keinginan ibuku. Kalau bukan karena keinginan ibu, aku tak akan pernah mau menikah dengan kamu!" Aku menampakan wajah yang sangat emosi. Lilis pikir hanya dia saja yang bisa berkata kasar, aku pun bisa. Aku juga manusia biasa yang pasti bisa marah jika terus dipancing. "Jaga omongan kamu! Hati-hati. Jangan salah berucap. Kita hanya menikah siri. Sangat gampang untuk jatuh talak. Bisa bahaya, takut ibumu kehilangan menantu secantik aku." Lilis berkata pelan dengan gaya mengejek. Aku langsung keluar dan membanting pintu kamar. Aku memilih untuk tidur di kamar tamu. Tak Sudi tidur seranjang dengan perempuan munafik. Mata melihat sekeliling kamar. Pikiran pun tertuju pada Arumi. Dulu saat akan menikah dengan Lilis, Arumi aku suruh untuk tidur di sini. Aku tidak tahu lagi, cara untuk mendidik istri seperti Lilis. Semakin hari ucapa
Pov Amar "Ibu panggil tukang pijit ya untuk mengurut kamu. Dulu juga tetangga sebelah hampir setahun belum hamil. Dia bisa hamil setelah di urut," ujar ibu sambil mendekati aku dan Lilis. Kini ibu sudah duduk di kursi yang ada di samping Lilis. Aku sungguh heran setiap kali melihat sikap Lilis saat berhadapan dengan ibu. Dia nampak seperti perempuan baik-baik. "Kenapa aku dan Mas Amar tidak periksa di dokter saja, Bu? Lebih baik aku dan Mas Amar ke dokter kandungan untuk periksa. Nanti di lihat, siapa yang bermasalah. Kalau aku yang bermasalah, silahkan saja untuk di urut. Tetapi jangan sampai yang bermasalah Mas Amar. Mendingan sebelum bertindak, kita periksa dulu ke orang yang ahli. Bagaimana menurut Mas Amar?" Lilis kini menatapku. Dari wajahnya terlihat jika dia sedang baik-baik saja. Seolah tidak pernah ada pertikaian diantara kami. "Boleh boleh saja. Kapan kita ke dokter?" ucapku sambil membalas tatapan Lilis. "Keluarga kami tidak ada yang mandul, semuanya subur. Amar t
Pov Amar "Mungkin kenapa Lilis belum juga hamil, karena dia tidak mau dipijat. Padahal pijat itu bagus," ujar ibu nampak sendu. Mungkin ibu merasa sedih karena menantu kesayangannya tidak mengindahkan keinginan ibu. "Nanti aku bicarakan dengan Lilis. Dia pasti akan mengikuti keinginan ibu untuk pergi ke tukang pijat dan dukun … Aku ke kamar dulu, Bu. Mau bicara pada Lilis." Aku pun berdiri dari tempat kursi. Aku melihat tumpukan piring yang ada di wastafel. "Bu, piringnya jangan ibu yang cuci. Aku akan cuci kalau sudah selesai bicara dengan Lilis." Aku pun melangkah menuju kamar utama. Saat membuka kamar, ternyata Lilis sedang berbaring di atas kasur. Kenapa dia terlalu betah berada di kamar? Entahlah, aku tidak mengerti dengan semua tindakan perempuan ini. "Aku mau ngomong sama kamu!" ujarku sambil bertolak pinggang di samping ranjang tidur. "Bicara saja, tidak ada yang larang." Lilis berkata sambil memainkan handphone. Sungguh sangat tidak sopan. "Simpan handphone kamu! Ha
Pov Amar "Biaya ke dokter mahal. Kita tidak punya tabungan," ujarku mengelak. Pasti Lilis akan mengurungkan niatnya jika sudah membahas tentang uang. "Minta ke ibumu. Dia kan punya banyak uang. Masa semua uang yang kamu kasih setiap bulan, sudah habis. Dia kan tidak pernah belanja." Apa-apaan ini! Kenapa meminta uang ke ibu. Semakin tidak beres saja otak Lilis. Permintaannya semakin aneh. "Dulu aku dan Arumi ke dokter dari hasil tabungan Arumi. Bukan pakai uang dari ibu. Masa dari uang yang aku berikan setiap bulan, kamu tidak bisa menabung," ujarku sambil sedikit menjauhkan wajah. Rasanya tak Sudi terlalu lama berdekatan dengan perempuan ini. Jujur hingga kini, setiap melakukan hubungan suami istri dengan Lilis, aku selalu membayangkan wajah Arumi. Ya, aku hanya bisa menikmati jika dalam pikiranku terbayang wajah Arumi. Bagaimana tidak, Lilis selalu saja membuatku muak. Bagaimana bisa aku bernafsu dengannya? Aku dan Lilis tidak berhubungan suami istri setiap saat. Hanya pada m
Pov Amar Aku lalu ikut berdiri, ingin menyusul ibu ke kamarnya. Jika aku tak bisa merayu Lilis karena terlalu keras kepala, berarti aku harus bisa merayu ibu. "Ya Allah, Bu. Lilis itu bukan Arumi. Aku tidak bisa merayunya. Coba ibu yang bicara ke Lilis. Dia kan menantu pilihan ibu." Aku berkata setelah duduk di ranjang tidur. Ibu sudah berbaring. Aku merasa jenuh dengan keinginan ibu. Jika Lilis memiliki sifat seperti Arumi, sangat mudah untuk aku merayunya. Tetapi dia perempuan yang sangat keras kepala. Sekali katakan tidak, akan tetap tidak. "Kamu kan suaminya, Amar. Masa tidak bisa membujuknya." "Lilis menantu pilihan ibu. Aku tidak tahu cara untuk mengambil hati Lilis. Jika ibu ingin dia ke dukun, ibu saja yang katakan padanya, aku tidak bisa …. Nanti saja kita bicarakan lagi, Bu. Aku mau keluar dulu," ujarku langsung berdiri, sebelum ibu kembali mengeluarkan kalimat yang membuat aku ingin berteriak. Memang sebaiknya aku keluar mencari udara segar. Kalau terus berada di rum
Pov Amar Kok Ibu bisa berubah secepat ini. Padahal tadi aku meninggalkannya di rumah dalam keadaan risau dan kesal. Apa yang sudah Lilis katakan pada Ibu? Sehingga ibu bisa berubah dalam waktu yang sangat cepat seperti ini. Entah mengapa kini aku deg-degan. Aku takut mengetahui hasil laboratorium. Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi. Ah, tidak usah aku berpikir buruk. Bisa jadi firasatku benar, hasil pemeriksaan laboratorium yang dulu itu salah. Ada campur tangan Arumi saat itu. "Mana baiknya saja menurut ibu. Aku mengikut keputusan ibu," ujarku lembut. Lilis tersenyum sinis. Namun saat ibu melihatnya, senyuman itu berubah menjadi anggun. Sebenarnya ada apa dengan perempuan ini? "Tetapi tunggu! Kalian punya uang kan untuk ke dokter? Biaya ke dokter pasti mahal." Ibu berkata sambil melihatku dan Lilis bergantian. Lilis melirikku sejenak, dia lalu berkata, "tidak ada, Bu. Aku harap nya pada ibu yang bisa membantu kami." Lilis berkata dengan pelan. Sangat berbeda ketika b
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t