Namaku Nefertiti Kamelia, biasa disapa Nef. Aku bukan pesohor yang biasa mendapat atensi dari dunia. Aku tak pernah mengunggah video atau membuat status yang viral dan jadi perbincangan di dunia maya. Semua itu bukan diriku.
Aku hanya memiliki akun Instagram dengan jumlah pengikut yang sangat minim. Aku bahkan tidak mempunyai akun di Facebook. Intinya, aku cuma gadis biasa yang sedang berkuliah dan tinggal di sebuah kota kecil bernama Pematangsiantar. Pernah dengar? Jika kamu ingin mencicipi makanan enak, datanglah ke sini. Pematangsiantar surganya kuliner lezat. Di sini, kamu akan temukan selai serikaya terlezat di dunia. Apa aku berlebihan? Sama sekali tidak!
Akan tetapi, bukan tentang kuliner atau selai serikaya terenak di dunia itu yang ingin kuceritakan kepada kalian. Melainkan hal lain yang menurutku perlu untuk diketahui orang lain. Terutama kaum perempuan di luar sana. Aku bahkan berharap semoga ada hikmah yang bisa dipetik. Karena ternyata ada bagian hidupku yang cukup dramatis. Ralat. Tepatnya, aku mengenal beberapa orang dengan pengalaman hidup tak biasa.
Semuanya dimulai dari satu perkenalan yang sama sekali tidak mengenakkan. Andai bisa, aku sangat ingin melupakan peristiwa itu. Namun, itu mustahil. Karena dari momen itu terbuka banyak sekali pintu yang mengantarku mengenal orang-orang yang kelak menjadi teman setiaku. Bahkan, salah satunya kemungkinan besar akan menjadi belahan jiwaku. Ehm.
Sekarang aku tahu, tidak ada yang namanya kebetulan. Tuhan sudah menyiapkan semuanya dengan saksama dan detail. Sempurna. Namun, tentu harus sesuai dengan pilihan waktu-Nya, bukan waktuku atau waktumu.
Ingin tahu kisahku? Eh iya, sebelumnya aku cuma ingin mengingatkanmu untuk menyiapkan mental. Karena akan ada banyak kejutan pada ceritaku.
“Hai, Nef! Baru pulang, ya? Kok sesore ini? Biasanya kan kamu hampir nggak pernah kuliah sore,” ucap seseorang.Sapaan basa-basi itu membuat alisku terangkat seketika. Tidak ada orang lain yang dipanggil “Nef” selain aku, Nefertiti Kamelia. Akan tetapi, mengingat siapa pemilik suara, rasanya sangat tak masuk akal jika diriku yang disapa. Karena orang itu bukanlah sosok ramah yang selama ini menjadi teman baikku.“Nef! Dipanggil kok diam aja, sih?” ulang si penanya dengan nada penasaran.Mau tak mau, langkahku melamban dengan mata tertuju ke satu arah. Pada seorang cewek yang sedang duduk di salah satu bangku beton berpayung. Thea, namanya. Sungguh, aku benar-benar tidak yakin jika Thea sedang bicara denganku. Namun karena sekali lagi dia menyerukan namaku, aku pun tahu jika tidak sedang bermimpi.“He-eh, terpaksa. Karena hari ini ada jadwal kuliah yang digeser,” balasku dengan suara tak jelas, antara menjawa
Yang paling mencolok, Thea tidak sungkan menyindir hingga menghina orang yang dianggap tak selevel dengannya. Entah siapa yang memberi hak pada Thea untuk bersikap seperti itu. Aku adalah salah satu korbannya. Makanya tadi aku kaget saat dia menyapaku dengan gaya ramah yang sama sekali tak cocok dengan gadis itu.Thea pernah menghinaku dengan kata-kata “cewek berselera rendah” setelah dia tahu bahwa aku suka berbelanja di toko loak. Gadis itu selalu punya kosakata untuk menghina orang lain. “Keterampilan” yang kadang membuatku takjub.“Kamu tinggal di kos-kosan sekeren ini tapi malah hobi belanja di pasar loak. Ck ck ck, seleramu bikin aku merinding.” Itu salah satu hinaan yang pernah dilemparkan Thea ke wajahku. Biasanya, dia masih menambahkan dengan beberapa kalimat lainnya.Aku terganggu, tentu saja. Namun aku memilih untuk berpura-pura tuli, mengabaikan semua kata-kata pedas yang tak pantas itu. Toh, Thea mustahil berubah.
Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,”
“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu p
Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih