"Kamu lihat apa, Sayang? Mari kita masuk." Suara Yuda menghentikan lamunanku."Nggak lihat apa-apa kok. Aku hanya memikirkan kalau lokasi ruko ternyata sangat strategis. Tepat di depan rumah sakit. Aku optimis. Kalau kita buka warung di sini, InsyaAllah akan laris. InsyaAllah banyak orang yang akan berkunjung," ujarku sambil melihat-lihat halaman ruko. Aku tidak boleh ketahuan jika baru saja berbohong. Hampir saja ketahuan. Bisa bahaya jika orang itu benar Mas Amar. Yuda sudah pernah bertemu Mas Amar. Jangan sampai dia masih mengingat wajah mantan suamiku. Walau bagaimana pun, aku tidak menginginkan terjadi masalah dalam rumah tanggaku karena masa lalu."Aku pikir kamu kenapa-napa. Yuk kita masuk." Yuda lalu menarik lembut tanganku untuk melangkah ke dalam ruko."Dulu ibu mau buka usaha di sini. Tetapi aku melarang dan meminta agar ruko ini untuk aku saja. Aku sudah memikirkan jika nanti kita menikah, kamu bisa membuka cabang di sini. Pemikiran kita sama, Sayang. Aku juga optimis jik
"Terimakasih juga, telah mau menerimaku menjadi suami." Ternyata akan semanis ini buah dari kesabaran. Aku pernah berpikir jika Allah sangat membenciku, sehingga memberikan cobaan yang sangat berat. Saat memutuskan untuk menikah, tak satupun orang ingin pernikahannya berakhir.Aku juga pernah berpikir jika tak mungkin ada lelaki yang mau menerima kekuranganku. Status janda di lingkungan sosial sangat buruk. Apa lagi aku bercerai hidup. Orang-orang pasti mengira jika aku bercerai karena memiliki karakter yang buruk. Namun semua pikiran buruk itu terbantahkan. Di dunia ini ternyata masih ada lelaki baik yang mau menerimaku. Ternyata Allah bukan membenciku. Justru karena kasih sayangNya, sehingga aku dipisahkan dari lelaki seperti Mas Amar. "Maafkan aku yang dulu, ya. Selalu berpikir buruk tentang kamu. Soalnya aku merasa sangat tidak mungkin jika kamu menyukaiku. Kamu itu lelaki yang memiliki banyak idola di sekolah. Sedangkan aku? Hanya si buruk yang kurang bergaul. Kamu juga siswa
Apa itu benar Mas Amar? Atau mungkin orang yang hanya mirip dengan Mas Amar. Orang itu langsung melihat dan juga menatapku. Mungkin dia menyadari jika aku melihatnya. Kami saling bertatapan beberapa detik. Ya, dia adalah Mas Amar. Aku tidak mungkin salah orang. Aku masih mengingat jelas tatapan matanya. Aku langsung berbalik dan mendekati Yuda. Tak ingin bertatapan terlalu lama dengan Mas Amar. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Dan aku sungguh tidak ingin lagi melihatnya. Kami sudah tidak punya urusan. Aku dan dia telah lama selesai."Sayang, kita pergi saja dari sini. Sepertinya peralatan dapur yang ada di sini kurang bagus," ujarku dengan lembut. Menutupi raut ketakutan. Yuda tidak boleh tahu jika di sini ada Mas Amar. Aku melirik lelaki yang telah sah menjadi mantan suamiku. Dia masih saja menatapku. "Kok bisa? Padahal di sini tempat yang sering dikunjungi oleh ibu kalau mencari peralatan dapur. Kok bisa tidak lengkap, sayang." Yuda berkata masih sambil melihat-lihat barang
Yuda langsung memasukan aku ke dalam mobil. Dari dalam mobil, aku bisa melihat Mas Amar yang masih saja berdiri di tempat tadi. Dia menatap tajam, namun tatapan itu nampak sendu. Aku tak mengerti maksud tatapan Mas Amar. Lelaki yang sudah menjadi mantan suamiku itu tampak berbeda. Rambut yang dulu selalu rapi, kini berantakan, panjang dan tak terurus. Kumis yang dulu selalu dicukur, kini telah lebat. Kulitnya juga nampak kusam. Tidak seperti Mas Amar yang pernah aku kenal dulu.Baju yang dipakai oleh Mas Amar juga sepertinya tidak disetrika, terlihat sangat kusut. Padahal dulu, Mas Amar selalu keluar dari rumah menggunakan baju yang telah disetrika. Aku selalu memastikan jika pakaian yang digunakan haru rapi. Apa yang sedang terjadi dengan Mas Amar? Di mana Lilis? Seingat aku, Lilis perempuan baik. Tidak mungkin jika dia tak mengurus Mas Amar. "Apakah sayang ini bicara terlebih dahulu dengan dia?" tanya Yuda yang kini telah duduk di kursi pengemudi. Dia berkata sambil menatap tajam
