Amara tidak tahu bagaimana cara membela diri di depan Ji Hwan. Dia sudah mengerahkan energi yang cukup besar untuk berbantahan dengan Sophie dan Brisha yang bahu-membahu menentanganya. Ketika kini sang mantan tiba-tiba muncul di depan matanya, Amara nyaris tidak punya sisa tenaga lagi. Apalagi setelah mendengar kata-kata dan ekspresi Ji Hwan saat melisankan kalimatnya. Amara benar-benar dipenuhi rasa tak nyaman.
“Ji Hwan, sini! Jangan cuma berdiri di depan pintu. Itu nggak sopan, tau!” Brisha melambaikan tangan kirinya dengan penuh semangat. Seolah bukan dia yang menjadi korban pemukulan cowoknya yang gila dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit. “Kamu dan Amara harus ngobrol berdua untuk mecahin masalah kalian. Aku tau kalau....”
“Nggak ada yang perlu diobrolin! Keputusan soal itu udah final, kok!” tukas Amara. Gadis itu bertahan pada kekeraskepalaannya.
Sophie menarik tangan Amara, memaksanya bangkit dari kursi. Gadi
Seiring punggung lebar Ji Hwan yang menjauh, Amara juga tahu jika dia sudah membuang kesempatan terakhirnya dengan begitu gemilang. Setelah ini, tak akan peluang kedua. Ji Hwan akan menghilang dari hidup Amara untuk selamanya. Mengapa perasaannya begitu tersiksa hanya karena membayangkan hal itu?“Apa Ji Hwan tadi sempat dengar tentang kehamilanku?” Amara masuk ke ruangan tempat Brisha dirawat dengan panik setelah Ji Hwan pergi. Dia harus mengetuk pintu lumayan kencang sebelum Sophie akhirnya membuka kunci dan membiarkan gadis itu masuk.Brisha yang sudah kembali berbaring, menggeleng pelan. “Kamu takut kalau Ji Hwan tahu soal itu? Memangnya kenapa?”“Entahlah,” jawab Amara jujur. “Aku nggak yakin.”Sophie menatap Amara dengan alis bertaut. Gadis itu melirik arlojinya sebelum bersuara. “Kalian udah kelar ngomong? Secepat itu? Nggak nyampe lima menit, lho! Apa masalah kalian udah beres? Ka
Amara memikirkan kata-katanya sendiri yang diucapkan di rumah sakit pagi itu. Ya, sepertinya ada yang salah dengan para pria yang mendekat dalam hidup mereka bertiga. Seakan dia dan kedua sahabatnya mendapat kutukan seputar hubungan dengan lawan jenis. Mungkinkah mereka memeliki semacam aura negatif yang bisa menjadi magnet untuk cowok-cowok yang memiliki kecenderungan aneh?Sophie untuk sementara memang bisa dikesampingkan karena tidak memiliki hubungan personel yang menakutkan. Minimal begitulah sepengetahuan Amara. Akan tetapi, gadis itu terlahir ke dunia setelah sang ibu mengalami kengerian seperti yang dialami Amara. Bukan karena pernikahan normal seperti yang lain.“Maaf ya, Mara. Bukannya aku bersyukur untuk pengalaman pahitmu,” kata Sophie hati-hati saat mereka meninggalkan rumah sakit. “Tapi, kurasa, memang lebih baik kalau kamu keguguran dan nggak pernah ngelahirin anak yang nggak kamu inginkan.”Amara tahu maksud kata-kat
Cinta menjadi dusta ketika yang terjadi cuma sederet hal-hal yang melukai, mental dan fisik. Dan entah kenapa Brisha membiarkan dirinya terjebak dalam hubungan seperti itu. Amara geram sekali pada Andaru. Di sisi lain, dia juga tak bisa tidak kesal pada Brisha. Seharusnya, sejak melihat tanda-tanda aneh, Brisha sudah berusaha melepaskan diri. Dan bukannya malah cenderung menuruti keinginan pacarnya dan memuaskan ego cowok itu.“Kita nggak bisa nyalahin si Andaru itu sepenuhnya. Brisha juga ngasih peluang, makanya pacar berengseknya makin ngelunjak,” komentar Sophie. Jika di rumah sakit tadi Sophie tak menyalahkan Brisha, kini sebaliknya.“Kenapa baru ngomong sekarang? Harusnya tadi kamu juga ngomong di depan Brisha,” protes Amara sembari menoleh ke kiri. Dia akan mengantar Sophie pulang karena hari ini mereka tak memiliki jadwal kuliah.“Kamu tadi udah cukup galak pas ngomelin Brisha. Kalau aku ikutan juga, takutnya tuh anak malah m
Bagaimana bisa ada orang yang memberi efek semengerikan itu bagi Amara? Dia tidak pernah menduga jika kehadiran Ji Hwan mampu mengakibatkan hal yang tak sederhana itu. Bahkan saat memutuskan hubungan dengan Ji Hwan pun, Amara yakin hatinya akan segera pulih. Namun, siapa sangka jika harapannya itu tidak benar-benar terjadi?Jika diingat lagi, apa yang diucapkannya di depan Ji Hwan tadi, sudah pasti tidak akan termaafkan. Itu dosa terbesar Amara, mengucapkan kalimat-kalimat jahat yang menyiksa Ji Hwan dan dirinya sendiri. Tidak ada lagi jalan untuk kembali.Sepanjang hari itu, Amara benar-benar tersiksa sendiri. Dia tak tahu harus melakukan apa demi meredakan perasaan tak keruan yang memuntir perutnya. Setelah menimbang-nimbang, dia akhirnya bicara dengan Ika saat makan malam. Merry belum pulang dari restoran dan hanya ada mereka berdua di rumah.“Saya sependapat sama Sophie dan Brisha, Mara,” kata Ika setelah mendengar penjelasan Amara. “Kamu p
Amara datang lebih pagi dibanding yang seharusnya. Kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Namun gadis itu merasa tidak sanggup bertahan di rumah lebih lama lagi. Amara ingin segera bertemu dengan Sophie setelah sahabatnya menelepon pagi-pagi.“Kalau kamu lagi nggak ada kerjaan di rumah, mending datang ke kampus lebih pagi, Mara. Biar bisa ngobrol lebih enak,” usul Sophie setelah Amara mengucapkan salam.“Oke,” sahut Amara tanpa pikir panjang.“Kita akan ngebahas soal Ji Hwan. Dan kamu nggak boleh tetap keras kepala seperti kemarin-kemarin,” Sophie mengingatkan.Tadinya, dia berniat untuk menjemput Sophie di rumahnya. Namun Sophie menolak dan meminta mereka bertemu di kampus saja. Karena Sophie ada keperluan dan harus mengantar neneknya ke klinik terlebih dahulu. Sophie bilang, neneknya sedang flu berat.Seharusnya, Amara tiba di kampus setengah jam lagi. Namun dia tak betah berada di rumah sehingga memutuskan un
Amara berusaha keras agar bibirnya merekahkan senyum. Meski saat itu dia sungguh ingin meninggalkan kantin dan berada sejauh mungkin dari Reuben. “Mungkin saya baru mengambil mata kuliah itu dua semester lagi, Pak.”Amara tahu bahwa Reuben tidak terlalu suka disapa “Pak” jika tidak berada di kelas. Kendati demikian, gadis itu tahu bahwa dia harus memasang jarak sejak awal. Amara tidak boleh memberi celah yang bisa disalahartikan oleh Reuben. Lelaki itu sudah matang dan menawan, diidamkan banyak mahasiswi. Bahkan di saat itu, ada sekelompok mahasiswi di meja lain yang berbisik-bisik sembari melirik ke arah mereka. Namun mau bagaimana lagi, Amara tidak memiliki setitik pun ketertarikan pada sang dosen.“Oh, begitu,” kata Reuben. “Kamu ada kuliah jam berapa, Mara?”“Jam sepuluh, Pak.”Andai Ji Hwan adalah Reuben, alangkah indahnya dunia ini. Beban yang sedang menggelayuti Amara pasti akan musn
Amara sangat ingin mengernyit, sebagai isyarat bahwa dia tidak nyaman dengan kata-kata Reuben. Akan tetapi, seseorang menyelamatkannya dari keharusan memberi respons dan merasa jengah di waktu bersamaan. Sophie memasuki kantin, melihat ke berbagai penjuru, hingga melambai penuh semangat setelah menemukan Amara.“Halo Pak, apa kabar? Tumben tidak pesan roti bakar dan malah makan banyak camilan. Lagi pengin nambah lemak ya, Pak?” sapa Sophie riang. Gadis itu menarik kursi kosong di sebelah kanan Amara dan duduk dengan napas agak terengah.Kelegaan Amara sepertinya terbaca dengan jelas oleh sepasang mata tajam milik Reuben. Lelaki itu cuma bertahan kurang dari dua menit sebelum akhirnya pamit untuk meninggalkan Amara dan Sophie. Reuben beralasan dia harus segera mengajar. Amara menatap kepergian Reuben dengan perasaan lega yang membuat bahunya melorot.“Apa yang udah kulewatkan?” tanya Sophie seraya meraih gelas minuman milik Amara. &l
Sophie malah menepuk punggung tangan Amara yang berada di atas meja. “Yeee, bukannya ngejawab malah melamun,” protesnya. “Mara, cuma ngasih tau doang. Plis ya, jangan sok gengsi. Telat banget kalau sekarang mendadak jaim. Tadi malam, siapa yang ngebangunin aku di jam yang nggak manusiawi?” cerocos Sophie lagi.Amara mengulum senyum mendengar kata-kata sahabatnya. “Nggak sekalian aja ngomong pakai TOA, Soph? Biar semua orang dengar.”Sophie kembali menyeringai. Amara tahu, tak ada gunanya menyoal tentang suara Sophie yang memang selalu paling kencang dibanding yang lain.“Apa rencanamu terkait Ji Hwan, Mara?” Sophie bertanya lagi.Yang ditanya malah menggeleng. “Entahlah, aku nggak berhasil mikirin sesuatu yang genius. Aku juga nggak yakin kalau Ji Hwan mau maafin aku. Kemarin, omonganku udah kelewatan banget. Ji Hwan pasti tersinggung berat.” Amara mendesah.Sophie melepaskan sedotan yang
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih