Yu Santi menangis maratapi kematian adiknya. Mas Hadi, Nilam dan Dion, mendekap Yu Santi yang terduduk ditepi jalan meratapi kepergian mobil bak polisi yang membawa jasad Johan. "Pakde dan semuanya, mari kita bereskan semua sisa makanan yang ada, kita bawa pulang saja, rumah ini biar kosong dulu sampai penyidikan selesai." Mas Bayu memberi instruksi kepada kami semua. Aku masih duduk lemas di kursi yang ada diteras ini. Tak kusangka malam ini adalah akhir kisah hidup Johan kakak tiriku yang jahat itu. Mas Bayu masih ngobrol dengan polisi. Beberapa motor masuk halaman rumah ini, ternyata Bejo dan kawan-kawannya yang datang. "Bejo, bantuin berbenah didalam, bawa semua makanan didalam kerumah Bude Siti," ucap Mas Bayu. "Sudah selesai kok, Pak. Didalam tak ada makanan lagi," ucap Dimas. "Baguslah, bawa Ibu dan keluarga Pakde Umar pulang. Bejo bawa motor Pakde dan motor Eis kerumah. Mas Hadi pamit membawa pulang Yu Santi dan keluarga. Mas Bayu menghampiriku yang mematung melihat ke
Raungan sirine ambulan memecah suasana sepertiga malam yang dingin. Aku terbangun, loncat dari tempat tidur langsung melesat keluar. Diluar masih ramai. "Lho, ada apa Bu Rini?" tanya salah seorang anak buah Bejo saat melihatku di ruang tamu. "Itu, ambulan bunyi!" jawabku singkat. "Tadi Pak Bayu telpon, memang jenazah Johan di bawa pulang sekarang, Bu," terang anak buah Bejo lagi. Raungan ambulan terhenti, taklama kemudian mobil Mas Bayu memasuki halaman rumah. Kutunggu didalam sampai suamiku masuk. "Tutup pintu dan tidur dulu disini," ucap Mas Bayu pada anak buah Bejo. Mas Bayu, Dimas, masuk. "Mas!" Aku yang menunggu diruang tengah bangkit segera saat melihat suamiku. Dimas rebahan di hamparan karpet permadani. "Pak saya istirahat dulu, deh," ucapnya. "Sayang, kok belum tidur?" Mas Bayu memelukku. "Suara sirine tadi membuatku bangun. Mas, jasad Johan dimana?" Ku tatap lekat wajah lelah suamiku. "Disemayamkan di rumah Yu Santi. Mas mau ke kamar mandi sebentar, tunggulah dikam
"Mbak Rini, jangan dengarkan ocehan Yati. Tenang, ya, jangan dimasukan hati omongan yang tadi. Kita percaya Mbak Rini nggak melakukan apa yang diucapkan Yati." Seorang Ibu paruh baya menasihati ku. Kuurai pelukan Mas Bayu. "Mbak Rini, yang sabar, ya! Yati memang begitu orangnya. Mulutnya suka ngawur kalo ngomong," sahut ibu-ibu yang lain. "Biarin Johan kena azab, mati ditembak polisi. Kelakuannya itu meresahkan sekali," imbuh ibu-ibu lainnya. Ternyata kejahatan Johan melegenda di kampung ini, sampai ibu-ibu ini berceloteh begitu. Aku tersenyum menanggapi para ibu-ibu yang turut takziah kemari. Selesai dimandikan, jenazah Johan dibawa masuk hendak dikafani. Suara jerit tangis Yati terdengar menyayat kalbu. "Mas Johan, jangan pergi, Mas. Jangan tinggalin aku, Mas. Lihatlah anak pembawa sial itu kesini, Mas. Dia mau merebut apa yang kita punya, Mas. Bangun Mas, beri pelajaran anak pembawa sial itu!" Jantungku hampir berhenti mendengar tangis ratapan Yu Yati yang menyebutku anak pemb
3 HARI KEMUDIAN "Mas, besok kita pulang aja kekota, sudah lama kita disini." Ku lipat mukena usai sholat Isya'. Mas Bayu masih duduk bersila di atas sajadahnya. "Kenapa pulang? Kangennya udah sembuh?" "Kerjaan numpuk, Mas. Banyak kostumer di cake shop yang nanyain aku, Mas." Kuletakkan mukenaku diatas meja rias. Aku duduk merenung di ranjang. Mas Bayu bangkit lalu mendekatiku. "Kenapa, kok mendadak pengen pulang, bukanya cake shop udah ada yang handle?" Ku tarik nafas berat, hati ini masih ingin disini. Apalagi setelah Mas Bayu memberiku kejutan rumah untukku. Tapi, apakah aku mampu jika hidup disini? "Yang, sebenarnya Mas udah putuskan untuk tinggal disini selama beberapa bulan kedepan. Mas ingin menikmati waktu bersamamu," ungkap Mas Bayu. Aku spontan menoleh suamiku, kutatap lekat mata teduhnya. Ku cari kebohongan di mata itu. Sia-sia tak ada. "Maksudnya, Mas?" lirihku. "Yang, Bang Riza cerai. Istrinya selingkuh." Mas Bayu tertunduk lesu. Aku kaget bukan main. Bang Riza d
