Saat itu, tenggorokan Amara terasa nyeri karena aneka emosi yang seakan bergumpal di sana. Baru mendengar Ji Hwan bicara saja, dia sudah tak bisa menahan ledakan yang seolah mengancam kepala dan dadanya. Bayangan masa lalu itu kembali memenuhi pelupuk matanya. Tampaknya, tak ada gunanya bicara berdua dengan Ji Hwan. Karena Amara kesulitan memandang Ji Hwan sebagai sosok merdeka yang sama sekali tak terkait dengan Cello. Di mata Amara, keduanya adalah satu paket yang tak terpisahkan.
“Ji Hwan, apa pun yang mau kamu omongin, sama sekali nggak akan mengubah keadaan. Cello udah ngelakuin hal jahat sama aku. Aku benci sama dia setengah mati. Mungkin, kamu atau siapa pun nggak akan bisa paham perasaanku kayak apa. Asal kamu tau, sebelum tahun baru, aku dan Sophie pernah datang ke kantor mamamu. Kubilang, kalau suatu saat Cello sengaja datang untuk ketemu aku lagi, pilihannya cuma dua. Aku atau dia yang mati,” ucap gadis itu kasar. “Jadi, dari situ kamu udah bisa d
“Mamaku berselingkuh waktu masih jadi istri papaku. Mama hamil Cello dan ngaku sama Papa kalau itu bukan darah dagingnya. Itulah sebabnya Papa memilih cerai dan memenangkan hak asuhku dan kakakku. Waktu kejadian itu, aku masih kecil banget. Umurku belum dua tahun. Aku bisa dibilang nggak punya memori soal Mama. Dulu, aku bahkan ngira kalau pengasuhku adalah mamaku.“Itulah sebabnya aku nggak pernah ngebahas detail tentang perceraian orangtuaku sama kamu atau yang lain. Karena aku pun kesulitan untuk paham akan pilihan yang dibuat Mama. Kalau udah nggak bisa bertahan atau jatuh cinta sama orang lain sampai rela ngorbanin rumah tangganya sendiri, kenapa nggak ngomong baik-baik sama Papa? Kenapa malah berselingkuh sampai hamil segala?”Amara tertegun mendengar penuturan Ji Hwan itu. Katanya, “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sengaja ngarang cerita tentang semua itu?””Ji Hwan menggeleng. “Untuk apa aku bohong sama kamu? Bila pe
Jika Amara mengira bahwa Ji Hwan akan menyerah setelah mendengar kata-kata menyakitkan yang terlontar dari bibirnya, gadis itu salah besar! Karena setelah kedatangan Ji Hwan ke rumah Amara, cowok itu masih berusaha menemuinya dua kali lagi.Akan tetapi, semua celah yang memungkinkan mereka bisa berkomunikasi dengan layak, ditutup oleh Amara. Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Ji Hwan untuk membela diri. Mereka bertengkar dengan kata-kata yang menyakitkan, minimal dari sisi Amara. Sebenarnya, tidak bisa disebut bertengkar karena hanya Amara yang emosi dan Ji Hwan cuma menjawab dengan sabar dan sopan.Pembelaan Sophie terhadap Ji Hwan kian membuat perasaan Amara terluka. Menurut sahabatnya, Ji Hwan tak pantas dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukannya. Amara tidak sependapat sama sekali.“Kenapa kamu keras kepala banget, sih, Mara?” Sophie tampak mulai kehabisan kesabaran. “Apa sih dosa Ji Hwan sampai dia pantas kamu maki-maki kayak g
“Kalau gitu, jangan lagi dekat-dekat sama Ji Hwan! Dia dan adiknya memiliki hubungan darah, kemungkin juga berbagi sifat-sifat jahat. Mama nggak sakan membiarkanmu mengambil risiko. Apa yang kamu lakukan Karin ini, udah tepat. Kalian sebaiknya memang putus saja.”Tadinya Amara mengira bahwa Merry akan sependapat dengan Sophie bahwa Ji Hwan tidak bersalah dan tak pantas menerima akibat dari keberengsekan Cello. Tak urung dia berjengit mendengar nada kebencian di dalam suara sang ibu. Mendadak, ada bagian dirinya yang ingin membela Ji Hwan. Akan tetapi, Amara mampu mengendalikan diri dengan baik.“Mama yakin kalau aku nggak berlebihan?” Amara ingin tahu.Merry menggeleng dengan tegas. “Nggak. Mama senang karena kamu udah bikin keputusan kayak gitu.”Mendadak, ada dorongan untuk memberi tahu Merry tentang hubungan antara Ji Hwan dan ibunya. Bibir gadis itu pun tak kuasa melawan kehendak hatinya. Amara meringkas kembali obr
Amara menyetir menuju rumah sakit dengan perasaan cemas yang menggelembung di dadanya. Namun dia harus berjuang untuk berkonsentrasi pada jalanan yang membentang di depannya. Jika tidak, bisa-bisa Amara akan celaka.Gadis itu seakan bermimpi saat memasuki gedung rumah sakit. Tadi Sophie sudah memberi tahu ruangan tempat Brisha dirawat. Setelah mengetahui pasti arah yang harus diambilnya usai bertanya pada satpam rumah sakit, Amara pun melangkah tanpa ragu.Aroma khas rumah sakit langsung menyerbu hidungnya, membuat sebuah kenangan familier yang menyakitkan kembali menyergap Amara. Sophie berdiri seraya melambai dari kejauhan. Amara mempercepat langkahnya, tidak sabar ingin tahu kabar terkini sahabatnya.“Apa yang terjadi, Soph? Kamu udah ngeliat kondisi Brisha? Tadi kamu bilang kalau Brisha dipukuli sama Andaru, kan? Gimana bisa?” cerocos Amara tak sabar.Sophie menarik tangannya, mengajak Amara duduk di kursi yang menempel ke dinding. B
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Amara sempat kehilangan kata-kata sejenak. Namun dia bisa menguasai diri dengan cepat. “Aku pengin ngeliat kondisi Brisha. Apakah parah?”“Aku sendiri belum ngeliat. Tadi sih udah disuruh masuk sama mamanya Brisha tapi kutolak. Kubilang, aku mau nunggu kamu.” Suara Amara yang penuh kecemasan itu menyita perhatian Sophie. “Tapi kuharap semoga aja kondisinya nggak parah. Tadi sih mamanya bilang kalau banyak memar di lengan Brisha. Selain itu, bibirnya juga pecah.”“Hah?” Amara merinding. Dia teringat saat Cello memukulinya. Amara meraba bibirnya sendiri dengan rasa ngilu yang mendominasi. Membayangkan Brisha “dihadiahi” bogem mentah oleh Andaru yang baru dua kali ditemui gadis itu, membuat Amara sangat kesal. Sekaligus mengingatkan Amara pada apa yang pernah dialaminya.Ketika akhirnya mereka memasuki ruang perawatan, Amara dan Sophie saling bertukar pandang dengan k
Amara merasakan darahnya seolah membeku. Mungkin saat ini, dia sama pucatnya dengan Brisha. Andai bisa memilih, gadis itu tak ingin mendengar detail tentang apa yang sudah dilakukan Andaru pada sahabatnya. Namun, itu mustahil karena Amara ingin tahu apa yang terjadi sehingga Brisha berakhir di ranjang rumah sakit.“Waktu kamu berhasil ninggalin mobilnya, Andaru sempat ngejar, nggak?” Sophie bersuara lagi. Sementara Amara memilih menjadi pendengar karena dia tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun. Tenggorokannya terasa penuh.“Aku nggak tahu karena langsung kabur ke rumah dan nggak sempat ngeliat ke belakang lagi. Aku pun nggak beneran tau apa yang terjadi sama Andaru. Papa sih udah melapor ke polisi.”Amara ingin menangis mendengar cerita Brisha. Namun dia lebih terpukul dengan nada menderita di suara sahabatnya. Suara helaan napas berat Sophie menusuk telinganya. Mereka bertiga baru saja melewati usia remaja. Akan tetapi, ternyata merek
Amara tidak bisa menahan diri lagi. “Ya, kamu memang bodoh, Sha! Aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa ngebiarin cowok jahat kayak gitu menyakitimu. Bukan cuma sekali tapi sampai berkali-kali. Dia juga ngatur hidupmu dan kamu cuma nurut aja. Kalau dia memang cinta sama kamu, Andaru itu nggak mungkin memukulmu, Sha! Kenapa kamu diam aja, sih? Kamu bahkan mau-maunya dilarang temenan sama kami berdua,” cetusnya pahit.Sophie jauh lebih toleran. Dia berusaha menenangkan Amara, mencegah gadis itu memuntahkan lebih banyak lagi kata-kata yang akan menyakiti Brisha. Untungnya kali ini Amara tidak sekeras kepala biasa dan bersedia mengatupkan bibirnya. Meski jelas terlihat kalau dia belum merasa puas.Ya, dia memang gemas pada Brisha. Apalagi setelah tahu apa saja yang dilakukan Andaru pada sahabatnya ini. Cowok manipulator seharusnya sudah dijauhi begitu mulai terlihat tanda-tanda bahwa dia ingin mengatur hidupmu lebih dari yang seharusnya. Itu yang diyakini
Amara berusaha keras menampilkan kesan tenang dan tak terganggu. Dia sebenarnya tak ingin diingatkan lagi pada masa lalu. Namun, tak mungkin juga saat ini dia mengomeli Brisha. Masing-masing dari mereka sedang menghadapi masalahnya sendiri. “Nggak apa-apa, Sha. Kami udah lumayan lama putus, sejak malam tahun baru.”“Ha? Sudah selama itu?” Pupil mata Brisha melebar. Alisnya pun terangkat.Amara mengangguk dengan tenggorokan yang kembali terasa penuh. “Udah ah, aku nggak mau ngebahas soal itu lagi. Kamu harus sembuh dulu, itu jauh lebih penting. Jangan mikirin masalah lain yang sama sekali nggak penting.”Namun tampaknya Brisha tidak mau mendengar permintaan Amara. “Aku nggak apa-apa, kok! Sebenarnya, aku udah nggak ngerasain sakit kecuali bibirku.” Brisha bergerak pelan untuk duduk di ranjang. Dia memberi instruksi pada Sophie untuk mengubah kemiringan kepala ranjang dengan menggunakan sebuah remote contro