POV AmarLama merenung di luar penginapan, aku pun kembali masuk. Ternyata ibu, Mbak Mira dan Mbak Maya tidak menyisakan aku sedikitpun makanan. Mereka bahkan tidak mengingat atau menanyakan, aku sudah makan atau belum."Mbak, tanah Mbak yang diberikan oleh ibu kita jual saja. Sekarang kita sedang butuh banyak uang. Apalagi Mbak juga tidak mau membantuku mencari uang," ujarku setelah duduk di dekat ibu, tepat di hadapan Mbak Mira. Penginapan yang kami ambil, ukurannya tidak terlalu besar. Kami semua akan tinggal di satu kamar penginapan ini. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya uang untuk menyewa tempat yang lebih bagus."Enak saja! Aku nggak mau! Itu harta yang diberi oleh ayah dan ibu. Kita semua 'kan dapat bagian. Kenapa kamu menyuruh untuk menjual tanah aku?" "Yang punya tanah kosong sekarang hanya Mbak. Itu satu-satunya harta yang sekarang bisa kita jual untuk mendapatkan uang." Aku berkata dengan suara yang sedikit meninggi. "Benar kata Amar. Mungkin dengan menjual tanah itu,
POV Amar"Waktu itu ibu pinjam untuk beli tas yang di jual oleh Bu Keni. Harga tasnya tiga puluh juta. Teman-teman arisan ibu banyak yang beli karena katanya harga tas itu seratus juta lebih, tetapi di jual murah, menjadi tiga puluh juta. Ibu juga ingin punya tas mahal. Meskipun ibu belum pernah naik haji, tapi ibu juga ingin berpenampilan seperti para ibu ibu haji." Aku langsung mengurut pelipis. Sungguh alasan yang sangat tidak masuk akal. Aku ingin marah pada ibu. Tetapi tidak ingin melukai perasaan ibu."Ya Ampun, Ibu! Maksud ibu, tas yang katanya branded, tetapi ternyata palsu. Tas yang katanya terbuat dari bahan mahal, ternyata teman ibu itu menipu." Suara Mbak Mira terdengar sangat menggelegar. "Iya. Mana ibu tahu kalau ternyata tas itu palsu. Ibu beli karena ada dua orang teman ibu juga beli. Ibu 'kan malu kalau terlihat tidak punya uang. Apalagi teman-teman ibu tahu kalau ibu punya anak yang PNS."Ucapan ibu membuat kepalaku semakin sakit. Sebenarnya apa yang harus dibangga
POV Amar***"Aku ingin menjual rumahku. Apa kamu tidak berniat untuk membeli?" tanyaku pada Zali. Dia teman sekelas ku dulu saat sekolah SMA. Kami tidak terlalu dekat karena dia dulunya orang miskin. Aku malu jika bergaul dengannya. Tetapi sekarang dia sudah menjadi pengusaha yang sukses. Aku pernah dengar jika dia telah memiliki beberapa bengkel dan ada pula beberapa mebel. Semalam aku menghubunginya karena ingin bertemu. Aku ingin menjual rumahku padanya. Rencananya uang dari hasil penjualan rumah akan dipakai untuk membayar semua hutangku dan ibu. Aku tidak memiliki harta lagi selain rumah. Terpaksa aku harus menjualnya karena keadaan. Diantara semua teman-teman sekolah, Zali lah yang aku pilih untuk menawarkan. Karena melihat sekarang dia semakin sukses. Pasti juga memiliki banyak uang."Kenapa mau di jual? Kamu butuh uang?" tanya Zali setelah meminum seteguk kopi. Saat ini kami sedang berada di kafe dekat salah satu bengkel Zali."Hahaha, ternyata kamu bisa juga bercanda. Aku
POV AmarAku berusaha tersenyum. Padahal hati sudah sangat panas. Percuma aku datang menemui Zali. Harapan tidak membuahkan hasil. Zali terlalu sombong. Seharusnya dia tidak perlu menceritakan jika memiliki lima unit rumah. Kalau aku mendoakan yang tidak baik untuknya, pasti akan terjadi. Aku merasa terdzolimi atas ucapannya."Oh tidak masalah. Aku bisa menjualnya ke orang lain. Aku lebih dulu menawarkan ke kamu, karena kita teman kelas. Siapa tahu kamu butuh rumah. Ternyata kamu juga sudah punya rumah." Aku berusaha tenang. Dulu aku bisa menghina Zali sesuka hari. Sekarang sudah tidak mungkin. Dia sudah lebih kaya dariku. "Iya, maaf ya. Satu rumahku yang ada di kota juga kosong. Istriku tidak ingin disewakan ke orang lain. Tetapi aku mengikut keinginan istri. Karena rumah itu aku berikan untuknya saat dia ulang tahun." Sepertinya Zalin sengaja ingin memamerkan hartanya. Dari tadi perkataan yang keluar dari bibirnya hanya kalimat yang membuatku ingin muntah. Hanya menceritakan ten
POV Amar"Kamu masih ingat si Wawan, teman sekelas kita?" Aku mengangguk. Aku pun berucap, "ingat. Si Wawan yang sering duduk di depan 'kan? Aku tidak mungkin lupa, dia sainganku dulu.""Haha, iya. Yang selalu bersaing dengan kamu untuk menjadi juara kelas. Sayangnya kamu tidak pernah mendapat juara satu dan dua. Selalunya peringkat tiga atau empat. Hahaha … Aku selalu bisa mengalahkan kalian. Meskipun dulu aku cupu dan kalian selalu membullyku. setidaknya peringkatku di kelas selalu menjadi yang terbaik." "Sombong sekali anda. Memangnya ada apa dengan si Wawan. Bagaimana kabarnya?" ujarku disertai tawa kecil. Ucapan Zali seakan menyinggungku. Mungkin dia sengaja. Atau ingin melampiaskan dendam.Sebenarnya aku masih ingin merayu Zali agar membeli rumahku. Tetapi aku tidak tahu harus berkata apa. Sekarang aku pun tidak tahu cara untuk mencairkan suasana selain mengikuti topik pembicaraan yang dibahas oleh Zali. Selain Zali, aku tidak tahu akan menjual rumah pada siapa. Tidak mungkin
***Aku tak mampu berkata. Tangan kanan menutup mulut dan di tangan kiri ada benda kecil. Ya, benda kecil yang terdapat garis dua. Aku masih menatap sambil terduduk di lantai toilet. Air bening dari mata telah terjatuh. Hening, tak bersuara."Ya Allah, benarkah ini? Aku tidak sedang bermimpi 'kan?" lirihku. Deras Air mata telah membasahi pipi.Aku lupa kapan terakhir haid. Tetapi aku pastikan jika sudah telat. Setelah bercerai dengan Mas Amar, aku tidak pernah lagi menulis tanggal haid dan berapa lama hari haid. Bagiku, untuk apa menulis tanggal haid. Lagi pula selama ini aku selalu kedatangan tamu di setiap bulannya. Namun dibulan ini aku belum juga haid. Padahal sekarang sudah mau memasuki bulan yang baru. Aku juga merasakan keanehan di badan. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Badan yang terasa hangat, tetapi bukan demam. Aku juga merasa tidak enak makan. Sudah beberapa hari ini aku berpikir jika terkena penyakit lambung. Hanya saja tidak mungkin. Setelah kondisi
"Jelaskan ke aku, ada apa sebenarnya. Apa maksud testpack garis dua itu? Sayang pernah katakan jika tidak mungkin bisa hamil. Apa yang sudah sayang sembunyikan dariku?" Yuda bertanya setelah menaruh diriku di atas sofa. Jarak wajah kami sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafas Yuda. "Maafkan aku!" Kini dada terasa sesak. Aku tak mampu menahan bulir air mata. Semua tumpah. Aku menutup wajah. Ya Allah, aku takut jika Yuda marah padaku. Takut jika dia akan menceraikan aku. "Kenapa minta maaf, sayang? Ceritakan baik-baik ke aku. Percayalah, aku tidak akan marah tentang apapun yang sayang jelaskan." Yuda berkata setelah mengangkat kembali wajahku yang telah menunduk. Kedua tangannya kini menghapus air mataku. Tatapannya yang sendu, seakan memaksa untuk membalas tatapan. "Maafkan aku karena telah berbohong. Aku tidak mandul. Dulu, aku sengaja mengatakan itu agar kamu berhenti mengejarku. Dulu, aku berkata begitu agar kamu tidak lagi memiliki niat untuk menikah denganku. A
"Kalau besok saja, gimana?" Aku mengusap lembut pipi Yuda. Wajahnya sangat mulus. Bahkan lebih mulus dari wajahku. Mungkin bakteri tidak rela untuk mengotori kulitnya yang putih bersih."Kenapa besok, bukan hari ini saja?" Yuda berkata sambil menurunkan tanganku dari pipinya. Dia membawa ke bibirnya untuk di cium. Sungguh indah kasih sayang dari Yuda. Tingkahnya selalu membuatku tersipu. Merasa menjadi perempuan spesial."Kalau hari ini, sepertinya sangat mendadak." "Tidak ada yang mendadak, sayang. Aku tidak bisa menunggu besok. Hari ini aku tidak ada sidang di kantor. Aku akan minta izin untuk tidak masuk kantor karena menemani istriku ke rumah sakit." Yuda mengakhiri ucapannya dengan kembali mencium punggung tanganku."Kamu jangan kebiasaan izin tidak masuk kerja. Dulunya kamu rajin, jangan sampai semua orang mengenalmu sebagai pemalas setelah menikah denganku. Aku tidak mau diberi label sebagai istri yang tidak bisa mengurus suami. Apalagi kamu seorang hakim. Pokoknya kamu haru
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t