Share

Hadiah Talak B

Penulis: humaidah4455
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Oh, iya. Sudah siap kok, sebentar saya selsaikan ini dulu, ya." Ku lanjutkan menyemprot air ke bunga anggrek ini. "Kamu kenapa? Kok kusut begitu, bajunya rapi, lho, cuma mukanya kok ditekuk," ucapku pada Bejo.

Bejo duduk di kursi teras. "Biasalah Bu, habis perang dunia ke sepuluh," seloroh Bejo wajahnya nampak kesal.

Aku terkekeh geli, "Walah, pagi-pagi kok wes perang, enak ngopi, Jo. Sudah ngopi belum? Tak buatin mau?" Ku letakkan alat semprot ini.

"Nggak usah Bu, saya mau buru-buru ke kolam. Nanti bapak nungguin." Bejo menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangannya. "Kalo semua wanita didunia bisa kaya Bu Rini, nggak akan ada laki-laki ambyar, Bu," celoteh Bejo.

Aku tertawa mendengar ocehan lucu Bejo pagi ini. "Kok gitu, Jo. Emang kenapa dengan saya?" Aku berdiri di ambang pintu menanggapi Bejo.

"Ya, habis Bu Rini itu baik, perhatian, nggak ngamukan kaya yang dirumah." Bejo pagi-pagi curhat membuatku semakin geli.

Prok prok prok

"Hebat! Hebat! Istri ngomel dirumah ditingga
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Yang Kau Bilang Miskin    Dua Kabar Beda Rasa A

    Hari berganti Minggu, lalu Minggu berganti bulan. Tak terasa, 3 bulan lebih aku tinggal di rumah baru. Beberapa bulan belakangan ini, jarang sekali main kerumah Bude Siti beliau selalu datang kesini, hampir setiap hari. Kabar Yu Santi juga entah. Kompleks rumah kami yang berjauhan membuat kami jarang bertemu. Hanya saat Nilam mulai membangun rumah Minggu lalu aku bertemu mereka. Keadaan mereka baik. Cuma aku tak melihat sosok Yu Yati kemarin. Kemana dia? "Bu Rini, kok ngelamun? Itu iwel-iwelnya ketawa lho," goda Mbak Yuni padaku. Dia tetangga baru di kompleks ini. Aku tersadar saat Mbak Yuni mengajakku bicara. Aku hampir lupa kalau sekarang lagi bantu-bantu acara syukuran bayi baru lahir, anak Mbak Nia. "Ah, enggak papa, Mbak Yuni. Saya lagi agak lelah aja." Kuulas senyuman khas Rini Wibawa. "Bu Rini, kok keliatan agak pucet, sih," Minah teryata dari tadi memperhatikan ku. "Iya, pucet loh, Bu. Sampean sakit?" tanya Bu Henny juga. Aku meneruskan membungkus kue iwel-iwel ini. "K

  • Yang Kau Bilang Miskin    Dia Kabar Beda Rasa B

    "Wah, maagnya kambuh itu 'kan nggak boleh makan kol, Yang. Yuk kerumah Ayu aja, minta obat maag," ajak Mas Bayu. Aku nurut perkataan suamiku kami berangkat ke rumah Ayu naik sepeda motor. "Eh, Rini, Bayu. Tumben sore-sore main. Lho pucet amat Rin, sakit? Ayo masuk," ucap Ayu ramah saat tau kami datang, dia sedang menyirami bunga koleksinya di depan bangunan praktek bidan miliknya.Aku dibimbing Mas Bayu berjalan masuk ke tempat praktek Ayu. "Rini ngeluh mual, tadi siang abis makan kol katanya," terang Mas Bayu. "Punya maag, ya? Coba tiduran disana, ku periksa," titah Ayu. Aku beranjak masuk ke sebuah kamar yang ada brankar pasien, berbaring menunggu di periksa, Mas Bayu menemaniku"Tensi dulu, ya. Pucet amat. Nanti hamil," goda Ayu tersenyum. "Amin, kalo hamil. Itu yang ditunggu-tunggu," Mas Bayu semangat. Ayu melakukan tugasnya, memasang alat tensi sambil ngobrol ramah. "Ah, mana ada hamil, aku lagi haid, ko," Kupupus harapan dari Ayu. "Delapan puluh, rendah ya, tensinya. Ng