Eis meletakkan plastik di atas meja makan. "Nih, martabak telor spesial. Aku gajian Bu, biasa makan-makan dulu lah sama Dimas," terang Eis. Ku lihat Dimas senyum-senyum berdiri di dekat pintu. "Dim, sini! Jangan mau kalo diajak makan sama Eis, gendut nanti kamu," godaku pada Dimas. Mata Dimas aneh, kaya ada sesuatu saat menatap Eis sekilas. Aduh, Dimas, naksir kah sama Eis? Dimas duduk dekat Mas Bayu. "Ah, Eis cuma ngajak makan bakso aja, Bu. Nggak mungkin gemuk. Bakso nggak bikin kenyang," ucap Dimas mengundang gelak tawa. "Iyalah, orang aku doang yang makan bakso, dia nggak mau. Dah sekarang makan tuh, sekarang ada nasi di rumah," ucap Eis pada Dimas. Eis berlalu kekamar kami lanjutkan makan malam ini. "Kalau kalian mau pindahan, sebaiknya besok siang masak, Bu. Malamnya biar Bayu dan Rini pindahan, nanti biar bapak suruh orang untuk mengundang warga datang ke acara selamatan di rumah Bayu dan Rini," ungkap Pakde Umar. "Wah kalau gitu, besok Ibu belanja, terus masak-masak di
"Ih, mau apa lagi sih? Ganti rugi, apa yang harus diganti rugi?" Ku kibaskan tangan Yu Yati yang memegang tanganku. Mata Yu Yati mendelik hampir keluar dari tempatnya. "Kamu b*go, atau b*doh, hah?! Jelas-jelas Yanti kamu tampar, masih ngelak. Cepat ganti rugi sekarang juga!" bentak Yu Yati kepadaku tangannya menengadah. Ku benahi tasku di pundak, lantas ku tatap tajam Yu Yati sambil bersedekap dada. "Itu pantas untuk anak tak tau adab. Masih mending di tampar. Dan ingat, nggak ada se sen uang untuk membayar ganti rugi seperti yang kamu mau itu. Kenapa sih kalian itu ngusik hidupku terus?" Mataku menyipit mengejek ke arah ibu anak dengan dandanan super menor ini. "Ha ha ha. Sebelum kamu mati menyusul ayahmu yang bodoh itu keneraka, aku tak 'kan berhenti mengusikmu!" hardik Yu Yati. Darahku mendidih seketika saat Yu Yati menghina almarhum ayah. Plak Tanganku spontan melayang dan mendarat dipipi Yu Yati. Nafasku memburu, ingin rasanya ku hancurkan mulut busuk itu. "Kamu! Beraninya
"Oh, iya. Sudah siap kok, sebentar saya selsaikan ini dulu, ya." Ku lanjutkan menyemprot air ke bunga anggrek ini. "Kamu kenapa? Kok kusut begitu, bajunya rapi, lho, cuma mukanya kok ditekuk," ucapku pada Bejo. Bejo duduk di kursi teras. "Biasalah Bu, habis perang dunia ke sepuluh," seloroh Bejo wajahnya nampak kesal. Aku terkekeh geli, "Walah, pagi-pagi kok wes perang, enak ngopi, Jo. Sudah ngopi belum? Tak buatin mau?" Ku letakkan alat semprot ini. "Nggak usah Bu, saya mau buru-buru ke kolam. Nanti bapak nungguin." Bejo menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangannya. "Kalo semua wanita didunia bisa kaya Bu Rini, nggak akan ada laki-laki ambyar, Bu," celoteh Bejo. Aku tertawa mendengar ocehan lucu Bejo pagi ini. "Kok gitu, Jo. Emang kenapa dengan saya?" Aku berdiri di ambang pintu menanggapi Bejo. "Ya, habis Bu Rini itu baik, perhatian, nggak ngamukan kaya yang dirumah." Bejo pagi-pagi curhat membuatku semakin geli. Prok prok prok "Hebat! Hebat! Istri ngomel dirumah ditingga
Hari berganti Minggu, lalu Minggu berganti bulan. Tak terasa, 3 bulan lebih aku tinggal di rumah baru. Beberapa bulan belakangan ini, jarang sekali main kerumah Bude Siti beliau selalu datang kesini, hampir setiap hari. Kabar Yu Santi juga entah. Kompleks rumah kami yang berjauhan membuat kami jarang bertemu. Hanya saat Nilam mulai membangun rumah Minggu lalu aku bertemu mereka. Keadaan mereka baik. Cuma aku tak melihat sosok Yu Yati kemarin. Kemana dia? "Bu Rini, kok ngelamun? Itu iwel-iwelnya ketawa lho," goda Mbak Yuni padaku. Dia tetangga baru di kompleks ini. Aku tersadar saat Mbak Yuni mengajakku bicara. Aku hampir lupa kalau sekarang lagi bantu-bantu acara syukuran bayi baru lahir, anak Mbak Nia. "Ah, enggak papa, Mbak Yuni. Saya lagi agak lelah aja." Kuulas senyuman khas Rini Wibawa. "Bu Rini, kok keliatan agak pucet, sih," Minah teryata dari tadi memperhatikan ku. "Iya, pucet loh, Bu. Sampean sakit?" tanya Bu Henny juga. Aku meneruskan membungkus kue iwel-iwel ini. "K
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"