Amara merasakan darahnya seolah membeku. Mungkin saat ini, dia sama pucatnya dengan Brisha. Andai bisa memilih, gadis itu tak ingin mendengar detail tentang apa yang sudah dilakukan Andaru pada sahabatnya. Namun, itu mustahil karena Amara ingin tahu apa yang terjadi sehingga Brisha berakhir di ranjang rumah sakit.
“Waktu kamu berhasil ninggalin mobilnya, Andaru sempat ngejar, nggak?” Sophie bersuara lagi. Sementara Amara memilih menjadi pendengar karena dia tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun. Tenggorokannya terasa penuh.
“Aku nggak tahu karena langsung kabur ke rumah dan nggak sempat ngeliat ke belakang lagi. Aku pun nggak beneran tau apa yang terjadi sama Andaru. Papa sih udah melapor ke polisi.”
Amara ingin menangis mendengar cerita Brisha. Namun dia lebih terpukul dengan nada menderita di suara sahabatnya. Suara helaan napas berat Sophie menusuk telinganya. Mereka bertiga baru saja melewati usia remaja. Akan tetapi, ternyata merek
Amara tidak bisa menahan diri lagi. “Ya, kamu memang bodoh, Sha! Aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa ngebiarin cowok jahat kayak gitu menyakitimu. Bukan cuma sekali tapi sampai berkali-kali. Dia juga ngatur hidupmu dan kamu cuma nurut aja. Kalau dia memang cinta sama kamu, Andaru itu nggak mungkin memukulmu, Sha! Kenapa kamu diam aja, sih? Kamu bahkan mau-maunya dilarang temenan sama kami berdua,” cetusnya pahit.Sophie jauh lebih toleran. Dia berusaha menenangkan Amara, mencegah gadis itu memuntahkan lebih banyak lagi kata-kata yang akan menyakiti Brisha. Untungnya kali ini Amara tidak sekeras kepala biasa dan bersedia mengatupkan bibirnya. Meski jelas terlihat kalau dia belum merasa puas.Ya, dia memang gemas pada Brisha. Apalagi setelah tahu apa saja yang dilakukan Andaru pada sahabatnya ini. Cowok manipulator seharusnya sudah dijauhi begitu mulai terlihat tanda-tanda bahwa dia ingin mengatur hidupmu lebih dari yang seharusnya. Itu yang diyakini
Amara berusaha keras menampilkan kesan tenang dan tak terganggu. Dia sebenarnya tak ingin diingatkan lagi pada masa lalu. Namun, tak mungkin juga saat ini dia mengomeli Brisha. Masing-masing dari mereka sedang menghadapi masalahnya sendiri. “Nggak apa-apa, Sha. Kami udah lumayan lama putus, sejak malam tahun baru.”“Ha? Sudah selama itu?” Pupil mata Brisha melebar. Alisnya pun terangkat.Amara mengangguk dengan tenggorokan yang kembali terasa penuh. “Udah ah, aku nggak mau ngebahas soal itu lagi. Kamu harus sembuh dulu, itu jauh lebih penting. Jangan mikirin masalah lain yang sama sekali nggak penting.”Namun tampaknya Brisha tidak mau mendengar permintaan Amara. “Aku nggak apa-apa, kok! Sebenarnya, aku udah nggak ngerasain sakit kecuali bibirku.” Brisha bergerak pelan untuk duduk di ranjang. Dia memberi instruksi pada Sophie untuk mengubah kemiringan kepala ranjang dengan menggunakan sebuah remote contro
Keheningan yang mengerikan mendominasi ruangan itu. Amara bisa melihat bagaimana wajah kedua temannya berubah sepucat mayat setelah mendengar kata-katanya. Gadis itu memaki pelan, menyesali kecerobohannya. Dia mengutuk diri sendiri karena tidak mampu menjaga lidah dan menahan diri. Bukankah di masa lalu Amara pernah bersumpah untuk menyimpan rahasia itu dari dunia? Cukup keluarganya saja yang tahu pasti masalah itu. Berikut keluarga Cello, tentunya. Itulah sebabnya dulu mereka memaksakan pernikahan untuk Amara dan Cello.“Rahasia apalagi yang kamu sembunyikan?” tanya Brisha marah. “Kenapa kamu nggak pernah ngasih tau kami? Hamil karena diperkosa itu sama sekali bukan masalah sepele, Mara!”Amara bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada, bersikap defensif. “Lihat siapa yang barusan ngomong!. Yakin kalau kamu adalah orang yang tepat untuk ngucapin kalimat itu sama aku? Siapa yang sampai setengah jam lalu masih nyembunyiin rahasia
