Sophie dan Ronan sedang mengobrol dengan beberapa orang sepupu Ji Hwan, tepat di sebelah alat pemanggang. Amara tak ingin mengganggu sahabatnya. Karena itu, dia langsung melewati pintu yang sudah dibukakan oleh Ji Hwan.
Setelah melewati ambang pintu, Amara langsung berhadapan dengan ruang makan yang didominasi warna dawn glow. Ji Hwan menunjuk salah satu pintu yang tertutup dengan tangan kanannya yang bebas.
“Heartling, kamar mandinya yang itu. Aku tunggu di sini, ya?”
Amara mengangguk. Dia melangkah ke arah pintu kamar mandi. Di belakangnya, Amara mendengar ponsel Ji Hwan berbunyi. Lelaki itu bicara di gawainya selama beberapa saat.
“Heartling, kalau kamu udah kelar dari kamar mandi, langsung keluar lagi aja, ya? Aku mau ke halaman samping sebentar. Ini ada yang datang nganterin makanan dari mamaku.”
“Oke,” sahut Amara sebelum menutup pintu kamar mandir yang ternyata cukup luas itu. Gadis itu bertahan d
Ji Hwan menatap Amara dengan perasaan bingung. Kening cowok itu berkerut. Bukan pertanyaan Amara yang mengusiknya. Melainkan karena sikap gadis itu yang tak biasa. Dia bisa memindai wajah gadisnya yang memucat meski Amara tak memandang ke arahnya. Rasa tidak nyaman dalam sekedip pun bersarang di dadanya. Namun dia harus menjawab pertanyaan Amara lebih dahulu sebelum mencari tahu perubahan sikap Amara yang begitu jelas.“Kamu kenal Cello?” tanyanya. “Aku nggak tau kalau kamu kenal dia. Maaf ya, harusnya tadi kalian kukenalin. Cello tadi datang untuk nganterin makanan dari Mama. Padahal aku udah bilang sama Mama, nggak perlu repot-repot karena di sini udah banyak makanan. Tapi Mama udah pesan dan kurirnya salah antar. Bukannya diantar ke sini, malah dikirim ke alamat pemesan. Alhasil, Cello terpaksa nganterin ke sini walau udah tengah malam gini.”Ji Hwan menatap ke depan, ke arah kembang api yang sedang menghiasi langit. Jika mereka naik ke gazeb
“Heartling, ada apa? Kalian mau ke mana? Jangan pulang dulu, kira harus ngobrol,” katanya tanpa basa-basi. “Apa kamu kenal Cello?”Sophie yang lebih dulu berhenti dan memandang Ji Hwan dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Amara masih berusaha terus melangkah dan melepaskan tangannya dari genggaman Ji Hwan. Akan tetapi, kemudian Sophie turut menahan tangan kanannya yang bebas. Sehingga Amara tak memiliki pilihan lain kecuali berhenti melangkah.“Kamu harus ngasih tau Ji Hwan, Mara. Jangan langsung pergi aja,” kata Sophie pelan.“Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kalian mau buru-buru pergi? Kalian mau ke mana? Ini bahkan baru lewat tengah malam.” Ji Hwan berusaha keras menekan dalam-dalam rasa panik yang mulai menyedotnya. “Aku akan nganterin kalian. Jangan cuma pergi berdua.”Ketika Amara membalikkan tubuh, Ji Hwan terkelu karena melihat pipi gadis itu kembali dipenuhi air mata. Dia mendekat
“Kamu nggak tau sama sekali apa yang dilakuin Cello? Kamu nggak dengar beritanya dari mamamu? Kamu nggak tau kenapa dia sampai pindah ke Austalia?” Amara balik bertanya dengan nada dingin yang tak pernah didengar Ji Hwan sebelumnya. Bahkan saat Amara bersikap judes padanya, nada gadis itu tak seperti sekarang.Pertanyaan Amara itu membuat Ji Hwan makin yakin apa yang akan didengarnya dari Amara. Dia benar-benar tak pernah membayangkan dirinya dan Amara akan melewati ini semua. Namun dia tetap bersuara, menghalau rasa takut yang melemaskan tulang-tulang cowok itu. “Aku beneran nggak tau apa pun. Mama nggak pernah bilang apa-apa terkait Cello. Kayak kubilang tadi, aku nggak dekat sama Cello dan jarang banget ketemu dia. ”Amara bersuara dengan kebencian yang terpentang jelas di wajahnya dan membuat tengkuk Ji Hwan terasa dingin. “Kalau gitu, biar aku yang ngasih tau sama kamu. Cello, adik tirimu yang hebat itu, adalah orang yang udah memerko
Sophie nyaris tidak bicara selama bermenit-menit. Untungnya mereka tak kesulitan untuk menemukan taksi. Amara merasa bersyukur karena mereka tidak melalui area macet. Supir taksi mengetahui jalan memotong yang akan membuat mereka lebih cepat sampai di rumah Amara. Tangan gadis itu saling meremas dengan gerakan gugup yang kentara.Amara tidak tahu bagaimana dia bisa bertahan seperti tadi, tetap berdiri di depan Ji Hwan tanpa kehilangan keseimbangan atau malah pingsan. Bahkan, Amara masih mampu melontarkan beberapa kalimat yang menyakitkan dan menyembilu. Bukan cuma untuk Ji Hwan melainkan juga bagi dirinya sendiri.Namun Amara tidak bisa menahan diri karena kejutan yang terjadi malam ini. Semua ini terlalu berat untuk ditanggung. Kejutan yang sama sekali tak pernah diduga oleh gadis itu. Mana pernah dia menyangka jika dirinya dan cowok yang dicintai Amara itu akan terhubung dengan cara seperti ini? Bukankah ini rasanya begitu kejam?“Aku beneran n