"Sayang, kenapa menangis?" tanya Yuda. Dia langsung memelankan laju mobil. Perlahan, mobil pun berhenti. Aku tak mampu menahan. Air mata terus saja berjatuhan. Bagaimana cara menghentikan pikiran ini? Aku sungguh tidak bisa. Tangan lalu memukul-mukul kepala. Membiarkan diri agar terfokus pada rasa sakit. Aku sangat ketakutan. Tadi aku masih bisa tenang. Namun kini, tidak! Aku tidak bisa berpikir tenang setelah pikiran buruk ini menggelimuni."Hei, ada apa, sayang? Kenapa jadi nangis seperti ini?" Yuda mengguncang pelan tubuhku. Dia berusaha melepas tanganku yang masih menutup kedua wajah. Suara tangis kini memenuhi ruang mobil. Yuda langsung memelukku. Aku kini menangis dalam pelukan. Yuda pun mengusap punggung. Seakan memberikan ketenangan."Menangis lah! Jangan di pendam. Maaf jika aku mengucap kalimat yang sayang tidak suka. Maafkan aku," ujar Yuda sambil mengusap punggung belakangku."Maafkan aku! Maafkan aku!" tuturku lirih sambil sesegukan."Sayang tidak salah. Aku yang salah
POV Amar ***Aku saat ini sedang berada di toko yang menjual perlengkapan rumah tangga. Tepatnya, sedang duduk di kursi tunggu yang ada di depan toko. Ibu menyuruh untuk membeli peralatan dapur. Tetapi aku sudah lupa dengan semua peralatan yang di pesan oleh ibu. Pikiranku buyar ketika melihat Arumi. Istri yang satu tahun lalu aku ceraikan, kini sudah sangat berubah. Badan Arumi sedikit berisi, tidak sekurus saat menjadi istriku. Baju yang digunakan pun terlihat mahal. Arumi terlihat sangat cantik. Kulitnya sudah putih, jauh berbeda saat masih menjadi istriku. Dulu wajah Arumi sangat kusam, berjerawat dan dipenuhi noda hitam. Sekarang, wajah kusam itu terlihat sangat mulus. Tampak lebih muda dari usianya. Tadi sepertinya Arumi kaget saat melihatku. Aku bisa menebak dari raut wajahnya.Kenapa dia tak menyapa? Bahkan saat aku mengejar untuk mengatakan maaf, dia juga seolah tak ingin melihatku? Ya, aku mengatakan maaf. Entah kenapa, ucapan itu keluar saja dari bibirku. Padahal bukan i
POV AmarUang yang ada di dompet bisa habis kalau aku belanja di sini. Dari tadi bolak balik mencari barang yang harganya murah, tetapi tidak di dapat. Harga wajan paling murah tiga ratus ribu. Tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku akhirnya memilih pulang. Singgah lebih dulu di warung depan jalan yang ada di dekat rumah sakit. Ingin membeli makanan untuk ibu, Mbak Mira dan Mbak Maya. Nanti saja kalau membeli panci dan wajan. Mungkin lebih murah jika membeli di pasar. "Kenapa kamu lama sekali, Amar? Ibu sudah lapar. Apa kamu pergi beli panci di luar negeri, makanya bisa sangat lama?" Baru saja aku membuka pintu penginapan, amarah ibu telah menyambut. Aku langsung masuk dan menaruh makanan yang baru saja di beli di lantai."Mana panci dan wajan yang ibu perintahkan untuk dibeli? Jangan katakan, kamu lupa beli?"Ibu kembali berujar ketika aku baru saja duduk. "Harganya mahal, Bu. Aku tidak jadi beli. Nanti saja aku cari di pasar." Aku kini memilih berbaring. Sebenarnya aku juga
POV Amar "Seharusnya Mbak Mira tidak perlu ikut. Hanya menghabiskan uang saja. Kalau Mbak tidak mau makan seadanya, ya kerja. Mbak masih punya tangan untuk bekerja. Jangan hanya mengharapkan uang dari aku." Terserah jika ibu marah mendengar perkataanku. Jujur, aku juga butuh istirahat. Capek memikirkan keluarga yang rasanya tidak pernah memikirkan keadaanku. Aku sudah bekerja banting tulang. Tetapi tidak dihargai.Tak perlu melihat wajah Mbak Mira, aku yakin dia pasti kecewa mendengar ucapanku. Aku tidak merasa bersalah atas kalimat yang baru saja terucap. Perkataan Lilis dulu benar, Mbak Mira masih kuat. Dia mampu untuk bekerja. Ada banyak pekerjaan yang tidak akan mendapat hinaan jika dia melakukannya. Aku sudah pernah membahas ini pada ibu, menyuruh Mbak Mira untuk bekerja. Hanya saja, ibu justru marah padaku. Mengatakan jika aku tidak punya perasaan, telah menyuruh Mbak Mira bekerja. Aku sekarang sadar. Jika didikan orang tua pada kedua Mbakku, salah. Mereka terlalu di manja.
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t