  • Yang Kau Bilang Miskin    Haruskah Aku menolongmu A

    "Kenapa Bude nggak cerita sama Rini? Selama ini Bude setiap kerumah, nggak pernah ngomongin kondisi Yu Yati. Tadi Rini sempat liat video Yu Yati kaya orang stres," lirihku pada Bude. "Pakde yang melarang semua itu. Pakde nggak mau kamu kepikiran sama mereka. Pakde tau hatimu itu welas asih." Pakde Umar menjelaskan semuanya. Aku jadi menyesal sudah berucap demikian pada Bude. "Bude, maafkan Rini, sudah salah sangka sama Bude." Ku peluk erat wanita tambun di dekatku ini. Dibalasnya dengan hangat nan mesra. "Kalian mau nginep disini, atau pulang?" tanya Bude mengurai pelukan. "Kami pulang aja, Bude. Lain kali nginapnya. Nggak papa 'kan?" Mas Bayu menatap Bude sambil tersenyum. Bude menarik nafas pelan. "Ya nggak papa." Sebuah senyuman muncul bak mentari diwajah itu. Mas Bayu menghabiskan minumannya, aku juga, lalu kami pamit pulang. _________ Hari-hari berlalu terasa semakin indah, meskipun mual muntah, aku bahagia. "Mas, kok aku pingin makan bubur Isma, ya, Mas," ucapku saat ba

  • Yang Kau Bilang Miskin    Haruskah Aku menolongmu B

    Aku dan Eis berpandangan. Eis mengangkat plastik berisi bubur tepat di depan wajahku. "Pengen bubur 'kan? Nih, buat kamu aja. Hari ini, aku ngalah deh, buburnya buat kamu sama ini," ucap Eis mengelus perutku. Ia tersenyum. Aku lega akhirnya bisa makan bubur Isma. Usai sarapan bubur, Aku mandi dan bersiap hendak kerumah Yu Santi. Dimas ikut serta kerumah Yu Santi. Sampai disana, sudah ramai orang gotong royong menyelesaikan pembuatan rumah Nilam. Mas Bayu dan Dimas bergabung dengan bapak-bapak. Aku menuju dapur, bergabung dengan ibu-ibu. Wajah Bude dan Nilam senang melihatku, sambutan ramah kudapatkan dari para ibu yang membantu masak disini. "Tante Rini, selamat, ya! Akhirnya aku mau dapat ponakan baru," Nilam memelukku. "Rini hamil?" tanya seorang tetangga Yu Santi. "Iya, Tante Rini hamil!" Nilam antusias. "Berarti ocehan si Yati salah itu. Dasar mulut rongsok!" umpat ibu-ibu lainnya. Aku tersenyum kecut menanggapi ocehan mereka, lalu ikut membantu di dapur. Saat makan siang

  • Yang Kau Bilang Miskin    Malangnya Nasib Yanti

    "Kau lupa, kemarin-kemarin kau hina aku dengan umpatan-umpatan kasar, sekarang lihatlah dirimu, menangis memohon, menghiba seperti ini." Aku tau dia sedang susah, bahkan tak pantas kuperlakukan begini. Yu Santi dan Nilam terdiam, entahlah jika mereka jadi aku, apakah mau menolong orang seperti Yu Yati. "Maafkan aku, Rini. Maafkan segala kesalahanku dimasalalu, dulu aku jahat padamu. Tolong maafkan aku!" Lagi Yu Yati memohon bak adegan sinetron. "Tolong Yanti, Rini, tolong dia, cuma kamu yang bisa," tangis Yu Yati di bawah kakiku. Rasa kemanusiaan di hati ini tergugah. Jujur hati ini juga sedih melihat kondisi Yanti, sedang keadaanku mampu untuk membantunya. "Ada apa ini?" Mas Bayu muncul diambang pintu. Ku toleh, Mas Bayu mengernyitkan kening mungkin dia bingung melihat Yu Yati bersimpuh di bawah kakiku sambil menangis. "Berdiri Yu, jangan berulah yang bisa membuatku malu." Yu Yati berdiri rapuh, baru kali ini kulihat dia serapuh itu. Sumpah serapah yang sering meluncur bagai l

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kasihan Yanti

    Ku hela nafas pelan, "Mas, niatku sedekah kok, nggak ada yang lain. Mas juga jangan su'udhon gitu. Biarin lah mau drama, pura-pura, ataupun gimana, itu urusan dia. Tujuanku sedekah aja, Mas lupa, sedekah bisa manjangin umur, membuka pintu rejeki juga. Masalah Yati mau berubah atau enggak bukan urusanku, bodo amat," jelasku pada Mas Bayu. Mas Bayu wajahnya berubah ada senyuman diwajahnya. "Kamu itu memang dasarnya baik, dijahatin juga masih baik," ucap Mas Bayu mencubit hidung ini. "Mas, setiap kejahatan, nggak harus dibalas kejahatan juga 'kan? Kalau aku balas Yu Yati dan Yanti jahat juga, apa bedanya aku sama dia?" lirihku pada Mas Bayu. "Nanti, tolong suruh Dimas ngaterin uang ke rumah sakit. Ini atas permintaan Yu Santi, kata dia di WA tadi, biar Yu Yati melek, kalau dibantu sama kita, gitu." Aku merebahkan diri di pembaringan kakiku lumayan pegel aku sedikit meringis. "Kenapa, Yang?" Mas Bayu nada bicaranya cemas. "Kakinya pegel, Mas. Badanku juga capek banget, aku istirahat

  • Yang Kau Bilang Miskin    Nasib Malang ibu dan anak A

    "Yang, Mas kedepan, ya! Nongkrong sama bapak-bapak di pos depan," ucap suamiku. Mas Bayu berdiri memakai kaos oblong dan celana pendek, kelihatan tampan bikin gemes. "Hem," sahutku fokus membaca buku KIA yang kudapat dari Ayu usai periksa kehamilan kemarin. Rumah sepi. Dimas pergi dari tadi sore, sekarang Mas Bayu pergi juga. "Sayang, kamu sama bunda, ya dirumah! Sehat selalu didalam sana, bunda nggak sabar pengen ketemu kamu," kuelus perutku ini. Berbalut baju piyama tidur motif keropi aku bersandar di ruang TV. Ponselku berdering, segera kulihat. Rupanya Eis, tumben nelpon malam-malam. "Hallo assalamualaikum," sapaku seperti biasa. Suara bising, jerit tangis seorang wanita terdengar riuh dari sambungan telepon. Ada apa sebenarnya? "Eis, hallo! Eis!" "Hallo, Rin! Hallo!" Perlahan suara Eis jelas, sedang suara jerit dan tangisan itu mulai hilang. "Kamu dimana si? Itu tadi suara siapa? Kok histeris banget." Deretan pertanyaan ku lontarkan pada Eis keningku berkerut. "Aku dir

  • Yang Kau Bilang Miskin    Nasib Malang Ibu dan Anak B

    Mas Bayu menutup pintu. Pakde Umar lalu kebelakang mungkin kedapur. Sebuah motor memasuki halaman rumah Pakde Umar. Kelihatannya motor Dimas. Kuintip dari jendela. Pakde Umar memapak Eis dan Dimas. "Mas, nanti kesana sama siapa?" Kutatap suamiku yang kini duduk di sofa. "Aku sama Pakde Umar saja. Biar Dimas jaga dirumah, kasihan dia seharian belum istirahat." Mas Bayu menatapku penuh arti. "Jadi, beneran aku ditinggal disini?" tanyaku memastikan berharap Mas Bayu mengijinkan aku ikut. Mas Bayu menarik nafas berat. "Nurut kata orangtua itu lebih baik. Jangan ngeyel!" tegas Mas Bayu. Pupus sudah harapan ini. Ekspresi Mas Bayu enggan dibantah. "Mas buatin susu dulu, nanti habis minum susu tidur. Mas nggak mau kamu begadang, kamu itu harus istirahat cukup, nggak boleh capek, nggak boleh banyak pikiran." Ih, mulai deh, ngomel. Mas Bayu bangkit meraih plastik perbekalan susu ibu hamil. Mas Bayu tuh semenjak aku hamil, suka ngomel melulu. Perhatian sih, tapi 'kan nggak enak juga kalau

Bab terbaru

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kekasih ku

    POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,

  • Yang Kau Bilang Miskin    Aku ingin disini

    POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku

  • Yang Kau Bilang Miskin    Jangan tinggalkan aku

    POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk

  • Yang Kau Bilang Miskin    Aku pulang, Yah

    Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kenapa harus putih?

    Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan

  • Yang Kau Bilang Miskin    Ada apa dengan Rini?

    "Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad

  • Yang Kau Bilang Miskin    nyaris sempurna

    Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya

  • Yang Kau Bilang Miskin    kecelakaan

    Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kemunculan Diki

    Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"

DMCA.com Protection Status