“Amara, aku tau kamu belum tidur. Mungkin, sampai pagi pun kita berdua nggak akan bisa tidur,” desah Sophie pelan. “Maaf, aku nggak bisa berpura-pura kalau tadi nggak terjadi apa pun. Menurutku, mending kita bahas apa yang terjadi tadi. Aku pengin banget bantuin kamu, andai memang bisa. Tapi kurasa menutup mulut bukanlah cara terbaik.”Amara tahu bahwa Sophie memiliki kelugasan yang tidak dipunyai oleh dirinya dan Brisha. Sophie yang santai dan tampak selalu gembira itu punya kekuatan untuk membuat orang tak mampu menampik keinginannya. Entah gadis itu menyadari kelebihannya itu atau sebaliknya. Jika Sophie sudah bertekad untuk sesuatu, maka Amara tahu tak ada gunanya melawan dan membantah.“Kamu mau ngomong apa?” Amara masih tidak bergerak. Suaranya terdengar serak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Dia sudah berjuang mati-matian untuk meredam suara isakannya.“Aku tau kamu nangis sejak tadi,” Sophie ber
Karena tak juga bisa meredakan emosinya yang masih bergelora, Amara menarik napas panjang. Mengikuti apa yang dilakukan Sophie, Amara juga membalikkan badan. Seluruh sarafnya seakan menjerit-jerit meminta penuntasan. Kemarahan dan tangisnya tampaknya belum cukup memadai. Namun Amara juga tahu dia tak mungkin menumpahkan segalanya di depan Sophie. Selain itu, dia juga tidak tahu harus melakukan apa supaya merasa lega.Apa sebaiknya dia berolahraga hingga benar-benar ada tulangnya yang patah atau cedera permanen? Namun sepertinya hal itu pun tak akan membuat suasana hatinya membaik.Amara meraba matanya yang bengkak dan nyeri. Menangis sekian lama tidak juga meringankan dadanya. Sedih, kecewa, marah, rasa kehilangan, semua menggelinding jadi satu. Dia tidak tahu kepada siapa harus menumpahkan kemarahannya.“Aku nggak pernah ngelewatin pengalaman kayak kamu, Mara. Jadi, aku nggak tau pasti rasanya kayak apa. Tapi di sini, aku udah ketemu banyak orang dengan p
Hidup bagi Amara berubah kacau dan rumit. Dia larut dalam masalahnya yang mirip tornado, nyaris lumat oleh rasa perih yang mencengkeram. Gadis itu mengabaikan Sophie yang berusaha untuk mengajaknya bicara. Amara bukannya tidak tahu kalau kata-katanya sudah melukai Sophie saat sahabatnya itu menginap, sepulang dari rumah Ji Hwan. Namun dia sedang tak kuasa untuk berempati, apalagi meminta maaf.“Kamu kenapa, Mara? Kayaknya lagi banyak pikiran,” kata Ika suatu pagi, beberapa hari setelah tahun baru. Perempuan itu memilih bertahan menjadi asisten di rumah Amara sambil sesekali membantu kakek dan nenek gadis itu. Karena memang tak banyak kewajiban yang harus dikerjakan perempuan itu.Merry dan Amara sepakat untuk tak terlalu bergantung lagi pada asisten rumah tangga setelah Ayu diberhentikan. Amara bertanggung jawab untuk masalah kebersihan seisi rumah. Pakaian kotor pun dikirim ke penyedia jasa laundry. Ika memastikan tersedia makanan untuk disa
Saat itu, tenggorokan Amara terasa nyeri karena aneka emosi yang seakan bergumpal di sana. Baru mendengar Ji Hwan bicara saja, dia sudah tak bisa menahan ledakan yang seolah mengancam kepala dan dadanya. Bayangan masa lalu itu kembali memenuhi pelupuk matanya. Tampaknya, tak ada gunanya bicara berdua dengan Ji Hwan. Karena Amara kesulitan memandang Ji Hwan sebagai sosok merdeka yang sama sekali tak terkait dengan Cello. Di mata Amara, keduanya adalah satu paket yang tak terpisahkan.“Ji Hwan, apa pun yang mau kamu omongin, sama sekali nggak akan mengubah keadaan. Cello udah ngelakuin hal jahat sama aku. Aku benci sama dia setengah mati. Mungkin, kamu atau siapa pun nggak akan bisa paham perasaanku kayak apa. Asal kamu tau, sebelum tahun baru, aku dan Sophie pernah datang ke kantor mamamu. Kubilang, kalau suatu saat Cello sengaja datang untuk ketemu aku lagi, pilihannya cuma dua. Aku atau dia yang mati,” ucap gadis itu kasar. “Jadi, dari situ kamu udah bisa d