Amara akhirnya menegakkan tubuh. Sophie buru-buru mengangsurkan sekotak tisu padanya. Gadis itu mengeringkan pipi dan hidungnya yang berair. Rasa pedih karena mengingat jalan hidupnya yang berliku, membuat dada Amara terasa sakit. Hidupnya yang datar-datar saja sejak kecil, tak dinyana mengalami hal pahit nan dramatis saat memasuki usia dua puluhan.“Sejak itu, aku selalu trauma sama yang namanya rumah sakit. Aroma khas di tempat ini bikin aku mau nggak mau mengingat lagi apa yang terjadi saat itu. Tadi pun aku berkeringat dingin pas masuk lobi rumah sakit. Saat aku keguguran itu, sakitnya ... luar biasa. Aku sempat mengira kalau saat itu bakalan mati.”Hening. Selama beberapa saat, tak ada yang membuka mulut. Brisha berinisiatif menyodorkan air mineral yang ada di meja dalam kondisi masih bersegel. Amara menerima botol air tersebut dan meminum setengah dari isinya.“Aku nggak tau kalau kamu sampai mengalami semua itu. Kalau aku jadi kamu, mung
Amara tidak tahu bagaimana cara membela diri di depan Ji Hwan. Dia sudah mengerahkan energi yang cukup besar untuk berbantahan dengan Sophie dan Brisha yang bahu-membahu menentanganya. Ketika kini sang mantan tiba-tiba muncul di depan matanya, Amara nyaris tidak punya sisa tenaga lagi. Apalagi setelah mendengar kata-kata dan ekspresi Ji Hwan saat melisankan kalimatnya. Amara benar-benar dipenuhi rasa tak nyaman.“Ji Hwan, sini! Jangan cuma berdiri di depan pintu. Itu nggak sopan, tau!” Brisha melambaikan tangan kirinya dengan penuh semangat. Seolah bukan dia yang menjadi korban pemukulan cowoknya yang gila dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit. “Kamu dan Amara harus ngobrol berdua untuk mecahin masalah kalian. Aku tau kalau....”“Nggak ada yang perlu diobrolin! Keputusan soal itu udah final, kok!” tukas Amara. Gadis itu bertahan pada kekeraskepalaannya.Sophie menarik tangan Amara, memaksanya bangkit dari kursi. Gadi
Seiring punggung lebar Ji Hwan yang menjauh, Amara juga tahu jika dia sudah membuang kesempatan terakhirnya dengan begitu gemilang. Setelah ini, tak akan peluang kedua. Ji Hwan akan menghilang dari hidup Amara untuk selamanya. Mengapa perasaannya begitu tersiksa hanya karena membayangkan hal itu?“Apa Ji Hwan tadi sempat dengar tentang kehamilanku?” Amara masuk ke ruangan tempat Brisha dirawat dengan panik setelah Ji Hwan pergi. Dia harus mengetuk pintu lumayan kencang sebelum Sophie akhirnya membuka kunci dan membiarkan gadis itu masuk.Brisha yang sudah kembali berbaring, menggeleng pelan. “Kamu takut kalau Ji Hwan tahu soal itu? Memangnya kenapa?”“Entahlah,” jawab Amara jujur. “Aku nggak yakin.”Sophie menatap Amara dengan alis bertaut. Gadis itu melirik arlojinya sebelum bersuara. “Kalian udah kelar ngomong? Secepat itu? Nggak nyampe lima menit, lho! Apa masalah kalian udah beres? Ka
Amara memikirkan kata-katanya sendiri yang diucapkan di rumah sakit pagi itu. Ya, sepertinya ada yang salah dengan para pria yang mendekat dalam hidup mereka bertiga. Seakan dia dan kedua sahabatnya mendapat kutukan seputar hubungan dengan lawan jenis. Mungkinkah mereka memeliki semacam aura negatif yang bisa menjadi magnet untuk cowok-cowok yang memiliki kecenderungan aneh?Sophie untuk sementara memang bisa dikesampingkan karena tidak memiliki hubungan personel yang menakutkan. Minimal begitulah sepengetahuan Amara. Akan tetapi, gadis itu terlahir ke dunia setelah sang ibu mengalami kengerian seperti yang dialami Amara. Bukan karena pernikahan normal seperti yang lain.“Maaf ya, Mara. Bukannya aku bersyukur untuk pengalaman pahitmu,” kata Sophie hati-hati saat mereka meninggalkan rumah sakit. “Tapi, kurasa, memang lebih baik kalau kamu keguguran dan nggak pernah ngelahirin anak yang nggak kamu inginkan.”Amara tahu maksud kata-kat
Cinta menjadi dusta ketika yang terjadi cuma sederet hal-hal yang melukai, mental dan fisik. Dan entah kenapa Brisha membiarkan dirinya terjebak dalam hubungan seperti itu. Amara geram sekali pada Andaru. Di sisi lain, dia juga tak bisa tidak kesal pada Brisha. Seharusnya, sejak melihat tanda-tanda aneh, Brisha sudah berusaha melepaskan diri. Dan bukannya malah cenderung menuruti keinginan pacarnya dan memuaskan ego cowok itu.“Kita nggak bisa nyalahin si Andaru itu sepenuhnya. Brisha juga ngasih peluang, makanya pacar berengseknya makin ngelunjak,” komentar Sophie. Jika di rumah sakit tadi Sophie tak menyalahkan Brisha, kini sebaliknya.“Kenapa baru ngomong sekarang? Harusnya tadi kamu juga ngomong di depan Brisha,” protes Amara sembari menoleh ke kiri. Dia akan mengantar Sophie pulang karena hari ini mereka tak memiliki jadwal kuliah.“Kamu tadi udah cukup galak pas ngomelin Brisha. Kalau aku ikutan juga, takutnya tuh anak malah m
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih